Menangkap
ikan: Sebuah kapal nelayan Vietnam berlayar untuk menangkap ikan dari
Pulau Ly Son. Karena daerah pesisir dikuras oleh penangkapan ikan
berlebihan, nelayan bepergian ke kepulauan yang disengketakan. Baru-baru
ini, dua kapal nelayan Vietnam melaporkan telah diserang oleh
kapal-kapal Tiongkok di lepas Kepulauan Paracel. [AFP]
Agresi berlanjut yang dilakukan Tiongkok dalam sengketa Laut
Tiongkok Selatan kendati ada janji untuk menghindari penggunaan kekuatan
senjata, menguji kesabaran Vietnam.
Seorang mantan komandan angkatan laut Vietnam meminta negaranya untuk
bersiap-siap menghadapi tetangga yang proaktif ini jika diperlukan.
"Harus ada tinju yang bisa digunakan untuk melindungi diri bila
diperlukan. Kedaulatan wilayah adalah suci dan tidak dapat dirampas.
'Tinju' dalam bentuk militer harus disiapkan sekarang," ujar Laksamana
Muda Do Xuan Cong, mantan komandan Angkatan Laut Vietnam, dalam sebuah
wawancara dengan
Tuoi Tre News.
"Ketika orang lain mengabaikan akal dan hukum, tetapi menyerang
dan melanggar kedaulatan suci kita, kita harus mengambil tindakan, di
mana 'tinju' harus disiapkan, karena kita tidak bisa terus berjuang
dengan kata-kata saja sepanjang waktu," kata Cong dalam laporan tanggal
19 Januari.
Pernyataan Cong ini disampaikan hanya beberapa hari setelah
adanya berita bahwa dua kapal nelayan Vietnam diserang dan dihancurkan
oleh angkatan bersenjata Tiongkok di lepas pantai Kepulauan Paracel,
yang diklaim kedua negara.
Serangan terbaru pada nelayan Vietnam itu menyusul serangkaian
insiden serupa di perairan yang disengketakan ini dalam beberapa bulan
terakhir, meskipun Tiongkok berjanji ingin menyelesaikan sengketa itu
secara damai dan menghindari tindakan yang dapat meningkatkan
kemungkinan konflik bersenjata.
Kapal-kapal pencari ikan Vietnam dihancurkan
Kapten salah satu dari dua kapal yang diserang, Nguyen Chi
Thanh, mengatakan sekitar 10 petugas bersenjata Tiongkok di atas dua
kapal mendekati kapal nelayannya saat kapal itu beroperasi dekat
Kepulauan Paracel pada tanggal 7 Januari.
"Pasukan Tiongkok naik paksa ke kapal saya, menghancurkan
peralatan menangkap ikan dan merampok semua properti di kapal, termasuk
satu ton ikan," kata Thanh dalam laporannya kepada Serikat Perdagangan
Perikanan Vietnam, seraya menambahkan bahwa serangan itu menyebabkan
kerusakan senilai sekitar VND 150 juta [$7,030 USD].
Dalam insiden lain yang dilaporkan pada hari yang sama, kapten
kapal nelayan Vietnam Le Tan mengatakan dua kapal pengintai Tiongkok
mengejar kapalnya sebelum melompat ke atas kapal, menghancurkan sistem
telekomunikasi dan melubangi tanker minyak kapal itu.
Tan mengatakan bahwa kapalnya, yang berawak 15 nelayan,
beroperasi di sekitar Kepulauan Paracel ketika melihat sebuah kapal
pengawas perikanan Tiongkok. Dalam upaya menghindari konfrontasi, Tan
melesat menuju pantai Vietnam, tetapi kapal Tiongkok itu, bersama sebuah
kapal lainnya, mengejar kapal Tan, ujarnya.
Pasukan Tiongkok kemudian menurunkan speedboat untuk mencegat
kapal Tan. "Kami semua diminta untuk berkumpul di haluan kapal kami.
Orang-orang Tionghoa itu kemudian menghancurkan sistem telekomunikasi
kapal kami, peralatan menangkap ikan kami dan juga melubangi tanker
minyak perahu, sehingga menyebabkan kerusakan senilai VND 350 juta
[$16,370 USD]," kata Tan.
Serikat Perdagangan Perikanan Vietnam mengajukan protes kepada
Beijing dan menuntut diakhirinya tindakan seperti ini oleh Tiongkok,
yang mengancam keamanan dan properti para nelayan Vietnam.
Namun protes semacam itu dan pertukaran diplomatik tidak
berhasil banyak untuk mencegah Tiongkok, yang, kendati ada nota
keberatan dari Vietnam, telah berulang kali mengintimidasi nelayan
Vietnam di perairan lepas pantai Kepulauan Paracel dan Spratly, di mana proyek reklamasi tanah dan pembangunan besar-besaran oleh Tiongkok terus berlanjut.
Vietnam menentang pasukan Tiongkok di Kepulauan Paracel
Selain mengajukan beberapa protes ke Beijing atas proyek-proyek
konstruksi Tiongkok di rangkaian pulau yang disengketakan itu, Vietnam
baru-baru ini mengajukan keberatan atas pengumuman pada 6 Januari negara
tetangganya itu, bahwa Tiongkok akan terus membentuk empat departemen
angkatan bersenjata di Kepulauan Paracel.
"Kepulauan Hoang Sa [sebutan Vietnam untuk Paracel] adalah milik
kedaulatan Vietnam. Pada tanggal 19 Januari 1974, Tiongkok menggunakan
kekuatan paksa untuk menempati kepulauan secara ilegal. Semua kegiatan
di Hoang Sa karena itu tidak sah, melanggar kedaulatan wilayah Vietnam,
dan dijalankan bertentangan dengan hukum internasional, khususnya
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 [UNCLOS]," kata Kementerian Luar Negeri
Vietnam dalam surat protes kepada Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada
tanggal 9 Januari.
Tiongkok telah selesai membangun landasan di Pulau Woody sepanjang
2.000 meter, yang terbesar di jajaran kepulauan Paracel, dan sedang
membangun bandara dengan dua landasan pacu di Beting Johnson Selatan di
derertan Kepulaan Spratly yang direklamasi, menurut citra satelit
terbaru yang dirilis oleh Filipina, yang juga terlibat dalam perseteruan
teritorial dengan Tiongkok atas bagian-bagian dari Laut Tiongkok
Selatan.
Sebuah laporan di the
South China Morning Post
menunjukkan Tiongkok mungkin mengubah Beting Fiery Cross di deretan
Kepulan Spratly, di mana pembangunan sebuah lapangan udara sedang
berlangsung, menjadi pulau buatan terbesar di kepulauan itu.
Mantan pejabat urusan kelautan: Tiongkok berusaha untuk memonopoli perairan yang disengketakan
Proyek konstruksi berskala besar Tiongkok di daerah yang
disengketakan merupakan langkah strategis untuk memonopoli Laut Tiongkok
Selatan melalui perwujudan garis berbentuk U, kata Nguyen Chu Hoi, mantan wakil direktur Departemen Umum Urusan Laut dan Pulau Vietnam.
"Perubahan status quo di Laut Timur [sebutan Vietnam untuk Laut
Tiongkok Selatan] adalah untuk membantu memperkuat klaim kedaulatan
Tiongkok, menciptakan keuntungan strategis," kata Hoi kepada VietnamNet.
"Jelas, tindakan ini pada dasarnya invasi, berlawanan dengan pernyataan
tentang perdamaian dan tiadanya agresi serta ekspansionisme yang
diutarakan oleh para pemimpin Tiongkok."
Setelah Tiongkok selesai membangun pangkalan di Kepulauan Spratly, negara ini akan menuntut yurisdiksi nasional dalam zona ekonomi eksklusif
[ZEE] negara-negara penuntut untuk mengontrol semua kegiatan komersial
di Laut Tiongkok Selatan, sebuah "rencana jahat untuk memperkuat pasukan
dan kemudian mengendalikan seluruh rute maritim internasional," kata
Hoi.
Kolonel Nguyen Don Hoa, mantan wakil presiden teknik rekayasa di
Angkatan Laut Vietnam, setuju dengan Hoi saat ia membandingkan strategi
Tiongkok untuk mengendalikan Laut Tiongkok Selatan dengan "rubah yang
ingin memasuki rumah kelinci untuk memakannya."
"Rubah memasuki rumah kelinci dengan memasukkan kaki satu per
satu. Ketika kedua kakinya sudah masuk, rubah akan menerkam kelinci.
Itulah yang sedang dilakukan oleh Tiongkok," kata Hoa.
Taktik baru untuk memaksakan klaim teritorial yang tidak masuk akal
Cong mengatakan Tiongkok menyadari bahwa klaimnya atas hampir
seluruh laut tidak masuk akal. Itulah sebabnya negara ini telah mengubah
taktik dengan mengklaim kedaulatan atas masing-masing kelompok kecil
pulau dan perairan antara pulau-pulau yang dikuasai oleh Vietnam dan
Filipina.
"Tiongkok mungkin juga mengeluarkan peraturan busuk yang
melarang kapal-kapal melakukan perjalanan atau menangkap ikan di dekat
sejumlah pulau, atau bahkan mengumumkan kedaulatannya atas perairan di
sekitar pulau-pulau tersebut.
"Melalui tindakan-tindakan seperti itu, Tiongkok dapat sedikit
demi sedikit membatasi kegiatan maritim negara-negara di Laut Timur,
khususnya Vietnam," kata Cong kepada
Tuoi Tre News.
Cong mengatakan Vietnam harus terus menggunakan saluran
diplomatik dan cara-cara damai untuk mencegah Tiongkok menduduki lebih
banyak pulau atau memperluas pulau-pulau yang sudah didudukinya.
"Tetapi begitu Tiongkok mengabaikan hukum, prinsip-prinsip moral
dan keterikatan sentimental, serta secara aktif menimbulkan konflik,
kita tidak akan punya pilihan lain selain menghadapi konflik seperti
itu," kata Cong.
Credit
APDForum