KRI John Lie saat diresmikan tahun 2014. (Antara/Jupiter Weku)
Menurut sejarawan Didi Kwartanada, ada tokoh etnis Tionghoa turut berperan dalam terbentuknya TNI pasca perang kemerdekaan. Di Angkatan Laut ada nama John Lie atau yang dikenal juga dengan nama Jahja Daniel Dharma.
Didi mengatakan John adalah seorang Tionghoa totok. Awalnya dikenal sebagai anggota angkatan laut pasukan sekutu, John diketahui sangat mencintai Indonesia.
Sosok yang menguasai navigasi dan teknik perkapalan itu memilih bergabung ke Angkatan Laut RI setelah Perang Dunia II berakhir. Kepala Staf Angkatan Laut saat itu menawari John Lie pangkat tinggi dalam militer.
Tetapi, menurut Didi, karena saat itu motif utama John bergabung dengan AL adalah untuk mengabdi, dia memilih pangkat terendah Angkatan Laut yakni Kelasi Dua. Meski rendah, John ikut mendidik taruna Angkatan Laut, bahkan memberikan pelatihan pada perwira.
"Dia terus berkarier di AL hingga bisa mendapat bintang dua," kata Didi kepada CNN Indonesia. Jasa besar John Lie membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara di Angkatan Udara ada nama Marsekal Utama Gan Sing Lip atau Sugandhi. Pada masa perebutan kemerdekaan, Sugandhi ikut bertemput melawan pemerintahan kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, Gan Sing Lip adalah salah satu tentara yang dikirim untuk sekolah pilot ke Amerika Serikat. Ia satu dari 50 tentara pilihan untuk mengikuti pelatihan pilot di Amerika.
Para lulusan Trans Ocean Airlines Oakland Airport di California ini kemudian yang jadi tulang punggung Angkatan Udara RI. Beberapa nama yang menjadi teman satu angkatan Sugandhi adalah Laksamana Madya Udara Omar Dani dan Marsekal Saleh Basarah. Keduanya pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara.
Sugandhi sendiri menurut Didi banyak berperan dalam perang memertahankan kemerdekaan. Pembebasan Irian Barat adalah salah satu operasi yang diikutinya. Atas jasa-jasanya, setelah meninggal Sugandhi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Berbeda dengan dua angkatan lainnya, menurut Didi di Angkatan Darat nama tentara etnis Tionghoa kurang terdengar. Sejak berdiri pada Oktober 1945, Angkatan Darat baru menerima tentara Tionghoa pada tahun 1960-an. "Tahun 1965 paling banyak sekitar 10 orang masuk angkatan darat," kata Didi.
Salah satu jenderal dari etnis Tionghoa yang lulus tahun 1965 adalah Brigadir Jenderal (Purn) Teddy Yusuf. Ia pernah menjadi Wakil Komandan Batalion Infanteri 507 Kodam V Brawijaya, Komandan Kodim 0503 Jakarta Barat, Asisten Perencanaan Kodam IV Diponegoro, dan beberapa jabatan militer lainnya. Setelah pensiun, Teddy kini beliau aktif di Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia.
Pasca 1965, minat Etnis Tionghoa pada militer menurut Didi kurang terdengar. Hal ini diperparah dengan semakin dibatasinya ruang gerak etnis Tionghoa pada masa orde baru.
Didi menduga, tindakan diskriminatif rezim orba ini yang membuat karier di dunia militer tak diminati etnis Tionghoa.
Dalam militer, etnis Tionghoa susah sekali naik pangkat. Mereka juga jarang dikirim untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang bisa mengembangkan karier. "Padahal tentara etnis Tionghoa ini punya potensi juga," ujar Didi.
Saat ini saja menurut Didi ada beberapa perwira tinggi TNI keturunan Tionghoa, namun tak mau dipubllikasikan. Ada juga yang sengaja menutupi identitasnya Tionghoanya demi kepentingan karier.
"Mereka (tentara etnis Tionghoa) tidak mau diekspos kehidupannya karena menurut mereka berjuang untuk bangsa adalah hal yang sudah sewajarnya," kata Didi.
Credit CNN Indonesia