Indonesia memiliki beberapa kriteria untuk
menjadi lokasi pertemuan Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea
Utara Kim Jong-un. (Ist/KBRI Pyongyang)
Jakarta, CB -- Setelah banyak spekulasi beredar, Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya memutuskan Singapura sebagai tempat pertemuannya dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un pada 12 Juni besok.
Sebelumnya,
beberapa tempat seperti Swedia, Swiss, Mongolia, China, hingga Malaysia
sempat disebut-sebut masuk dalam daftar pertimbangan Trump. Beberapa
negara seperti Thailand dan Indonesia, seperti disampaikan Presiden Joko
Widodo, juga menawarkan diri memfasilitasi pertemuan bersejarah itu.
Pengamat
politik internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah,
mengatakan terpilihnya Singapura sebagai tuan rumah bisa dibilang
sebagai 'kekalahan' bagi Indonesia.
Menurut Rezasyah, kegagalan Indonesia untuk dipilih menjadi
lokasi pertemuan Trump dan Kim Jong-un semata karena pemerintah RI
dianggap lebih fokus pada masalah dalam negeri.
Padahal,
Presiden Jokowi sudah punya bekal banyak untuk meyakinkan dunia bahwa
Indonesia pantas menghelat salah satu pertemuan paling bersejarah itu.
"Sebenarnya dua tahun lalu delegasi Korut sudah datang ke Indonesia
meminta agar pemerintah mau fasilitasi dialog dengan Korsel, tapi itu
tidak dijaga dan dikembangkan oleh Indonesia. Tampaknya energi
pemerintah masih terkuras banyak menangani masalah dalam negeri saat ini
seperti pemilihan presiden tahun depan hingga isu keamanan seperti
terorisme," kata Rezasyah.
Menurut Rezasyah, Indonesia memiliki beberapa kriteria yang jauh lebih masuk akal untuk menjamu pertemuan kedua pemimpin itu.
"Indonesia sebenarnya kehilangan kesempatan yang berhasil direbut Singapura," kata Rezasyah saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (7/6).
Kriteria-kriteria itu antara lain, pertama, Indonesia memiliki sejarah hubungan baik dengan AS maupun Korut.
"Indonesia punya persyaratan ideologis, konstitusional yang jauh di
atas Singapura soal ini," kata Rezasyah. "Indonesia juga mempertahankan
hubungan baik dengan AS dan Korut."
AS merupakan salah satu
negara pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia
setelah merdeka, tepatnya pada 1949 silam. Hingga kini,hubungan
bilateral, bisnis, hingga people to people contact antara Indonesia-AS
terus terjalin dalam bentuk kemitraan strategis yang berlangsung sejak
2015 lalu.
Adapun hubungan diplomatik Indonesia dan Korea Utara
telah terjalin sejak 1961. Empat tahun kemudian, pendiri Korut sekaligus
kakek Kim Jong-un, Kim Il-sung, berkunjung ke Jakarta.
Mendiang
Presiden Soekarno dan Kim Il-sung, dikenal memiliki riwayat hubungan
yang cukup dekat. Soekarno bahkan pernah menghadiahkan bunga anggrek
yang ditanam di Istana Bogor untuk Kim Il-sung. Bunga itu diberi nama
Kim Il-sung yang ditujukan sebagai simbol persahabatan kedua negara.
Hingga kini, bunga hadiah Soekarno itu kerap dipamerkan setiap
tahunnya dalam Festival Kimilsungia sebagai salah satu perayaan Hari
Matahari atau hari kelahiran Kim Il-sung.
Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri juga pernah berkunjung ke Pyongyang beberapa kali yakni pada 2002 dan 2001 silam.
Di
era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia juga pernah
diminta Pyongyang untuk memfasilitasi pertemuan Korut dan Korsel sebagai
upaya meredakan ketegangan di Semenanjung Korea saat itu.
Dua
pejabat tinggi Korut yakni wakil pemimpin Komite Pusat Partai Buruh Ri
Su Yong dan Presiden Presidium Majelis Tertinggi Partai Buruh Kim
Yong-nam juga sempat berkunjung ke Jakarta.
Foto: The Presidential Blue House /Handout via REUTERS Pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in
|
Presiden SBY sempat mengundang ayah Kim Jong-un, Kim Jong-il ke
Istana Merdeka pada 2006 lalu, meski lawatan itu tidak pernah terjadi.
Presiden
Joko Widodo juga sempat melakukan pertemuan bilateral dengan Kim
Yong-nam di sela Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika pada 2015 lalu.
Alasan
kedua, papar Rezasyah, netralitas Jakarta juga bisa dijamin meski
memiliki hubungan baik dengan Washington dan Pyongyang. Tidak seperti
Singapura, Indonesia tidak memiliki kerja sama aliansi pertahanan dengan
Amerika.
Rezasyah menuturkan dengan politik luar negeri bebas
aktif juga membuat Indonesia tidak pernah condong mengarah ke Barat atau
bahkan Komunis.
Menurut Rezasyah, gelaran pertemuan Kim-Trump
sama dengan mendukung perdamaian dunia. Dan hal itu, paparnya, sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu tugas Indonesia.
"Itu semua sebenarnya modal besar Indonesia untuk menjadi tuan rumah
pertemuan Trump dan Kim. Singapura tidak punya modal sejarah, politik,
apalagi konstitusional. Indonesia juga lebih netral, tidak punya
perjanjian militer aliansi dengan negara AS atau China," kata kakak Duta
Besar RI untuk Kanada, Teuku Faizasyah itu.
Rezasyah masih
berharap Indonesia masih bisa mempersiapkan untuk memfasilitasi
pertemuan-pertemuan besar lainnya di masa depan, termasuk pertemuan
lanjutan Korut-AS jika memang ada.
"Saya harap akan ada KTT
AS-Korut selanjutnya, tidak cuman di Singapura nanti. Nah mungkin
Indonesia bisa mempersiapkan diri untuk menawarkan diri lebih serius
lagi untuk menggelar KTT itu selanjutnya."
Adapun Singapura
dipilih karena dianggap lebih berpengalaman. Pada 2015 lalu, Singapura
pernah memfasilitasi pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan
Presiden Taiwan Ma Ying-jeou. Pertemuan itu merupakan yang pertama sejak
tujuh dekade kedua pemimpin berselisih.
Negara berpenduduk 5,6 juta orang itu juga menjadi tuan rumah
berbagai konferensi internasional tahunan seperti Shang-ri La Dialogue
yang kerap didatangi pejabat tinggi negara seperti AS, China, dan negara
lainnya.
Dari segi keamanan, Singapura juga menjadi negara di Asia Tenggara yang hingga kini bebas dari serangan teror.
"Kami
tidak meminta, tapi kami diminta. Pihak AS lah yang pertama kali
menawarkan ini. Saya pikir warga Singapura harus berbangga diri. Bangga
bahwa negara ini telah dipercaya dan diandalkan untuk menggelar
pertemuan tinggi ini," ucap Menteri Luar Negeri Singapura Vivian
Balakrishnan, seperti dikutip
CNBC.
Credit
cnnindonesia.com