ABU DHABI
- Industri militer Rusia seolah tak pernah berhenti berinovasi.
Teranyar, perusahaan perlengkapan militer asal Rusia, Kalashnikov Group,
berhasil menciptakan drone baru KYB. Hebatnya, seperti dilansir sputniknews.com, drone tersebut mampu melakukan serangan inti dengan menabrakkan dan meledakkan diri.
Drone KYB ini secara resmi diperlihatkan pada pameran senjata global IDEX 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirates Arab (UEA). Ini merupakan pertama kalinya KYB dipamerkan di luar Rusia.
Dengan demikian, kehadiran KYB merupakan lompatan baru akan fungsi pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) tersebut pertama kali dikembangkan Jerman selama Perang Dunia II. Sebelumnya, drone militer diarahkan untuk misi intelijen, pengintaian, dan pengawasan.
Drone KYB ini secara resmi diperlihatkan pada pameran senjata global IDEX 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirates Arab (UEA). Ini merupakan pertama kalinya KYB dipamerkan di luar Rusia.
Dengan demikian, kehadiran KYB merupakan lompatan baru akan fungsi pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) tersebut pertama kali dikembangkan Jerman selama Perang Dunia II. Sebelumnya, drone militer diarahkan untuk misi intelijen, pengintaian, dan pengawasan.
“Drone
ini sukses melalui berbagai uji coba dan sudah siap digunakan,” ungkap
Kalashnikov di sela-sela pameran senjata global IDEX 2019 di Abu Dhabi,
Minggu (17/2).
Dengan daya tampung hingga tiga kilogram, KYB dapat terbang selama 30 menit dan melaju dengan kecepatan 30–80 kilometer per jam.
Sejauh ini, tidak diketahui seberapa besar nilai penjualan KYB. Namun, Direktur Jenderal eksportir produk militer Rusia Rosoboronexport, Alexander Mikheev, optimistis produk-produk Rusia, termasuk KYB, banyak diburu.
Saat ini perusahaan militer Rusia lainnya, Sukhoi, juga sedang mengembangkan pesawat tempur tanpa awak Okhotnik. Drone itu sudah berhasil melalui uji penerbangan di Pangkalan Udara Fasilitas Asosiasi Produksi Pesawat Novosibirsk. Meski berukuran besar, drone itu digerakkan dengan mesin jet modern.
Okhotnik dari desainnya mirip dengan RQ-170 milik Amerika Serikat (AS), sedangkan dari spesifikasinya mirip dengan Tian Ying milik China. Pakar militer Rusia, Dmitry Safonov, mengatakan drone itu akan menjadi peralatan militer yang sangat tangguh dan efektif karena kekuatannya sama dengan sebuah jet tempur. “Bedanya, drone itu dikendalikan dari depan komputer di pangkalan militer,” kata Safonov, dilansir thedrive.com.
Okhotnik tidak dilengkapi dengan ekor dan memiliki berat selama take-off sebesar 25 ton. Pesawat tempur siluman tersebut juga mampu mengudara dengan kecepatan hingga 5.000 kilometer per jam. “Dengan kemajuan teknologi seperti saat ini dan adanya kecerdasan buatan, drone akan menjadi peralatan militer yang berbahaya,” kata Safonov. Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan bahwa drone jarak menengah atau tempur akan segera diluncurkan untuk mendukung operasi militer.
Rusia sedikitnya telah meluncurkan 70 drone modern selama perang saudara di Suriah. Drone Forpost dan Orlan-10 telah berhasil menemukan lebih dari 47.000 target dari balik awan. Namun, tidak ada satu pun drone yang diluncurkan yang dilengkapi dengan armamen. Semuanya hanya beroperasi sebagai mata-mata.
Drone tempur Rusia lainnya yang siap diproduksi massal ialah Orion. Drone seberat 1.000 kilogram itu mampu melakukan penerbangan selama 24 jam dan menyerang target dengan rudal, juga bom seberat 25 dan 50 kilogram. Pakar militer Aleksey Leonkov mengatakan bahwa drone Rusia mulai bangkit.
Selama periode 1990-an atau 2000-an, Rusia sempat tertinggal dari AS dan China dalam pengembangan drone. Sebagian besar proyek UAV dan UCAV dibekukan atau ditunda. Namun dengan keterlibatan dalam perang Suriah, Rusia mencoba mengejar ketertinggalan dari AS dan menjaga citra sebagai negara adidaya.
Sejauh ini, AS masih unggul. Setelah menanamkan modal miliaran dolar AS dan uji coba ekstensif selama beberapa dekade, pengalaman AS dalam teknologi drone sulit dikalahkan, baik dalam desain maupun inovasi. AS telah menggunakan drone dalam berbagai konflik, dari Irak, Yaman, hingga Somalia.
Militer AS mengoperasikan UAV dalam skala yang amat besar. Sampai Januari 2014, rinciannya meliputi 7.362 RQ-11 Ravens; 990 AeroVironment Wasp IIIs; 1.137 AeroVironment RQ-20 Pumas; 306 RQ-16 T-Hawk; 246 Predators; MQ-1C Grey Eagles; 126 MQ-9 Reapers; 491 RQ-7 Shadow; dan 33 RQ-4 Global Hawk.
Dengan daya tampung hingga tiga kilogram, KYB dapat terbang selama 30 menit dan melaju dengan kecepatan 30–80 kilometer per jam.
Sejauh ini, tidak diketahui seberapa besar nilai penjualan KYB. Namun, Direktur Jenderal eksportir produk militer Rusia Rosoboronexport, Alexander Mikheev, optimistis produk-produk Rusia, termasuk KYB, banyak diburu.
Saat ini perusahaan militer Rusia lainnya, Sukhoi, juga sedang mengembangkan pesawat tempur tanpa awak Okhotnik. Drone itu sudah berhasil melalui uji penerbangan di Pangkalan Udara Fasilitas Asosiasi Produksi Pesawat Novosibirsk. Meski berukuran besar, drone itu digerakkan dengan mesin jet modern.
Okhotnik dari desainnya mirip dengan RQ-170 milik Amerika Serikat (AS), sedangkan dari spesifikasinya mirip dengan Tian Ying milik China. Pakar militer Rusia, Dmitry Safonov, mengatakan drone itu akan menjadi peralatan militer yang sangat tangguh dan efektif karena kekuatannya sama dengan sebuah jet tempur. “Bedanya, drone itu dikendalikan dari depan komputer di pangkalan militer,” kata Safonov, dilansir thedrive.com.
Okhotnik tidak dilengkapi dengan ekor dan memiliki berat selama take-off sebesar 25 ton. Pesawat tempur siluman tersebut juga mampu mengudara dengan kecepatan hingga 5.000 kilometer per jam. “Dengan kemajuan teknologi seperti saat ini dan adanya kecerdasan buatan, drone akan menjadi peralatan militer yang berbahaya,” kata Safonov. Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan bahwa drone jarak menengah atau tempur akan segera diluncurkan untuk mendukung operasi militer.
Rusia sedikitnya telah meluncurkan 70 drone modern selama perang saudara di Suriah. Drone Forpost dan Orlan-10 telah berhasil menemukan lebih dari 47.000 target dari balik awan. Namun, tidak ada satu pun drone yang diluncurkan yang dilengkapi dengan armamen. Semuanya hanya beroperasi sebagai mata-mata.
Drone tempur Rusia lainnya yang siap diproduksi massal ialah Orion. Drone seberat 1.000 kilogram itu mampu melakukan penerbangan selama 24 jam dan menyerang target dengan rudal, juga bom seberat 25 dan 50 kilogram. Pakar militer Aleksey Leonkov mengatakan bahwa drone Rusia mulai bangkit.
Selama periode 1990-an atau 2000-an, Rusia sempat tertinggal dari AS dan China dalam pengembangan drone. Sebagian besar proyek UAV dan UCAV dibekukan atau ditunda. Namun dengan keterlibatan dalam perang Suriah, Rusia mencoba mengejar ketertinggalan dari AS dan menjaga citra sebagai negara adidaya.
Sejauh ini, AS masih unggul. Setelah menanamkan modal miliaran dolar AS dan uji coba ekstensif selama beberapa dekade, pengalaman AS dalam teknologi drone sulit dikalahkan, baik dalam desain maupun inovasi. AS telah menggunakan drone dalam berbagai konflik, dari Irak, Yaman, hingga Somalia.
Militer AS mengoperasikan UAV dalam skala yang amat besar. Sampai Januari 2014, rinciannya meliputi 7.362 RQ-11 Ravens; 990 AeroVironment Wasp IIIs; 1.137 AeroVironment RQ-20 Pumas; 306 RQ-16 T-Hawk; 246 Predators; MQ-1C Grey Eagles; 126 MQ-9 Reapers; 491 RQ-7 Shadow; dan 33 RQ-4 Global Hawk.
Tentara
Angkatan Udara (AU) AS juga melatih lebih banyak pilot drone ketimbang
pilot jet tempur atau bomber karena tiga kali lebih cepat. Sampai
Agustus 2013, jumlah pilot pesawat tanpa awak (remotely piloted
aircraft/RPA) mencapai 1.300 atau 8,5% dari total pilot Tentara AU AS,
naik dari 3,3% pada 2008.
China juga tidak mau kalah. Dengan ketatnya persaingan militer, China mulai melakukan investasi besar-besaran dalam produksi drone dan menarik banyak perusahaan, baik badan usaha milik negara maupun swasta. Penggunaan drone juga diyakini penting bagi China untuk mengakses wilayah udara di kawasan sengketa.
Pada tahun lalu, China memamerkan drone generasi baru yang dianggap sebagai UAV paling canggih. CH7 disebut lebih baik dibanding RQ-170 milik AS dan hampir sebanding dengan RQ-180. Kepala Insinyur dan Desainer CH7, Shi Wen, mengatakan bahwa CH7 memiliki daya penetrasi yang hebat dan daya jelajah yang jauh.
“CH7 memiliki tempat penyimpanan senjata, mulai senjata pelontar, misil, hingga bom,” ujar Wen, dikutipi indiatimes.com.
Dengan kecepatan tinggi dan kemampuan melakukan operasi senyap, drone itu dapat melakukan beragam misi di tengah kondisi genting. CH7 juga dapat mengganggu sinyal radar elektronik.
China juga tidak mau kalah. Dengan ketatnya persaingan militer, China mulai melakukan investasi besar-besaran dalam produksi drone dan menarik banyak perusahaan, baik badan usaha milik negara maupun swasta. Penggunaan drone juga diyakini penting bagi China untuk mengakses wilayah udara di kawasan sengketa.
Pada tahun lalu, China memamerkan drone generasi baru yang dianggap sebagai UAV paling canggih. CH7 disebut lebih baik dibanding RQ-170 milik AS dan hampir sebanding dengan RQ-180. Kepala Insinyur dan Desainer CH7, Shi Wen, mengatakan bahwa CH7 memiliki daya penetrasi yang hebat dan daya jelajah yang jauh.
“CH7 memiliki tempat penyimpanan senjata, mulai senjata pelontar, misil, hingga bom,” ujar Wen, dikutipi indiatimes.com.
Dengan kecepatan tinggi dan kemampuan melakukan operasi senyap, drone itu dapat melakukan beragam misi di tengah kondisi genting. CH7 juga dapat mengganggu sinyal radar elektronik.
Credit sindonews.com