Penyelidikan yang dilakukan Parlemen Australia telah merekomendasikan
bahwa peraturan kontrak tenaga kerja lintas batas yang konsisten harus
diadopsi di seluruh industri negara ini.
Penyelidikan itu juga menyarankan bahwa kewenangan investigasi yang
lebih luas harus diberikan kepada lembaga ‘Fair Work Authority’.
Penyelidikan tersebut sedang menginvestigasi peranan penting Inggris
dalam mengadopsi Undang-Undang Perbudakan Modern, dan hampir selesai
dengan satu-satunya sidang regional di Mildura, negara bagian Victoria,
yang akan diselenggarakan pada 30 Oktober.
Sebuah laporan dijadwalkan untuk terbit bulan depan.
Kabur dari Cairns terjebak di Mildura
"Paul" diiming-imingi pergi ke Cairns dari Papua Nugini, dengan janji
akan pendidikan TAFE (kejuruan) dan pekerjaan yang bagus, namun
nyatanya ia ditipu oleh pemilik kebun pisang dari ujung utara
Queensland.
"Saya bekerja dari jam 6:00 pagi hingga jam 6:00 petang mengendarai
traktor dan makan roti serta minum anggur untuk sarapan dan makan siang,
lalu makan daging cincang rebus untuk makan malam. Saya tinggal di
gudang dengan seekor anjing," ujar Paul.
Ia tidak dibayar sepeser-pun dan sebaliknya, ketika Paul meminta gaji
kepada sang pemilik kebun, ia diberi tahu bahwa gajinya ditabung untuk
membayar kursus TAFE. Setelah enam bulan, Paul menemukan puluhan pekerja
asing lainnya di perkebunan berada dalam masalah yang sama.
"Saya mengemudikan traktor ke sisi lain dari perkebunan ke tempat
saya mengenal seorang pekerja asal Fiji, dan ia mengatakan bahwa ia
sudah berada di sana tujuh tahun," tutur Paul.
Paul berhasil melarikan diri, dan pada bulan Juni 2016, pemilik kebun
pisang -Sona Singh Bhela -dari Cairns dipenjarakan selama tiga setengah
tahun karena penipuan visa yang melibatkan 43 imigran asal Punjabi,
India.
Tapi masalah Paul belum berakhir. Ia tiba di Mildura, Victoria barat,
untuk bekerja di belasan pertanian di distrik tersebut. Tinggal dalam
kondisi kumuh dan sempit, bayaran Paul kurang dari sepersepuluh dari UMR
setempat.
"Saya dibayar tunai dan saya ditinggalkan dengan hanya 60 dolar AS
sampai 70 dolar AS (atau setara Rp 600 ribu-700 ribu). Kami tidur di
ranjang susun, empat ranjang dalam satu ruangan," katanya.
"Mereka mengambil uang kami, kontraktor, untuk membayar bahan bakar,
truk bak terbuka, makanan dan (pemilik) mendapatkan semua uang sewa.
Kami hanya disisakan 60 dolar AS (atau setara Rp 600 ribu).
"Mereka juga mengancam kami dan mengatakan 'polisi akan datang [jadi]
jika kamu tak ingin kembali ke Papua Nugini, sebaiknya kamu kerja dan
tetap diam'."
Kewenangan lebih untuk Fair Work Authority
Ada harapan bahwa jeratan hutang lewat kerja paksa seperti yang
dialami Paul akan berakhir jika Australia mengadopsi Undang-Undang
Perbudakan Modern.
Seraya memberikan bukti kepada Penyelidikan Parlemen Australia yang
tengah menjajaki kemungkinan Undang-Undang di masa depan, lembaga
Gangmasters and Labor Abuse Authority (GLAA) yang berbasis di Inggris
mengatakan bahwa Australia harus mengadopsi peraturan yang konsisten
mengenai kontraktor yang dipekerjakan di seluruh industri dan wilayah
negara.
GLAA didirikan setelah 23 pekerja China tenggelam saat memanen tiram di sebuah teluk di timur laut Inggris, pada tahun 2004.
Pada tahun 2015, kewenangannya diperluas dari sektor pertanian dan
perikanan ke industri lain seperti perhotelan di mana lembaga tersebut
menyelidiki masalah kriminal.
Petugas Angkatan Perbatasan Australia menggrebek perkebunan stroberi di pinggiran Perth dan menahan 36 pekerja ilegal.
Supplied: Australian Border Force
Daryl Dixon dari GLAA mengatakan kepada Penyelidikan Parlemen bahwa
kewenangan tersebut perlu diberlakukan secara konsisten di Australia
atau mereka tak akan berfungsi dengan baik.
"Misalnya, Pemerintah Negara Bagian Victoria telah mengindikasikan
bahwa pihaknya akan memberlakukan lisensi kontraktor yang dipekerjakan,
namun negara bagian lain seperti New South Wales dan Queensland mungkin
tidak memberlakukan lisensi itu dengan standar yang sama," katanya.
"Anda mungkin memiliki perusahaan tenaga kerja yang memasok pekerja
ke Victoria dari daerah yang longgar peraturannya di mana Pemerintah
Victoria tidak bisa mengaturnya dengan cara yang sama."
Kelompok hortikultur tawarkan solusi
Baik negara bagian Victoria dan Queensland melaporkan adanya
kekurangan pekerja yang besar, dengan panen bawang di tenggara
Queensland membusuk di tanah setelah turunnya hujan deras.
Ini terjadi setelah negara bagian itu, beberapa tahun belakangan,
melakukan tindakan keras terhadap pekerja ilegal dan pembunuhan brutal
terhadap turis backpacker asal Inggris, Mia Ayliffe-Chung.
Ibu Mia, Rosie Ayliffe, telah membuat sebuah kampanye untuk
menghentikan eksploitasi dalam skema perpanjangan visa 88 hari melalui
media sosial.
Tapi menurut Rachel McKenzie dari organisasi Growcom, tidak ada hak
bagi para pemilik lahan yang (salah) merasa difitnah oleh backpacker.
Federasi Petani Victoria menyerukan amnesti bagi para pekerja ilegal.
"Kami tidak mengatakan untuk memberi mereka status tinggal permanen
atau jalur untuk mendapat izin tempat tinggal permanen," kata Emma
Germano, presiden hortikultura VFF.
"Tapi mari kita beri mereka visa pertanian khusus selama beberapa
tahun, jadi setelah menghasilkan uang mereka bisa membawanya kembali ke
tempat asal mereka."
Germano mengatakan, meskipun jeratan hutang lewat kerja paksa dan
kerja paksa yang serupa perbudakan terjadi di sektor lain, para pemilik
kebun mendapat perlakuan khusus.
"Saat ini, para pemilik kebun diminta untuk menjadi petugas imigrasi
dan petugas pajak, dan ini terbukti sangat sulit untuk merekrut tenaga
pemetik ke perkebunan," katanya.
Growcom mengatakan, amnesti pekerja ilegal adalah reaksi spontan dan
malah mendukung pengaturan perusahaan tenaga kerja. "Kami benar-benar
percaya bahwa rekrutmen tenaga kerja harus diatur di tingkat nasional,
dan konsisten di semua negara bagian," kata McKenzie.
"Kami memiliki beberapa negara bagian yang mengembangkan peraturan
perekrutan tenaga kerja dengan cukup luas dan sejumlah negara bagian
lainnya tak demikian.”