Rabu, 20 Maret 2019

Erdogan Pakai Rekaman Teror Selandia Baru di Kampanye Pilkada


Erdogan Pakai Rekaman Teror Selandia Baru di Kampanye Pilkada
Ilustrasi Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS)




Jakarta, CB -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, dilaporkan menayangkan rekaman teror penembakan di Selandia Baru sebagai bahan dalam kampanye politik pemilihan umum daerah Antalya. Hal itu memicu protes dari pemerintah Selandia Baru yang sudah meminta supaya rekaman aksi teror itu dihapus dan tidak disebarkan.

Seperti dilansir The Guardian, Selasa (19/3), Erdogan beralasan dia memutar rekaman aksi teror yang dilakukan Brenton Tarrant (28) di Selandia Baru sebagai pengingat akan propaganda anti-Islam. Erdogan turut menyitir isi manifesto Tarrant yang ditulis sebelum beraksi yang menyatakan hendak mengusir bangsa Turki dari Eropa.

"Mereka menguji kita dari jarak 16,500 kilometer, dari Selandia Baru, dengan pesan. Ini bukanlah aksi perorangan, tetapi terorganisir," kata Erdogan dalam orasi politiknya.


Erdogan mengancam bakal memerangi pihak-pihak yang hendak menebar teror anti-Islam di Turki. Dia juga memaparkan peristiwa Pertempuran Gallipoli pada 1915 dalam Perang Dunia I, yakni ketika pasukan Kekhalifahan Ottoman menaklukkan pasukan Inggris, Australia, dan Selandia Baru yang hendak menguasai Istanbul.


"Kami sudah berada di sini seribu tahun, dan akan terus di sini hingga kiamat. Insya Allah. Buyut kalian datang dan pulang dalam peti mati. Saya tidak ragu kalian juga bakal bernasib sama seperti itu," ujar Erdogan.

Dalam manifesto, Tarrant juga menyinggung soal Masjid Hagia Sofia yang sebelum direbut oleh Kekhalifahan Ottoman adalah sebuah gereja. Erdogan juga menggunakan petikan manifesto itu dalam kampanye Partai AK kemarin.

Sikap Erdogan bertolak belakang dengan Wakil Presiden Turki, Fuat Oktay. Dia sudah meminta supaya semua pihak menghentikan memberikan pernyataan yang bernada provokatif terkait serangan teror di Selandia Baru.

"Kita harus mulai menggunakan bahasa lain. Seluruh dunia sudah berhenti menggunakan bahasa provokatif," kata Oktay.

Sikap Erdogan memicu keberatan dari Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters. Dia menyayangkan sikap Erdogan yang menggunakan rekaman teror dan memberikan pernyataan provokatif, yang dianggap bisa membahayakan warga mereka di luar negeri.

"Hal apapun yang bisa menyebabkan salah paham terhadap negara ini, padahal tersangka juga bukan warga Selandia Baru, membahayakan keselamatan warga kami di Selandia Baru dan luar negeri dan itu tidak adil," kata Peters.

Pemerintah Selandia Baru sudah berupaya keras meminta seluruh perusahaan media sosial, termasuk Facebook, menghapus rekaman aksi keji Tarrant. Peters berharap masyarakat di belahan dunia lain tidak salah paham dengan mereka.

"Kami sudah berdialog dengan negara lain, dan Turki, untuk memastikan tidak ada salah paham terhadap Selandia Baru," ujar Peters.

Erdogan dan Partai AK saat ini sedang disorot karena ekonomi Turki sedang kesulitan karena inflasi tinggi dan menyebabkan pembangunan terhambat.


Aksi teror yang dilakukan Tarrant terjadi di dua masjid di Kota Christchurch pada 15 Maret 2019. Yakni Masjid Al Noor dan Masjid Linwood. Tarrant merekam perbuatannya dan disiarkan langsung melalui akun Facebook-nya.

Insiden terjadi ketika umat Islam setempat sedang bersiap untuk melaksanakan salat Jumat. Jumlah korban meninggal akibat peristiwa itu mencapai 50 orang.

Korban luka dalam kejadian itu juga mencapai 50 orang. Salah satu korban meninggal adalah warga Indonesia, mendiang Lilik Abdul Hamid.

Sedangkan WNI yang menjadi korban luka adalah Zulfirmansyah dan anaknya.

Setelah peristiwa itu terjadi, kepolisian Selandia Baru menangkap empat orang, terdiri dari tiga lelaki dan seorang perempuan. Namun, baru Tarrant yang dijerat dengan dakwaan pembunuhan dan disidangkan.




Credit  cnnindonesia.com