Kamis, 21 Desember 2017

Dibayangi Ancaman AS, PBB Gelar Sidang Darurat Soal Yerusalem




Dibayangi Ancaman AS, PBB Gelar Sidang Darurat Soal Yerusalem
Sidang darurat Majelis Umum PBB akan digelar membahas pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel oleh AS. Foto/Ilustrasi/Istimewa



NEW YORK - Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara akan mengadakan sesi darurat khusus langka pada hari ini Kamis (21/12/2017). Sesi darurat khusus ini diadakan atas permintaan negara-negara Arab dan Muslim atas keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Isrel. Sesi khusus ini pun memicu sebuah peringatan dari Washington bahwa mereka akan membuat daftar negara-negara yang melawan kebijakan tersebut.

Utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour mengatakan, Majelis Umum akan memberikan suara pada sebuah rancangan resolusi yang menyerukan agar deklarasi Trump ditarik. Sebelumnya, resolusi ini telah diveto oleh AS di Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara pada hari Senin.

Sebanyak 14 negara anggota Dewan Keamanan memilih resolusi yang dibuat oleh Mesir tersebut, yang tidak secara khusus menyebutkan AS atau Trump namun mengungkapkan penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.



Mansour mengatakan pada hari Senin bahwa dia berharap akan ada "dukungan yang luar biasa" di Majelis Umum untuk resolusi tersebut. Pemungutan suara semacam itu tidak mengikat, namun membawa bobot politik.

Sementara itu Duta Besar AS Nikki Haley, dalam sebuah surat kepada puluhan negara anggota PBB, memperingatkan bahwa Amerika Serikat akan mengingat orang-orang yang memilih resolusi yang mengkritik keputusan AS.

"Presiden akan mengawasi pemungutan suara ini secara hati-hati dan meminta saya melaporkan kembali negara-negara yang memberikan suara menentang kami. Kami akan mencatat setiap pemungutan suara untuk masalah ini," tulis Haley seperti dikutip dari Reuters, Kamis (21/12/2017).

Dia pun mengulangi seruannya dalam sebuah cuitan di Twitter: "AS akan membuat daftar."

Di bawah resolusi tahun 1950, sebuah sesi khusus darurat dapat diminta agar Majelis Umum mempertimbangkan masalah dengan maksud untuk memberikan rekomendasi yang sesuai kepada anggota untuk tindakan bersama jika Dewan Keamanan gagal untuk bertindak.

Hanya 10 sesi seperti ini yang telah diadakan, dan terakhir kali Majelis Umum bertemu dalam sesi tersebut pada tahun 2009 terkait Yerusalem Timur yang diduduki dan wilayah Palestina. Pertemuan hari Kamis akan dilanjutkan dengan sesi tersebut.

Trump tiba-tiba membalikkan kebijakan AS selama beberapa dekade pada bulan ini ketika ia mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Pengakuan ini menimbulkan kemarahan dari orang-orang Palestina dan dunia Arab serta keprihatinan di antara sekutu Barat Washington.

Trump juga berencana memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dari Tel Aviv. Rancangan resolusi PBB menyerukan agar semua negara menahan diri untuk tidak mendirikan misi diplomatik di Yerusalem.

Haley mengatakan pada hari Senin bahwa resolusi tersebut diveto di Dewan Keamanan untuk membela kedaulatan dan peran AS dalam proses perdamaian Timur Tengah. Dia mengkritiknya sebagai penghinaan ke Washington dan membuat malu anggota dewan. 

Israel menganggap Yerusalem sebagai Ibu Kota abadi dan tak terpisahkan serta menginginkan semua kedutaan besar berbasis di sana. Sementara warga Palestina menginginkan Ibu Kota negara Palestina merdeka berada di sektor timur kota, yang direbut Israel dalam perang 1967 dan dicaplok dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui secara internasional.


Credit  sindonews.com