Kamis, 27 November 2014

Vietnam menantang Tiongkok mengenai Laut Tiongkok Selatan

  Patroli Vietnam: Perwira Penjaga Pantai Vietnam mengambil video Kapal Penjaga Pantai Tiongkok yang bergerak maju ke arah kapal Vietnam di Laut Tiongkok Selatan pada Mei 2014. [AFP]
   Patroli Vietnam: Perwira Penjaga Pantai Vietnam mengambil video Kapal Penjaga Pantai Tiongkok yang bergerak maju ke arah kapal Vietnam di Laut Tiongkok Selatan pada Mei 2014. [AFP]


CB - Tawaran Tiongkok baru-baru ini untuk menandatangani traktat kerja sama dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN], bahkan saat negara ini melanjutkan proyek reklamasi lahan secara besar-besaran di kepulauan Spratly dan Paracel yang dipersengketakan, merupakan siasat untuk mengendalikan kerusakan yang disebabkan oleh perilakunya di Laut Tiongkok Selatan, demikian kata seorang analis.
Ada petunjuk kemajuan selama KTT ASEAN pertengahan November di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, di mana Perdana Menteri Tiongkok, Li Keqiang setuju untuk “secara aktif melaksanakan konsultasi untuk mencapai, berdasarkan konsensus dan pada tanggal secepatnya, Pedoman Perilaku [COC] di Laut Tiongkok Selatan.”
Di samping menawarkan untuk menandatangani traktat persahabatan dan kerja sama, Beijing juga menawarkan kepada bangsa-bangsa ASEAN, USD $20 miliar dalam bentuk pinjaman preferensial dan khusus untuk mengembangkan infrastruktur, sementara tetap menegaskan bahwa negeri ini hanya akan menyelesaikan sengketa maritim secara langsung dengan para penuntut lainnya, daripada secara kolektif atau melalui arbitrase.
“Saya menyebut hal ini sebagai moderasi taktis: ini membuat Tiongkok tampak kooperatif dan konstruktif, tetapi tidak mengindikasikan perubahan dalam kebijakannya secara keseluruhan terhadap sengketa maritim," menurut Ian Storey, seorang analis Laut Tiongkok Selatan di Institute of Southeast Asian Studies yang berkedudukan di Singapura, kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF] dalam sebuah email.
Para pemimpin ASEAN telah mendesak pembentukan COC secara segera untuk Laut Tiongkok Selatan sejak 2011. Tetapi, Tiongkok menegaskan negeri ini tidak tergesa-gesa untuk menandatangani serangkaian aturan seperti itu untuk mengatur tindakan negara penuntut di perairan yang dipersengketakan.
“Komentar Li bahwa Tiongkok telah sepakat dengan ASEAN untuk menyimpulkan COC pada tanggal yang secepatnya, menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik dan oleh karenanya mengemukakan langkah maju yang lumayan," kata Storey. Ia memperhatikan bahwa pemimpin Tiongkok ini bersikap hati-hati dalam pemilihan kata-katanya, menggunakan kata "konsultasi", bukan "negosiasi" sewaktu merujuk ke formasi COC.
“Menurut saya, ini adalah langkah taktis, dan satu dari beberapa yang telah diambil Tiongkok baru-baru ini demi memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangganya, yang sudah dirusak oleh perilakunya yang agresif di ranah maritim selama beberapa tahun lalu," kata Storey.
Storey mengatakan bahwa Tiongkok tidak berminat menandatangani perjanjian yang komprehensif dan mengikat, yang akan melarang jenis kegiatan yang sudah dilakukannya untuk mendorong tuntutannya atas kewilayahan dan yurisdiksi di Laut Tiongkok Selatan.
“Tiongkok akan berupaya menunda-nunda 'konsultasi' selama mungkin dan hasil akhir adalah COC yang merupakan simbol belaka, dan tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menahan kebebasan tindakan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, atau berdampak pada penggerak pusat persengketaan," katanya.
Tiongkok menjengkelkan Vietnam
Vietnam, yang bersama-sama dengan Tiongkok, baru-baru ini bertekad untuk menghindari konflik senjata di laut, khawatir dengan tindakan negara tetangga raksasa di laut yang diperebutkan itu.
Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Tan Dung mengatakan, diperlukan “kerja sama dan upaya kuat” untuk menjaga kedaulatannya di Laut Tiongkok Selatan, yang dirujuk sebagai Laut Timur oleh Vietnam.
“Kita harus bekerja sama dan berupaya keras, tidak hanya dengan Tiongkok, tetapi juga dengan negara lain demi kepentingan perdamaian, stabilitas, persahabatan dan saling percaya," kata Dung.
“Rakyat di seluruh bangsa tahu bahwa Tiongkok menggunakan kekerasan untuk menduduki Gac Ma [Beting Johnson South] dan sebagian kepulauan lainnya yang termasuk dalam kepulauan Truong Sa [Spratly] di Vietnam pada tahun 1988. Pada tahun 2002, Vietnam dan sejumlah negara lain menandatangani DOC bersama dengan Tiongkok, yang mengharuskan semua pihak yang terlibat untuk mempertahankan status quo di Laut Timur,” kata Dung, yang merujuk ke Deklarasi Perilaku Para Pihak [DOC] di Laut Tiongkok Selatan.
Meskipun ada DOC, tapi Tiongkok "terus saja membangun kegiatan di rantai kepulauan Spratly, yang mana pengoperasian Tiongkok di Da Chu Thap [Beting Fiery Cross] adalah dalam skala terbesar,” kata Dung.
“Vietnam secara tegas menolak tindakan ini dari Tiongkok, karena melanggar Ayat 5 DOC,” katanya, dan menambahkan bahwa penolakan yang serupa telah dilontarkan beberapa kali oleh Kementerian Luar Negeri Vietnam.
“Saya juga mengajukan penolakan pada KTT ASEAN ke-25 di [Myanmar] – pada semua konferensi yang diadakan dalam lingkup KTT,” kata Dung.
Lapangan udara Laut Tiongkok Selatan pertama milik Tiongkok kemungkinan di Beting Fiery Cross
Dalam pelanggaran DOC yang potensial, Tiongkok terus saja melanjutkan pengoperasian reklamasi lahan besar-besaran di kepulauan Paracel dan Spratly sejak awal tahun ini, yang menyebabkan Vietnam – saingannya dalam sengketa maritim – untuk mengajukan serangkaian protes kepada Beijing.
Setelah penyelesaian landasan udara sepanjang 2.000 meter di Pulau Woodyyang termasuk dalam Paracel pada bulan Oktober, sekarang telah tampak jelas bahwa Tiongkok sudah menyelesaikan pengerjaan reklamasi pada Beting Fiery Cross di kepulauan Spratly. Tambahan sejauh 3.000 meter ini kemungkinan akan menjadi landasan udara militer pertama Tiongkok di perairan yang dipersengketakan, menurut laporan tanggal 23 November dalam IHS, penerbitan pertahanan yang berkedudukan di Hong Kong.
Citra satelit yang tertangkap oleh penerbitan ini menunjukkan bahwa pengerjaan pengerukan sudah dimulai di sebelah timur pulau karang untuk membuat pelabuhan yang cukup besar untuk menerima tanker dan kapal perang militer.
Kol. Jin Zhirui dari Angkatan Udara Tiongkok mengatakan bahwa ini adalah untuk "alasan strategis", bahwa Tiongkok sedang membangun fasilitas ini di Laut Tiongkok Selatan.
“Kami harus keluar, untuk berkontribusi bagi perdamaian regional dan global. Kami memerlukan sarana seperti ini, termasuk radar dan intelijen," katanya.
Kemungkinan ADIZ Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kekhawatiran
Aspek paling mencemaskan untuk Asia Tenggara di tengah persengketaan ini yaitu Tiongkok mungkin mendeklarasikan Zona Identifikasi Pertahanan Udara [ADIZ] di Laut Tiongkok Selatan, menurut Robert Beckman, direktur International Law Center di Singapore National University.
“Tiongkok mungkin meminta perlindungan keamanan nasionalnya untuk menyiapkan ADIZ di suatu tempat di bagian selatan pantainya, membentang sekitar 100 mil laut dari garis dasar di Teluk Tonkin," kata Beckman sewaktu seminar dua hari “Laut Timur: Kerja Sama untuk Keamanan dan Pengembangan Regional," yang diadakan 17 dan 18 November di pusat kota Da Nang, Vietnam.
Para akademisi yang menghadiri acara ini merasa khawatir, jika Tiongkok mendeklarasikan ADIZ di perairan yang diperebutkan, negara ini tidak saja akan melanggar hukum internasional, tetapi juga memperuncing situasi.
“Walaupun negara lain tidak berkepentingan untuk mengganggu jalur perkapalan yang melintasi laut dan yang merupakan hal yang vital bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara di wilayah Asia-Pasifik, konflik ini tidak dapat diabaikan dan terdapat risiko saat ini bahwa insiden di laut bisa semakin memuncak menjadi krisis militer dan diplomatik yang serius," kata Storey kepada APDF.

Credit APDForum