Senin, 16 Februari 2015

Tak Perlu Takut Intervensi Australia

Tak Perlu Takut Intervensi Australia
Ilustrasi Grafis
JAKARTA (CB) - Pemerintah diminta tidak terpengaruh dengan intervensi Australia yang meminta pembatalan eksekusi mati terhadap duo Bali Nine asal Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

Pelaksanaan hukum yang berlaku di Indonesia merupakan masalah kedaulatan yang tak boleh berkompromi dengan intervensi dunia internasional. Permintaan tersebut disampaikan intelektual dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya, dan Ketua DPD Irman Gusman.

Komaruddin mengatakan, Indonesia mesti tegas menjalankan hukum karena yang dieksekusi adalah penjahat, bukan Pemerintah Australia. ”Sebagai pemerintah, sudah semestinya Australia membela warganya. Tetapi Australia juga harus menghargai kedaulatan hukum Indonesia,” kata Komaruddin kemarin.

Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, dalam hal kedaulatan, Indonesia juga selalu menghargai Australia, meski dalam beberapa hal sangat merugikan Indonesia. Namun, itulah yang harus dipegang oleh setiap negara dalam membangun hubungan dan persahabatan, yakni tetap menghargai kedaulatan hukum di masing-masing negara. Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tak boleh lemah dalam menghadapi tekanan tersebut.

”Bangsa dan pemerintah itu sudah terlalu banyak diintervensi asing, karena kita lemah,” ungkapnya. Rencana eksekusi terhadap Myuran Sukumaran dan Andrew Chan menghadapi tekanan internasional, terutama Australia. Kemarin Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengatakan, masyarakat Australia muak mendengar rencana eksekusi dua warganya yang terlibat kasus Bali Nine. Abbott menyebut kebijakan tersebut sebagai tindakan barbar.

Australia masih terus berusaha menekan Indonesia untuk mengubah keputusannya. Kendati Chan dan Sukumaran telah melakukan pelanggaran berat dengan menyelundupkan heroin, namun menurut Australia, eksekusi mati tak perlu diberikan. ”Jika eksekusi tersebut terjadi, kami akan menunjukkan ketidaksenangan kami secara nyata,” kata Abbott kepada Channel News .

Abbot menegaskan, Canberra akan memberi respons keras apabila eksekusi terjadi. ”Apa yang kami minta dari Indonesia sama seperti apa yang Indonesia minta kepada negara lain untuk menyelamatkan warganya.” ”Jika Indonesia berhak mendapatkan grasi dari negara lain, kami pun berhak mengharapkan hal serupa,” kata Abbott. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop memperingatkan Indonesia untuk siap menghadapi boikot jika eksekusi dilakukan.

Australia bisa saja memboikot Indonesia, termasuk kunjungan ke Pulau Bali dan berbagai tempat liburan populer lain untuk menunjukkan ketidaksenangannya atas keputusan eksekusi ini. Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengungkapkan, tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi mengubah rencana mengeksekusi mati terhadap duo Bali Nine. ”Tidak perlu takut, kalau dibatalkan hukuman ini justru menjadi catatan buruk karena tidak jadi dan tidak konsisten,” kata Tantowi.

Menurut dia, Jokowi sudah menunjukkan ketegasan untuk menolak pembatalan eksekusi mati. Atas penolakan itu Australia sampai harus melobi PBB agar ikut menyuarakan. Namun, sikap Jokowi terhadap siapa pun juga harus sama karena penerapan hukum adalah soal kedaulatan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Apalagi, kata dia, sebelumnya pemerintahan Presiden Jokowi juga sudah mengeksekusi terpidana mati asal Brasil, Belanda, dan Vietnam.

”Justru akan bermasalah kalau duo Bali Nine dibatalkan eksekusinya. Masa giliran Australia dibatalkan. Giliran terpidana mati Brasil, Vietnam, Belanda tetap dieksekusi. Kalau begitu kita enggak konsisten. Dampaknya juga hubungan sama negara-negara itu yang warganya sudah dieksekusi,” katanya. Sementara itu, Irman Gusman mengatakan, ketegasan Indonesia menerapkan hukuman atas terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati selain sebagai penegakan atas kedaulatan hukum juga sekaligus pelajaran bagi gembong narkoba.

”Makanya, Indonesia harus konsisten pada sikapnya memerangi kejahatan narkoba,” katanya. Irman berpandangan, hal wajar ketika penerapan hukuman mati mendapatkan sorotan dari dunia internasional, termasuk PBB. Wajar juga ketika Australia membela warga negaranya yang terancam dieksekusi mati di Indonesia. Tetapi, Indonesia juga punya kedaulatan hukum yang harus ditegakkan.

Terlebih, mereka yang akan dieksekusi adalah para gembong narkoba, yang kejahatannya sangat mengancam generasi muda. Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, protes Australia justru berpotensi mempercepat pelaksanaan hukuman mati.

Menurutnya, intervensi Australia akan menyulut kemarahan publik, elite, politisi dan pejabat di Indonesia, sehingga publik menghendaki agar Presiden Jokowi tidak menunda pelaksanaan hukuman mati.

”Protes Pemerintah Australia sudah sampai tahap melakukan intervensi, bahkan melakukan upaya embargo ekonomi terhadap Indonesia. Belum lagi upaya menekan Indonesia dengan tangan Sekjen PBB,” tuturnya.

Hikmahanto menilai Pemerintah Australia telah salah berhitung. Upaya intervensi telah menjadi kontraproduktif. ”Pemerintah Australia sungguh merendahkan demokrasi di Indonesia karena seolah publik dan politisi tidak bisa bersuara dan tidak cerdas dalam menanggapi manuver Australia,” katanya.

Sementara itu, Lembaga Pemasyarakatan Denpasar di Kerobokan, Bali, memberikan kelonggaran jam besuk kepada keluarga duo Bali Nine. Di penjara ini kemarin, seharusnya bukan hari besuk, tapi keluarga narapidana mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan terlihat datang pada pukul 09.00 Wita.

Raji, Chintu, dan Brintha, ibu dan saudara kandung Myuran Sukumaran, kembali bertandang ke lembaga pemasyarakatan kelas IIA di Kabupaten Badung itu ditemani beberapa kerabat. Begitu pun dengan kakak Andrew Chan, yakni Michael Chan, terlihat mendatangi penjara terbesar di Bali tersebut.

Kunjungan mereka didampingi oleh pengacara dari Australia, Julian McMahon, dan Konsul Konsulat Jenderal Australia di Denpasar, Majell Hind.




Credit  KoranSindo