Maraknya kasus anti-Muslim di AS karena terpengaruh Donald Trump.
CB,
WASHINGTON -- Council on American-Islamic Relations (CAIR) telah
merilis laporan tentang hasutan dan insiden anti-Muslim yang terjadi di
Amerika Serikat (AS) sepanjang 2017. Dalam laporannya, CAIR menyebut
sepertiga dari kasus anti-Muslim di sana melibatkan lembaga pemerintah
federal.
CAIR mengatakan sepanjang 2017, terdapat 2.599 insiden anti-Muslim
yang dilaporkan kepadanya. Sebanyak 919 kasus di antaranya atau sekitar
35 persen melibatkan lembaga pemerintah.
Patroli Bea dan
Perbatasan AS terlibat dalam 348 kasus anti-Muslim. Sementara FBI
terlibat dalam 270 kasus. Persentase kasus anti-Muslim yang melibatkan
kedua lembaga tersebut mencapai 67 persen.
Adapun sisa
lembaga pemerintah yang turut terlibat dalam kasus anti-Muslim adalah
Administrasi Keamanan Transportasi sebanyak 72 insiden atau sekitar 8
persen, Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan sebanyak 5 persen, dan
Immigration and Customs Enforcement menyumbang 4 persen. Sedangkan 12 persen kasus lainnya melibatkan beberapa lembaga pemerintah federal.
"Ini
menunjukkan bagaimana Islamofobia semakin dilembagakan (di AS)," ujar
Zainab Arain, koordinator departemen penelitian dan advokasi CAIR,
dilaporkan laman
Huffington Post.
Menurutnya,
maraknya kasus anti-Muslim di AS tak dapat dilepaskan dari sosok Donald
Trump. "Bukan hanya kepresidenannya, tetapi bahkan kampanyenya sebelum
menjadi presiden," ucap Arain.
Ia mengatakan saat ini
terdapat sejumlah tokoh di pemerintahan AS yang memiliki pandangan
anti-Muslim. Hal itu berpotensi mendorong diadopsinya kebijakan
anti-Muslim yang mengakibatkan diskriminasi disetujui di negara
tersebut.
Arain berpendapat banyaknya lembaga pemerintah
yang terlibat dalam kasus anti-Muslim tak mungkin dilepaskan dari
kebijakan larangan perjalanan dari enam negara mayoritas Islam yang
diterbitkan Trump. Ia menilai kebijakan tersebut tidak konstitusional.
"Bagaimana
sekarang kita melindungi diri kita sendiri ketika sumber yang
seharusnya kita cari untuk menjamin hak-hak kita tidak lagi menjamin
hak-hak kita, tetapi sebaliknya, melanggar (mereka)?" kata Arain.
CAIR
merupakan kelompok hak asasi manusia dan advokasi Muslim terbesar di
AS. Setiap tahunnya CAIR menampung keluhan dan laporan tentang kejadian
anti-Muslim di seluruh AS. Keluhan itu disampaikan melalui telepon,
surel, dan metode daring.
CAIR juga kerap terlibat dalam
gerakan yang membela hak-hak Muslim. Pada Oktober 2017, misalnya, CAIR
bersama Islamic Society of North America (ISNA), Muslim American
Society, dan beberapa organisasi Islam AS lainnya menggelar demonstrasi
di depan Gedung Putih. Dalam aksi tersebut mereka mendesak Pemerintah AS
agar segera menekan Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap
Rohingya.