Negara miskin dan berkembang terpikat tawaran pinjaman murah dari Cina.
CB,
BEIJING -- Dalam upayanya mengukuhkan pengaruh ekonomi dan politik di
dunia, Pemerintah Cina kini mengucurkan dana miliaran dolar berupa
pinjaman lunak kepada negara-negara miskin dan berkembang. Dana pinjaman
itu umumnya digunakan dalam proyek-proyek infrastruktur. Namun apa yang
terjadi ketika negara penerima tak sanggup membayar pinjamannya?
Sejumlah
pengamat memperingatkan, Cina kini mempergunakan pinjaman sebagai
bentuk jebakan. Tujuannya memungkinkan negara itu mengukuhkan
pengaruhnya di dunia. Polanya seperti digambarkan berikut ini.
Diplomasi jebakan utang
Negara-negara
miskin dan berkembang terpikat oleh tawaran pinjaman murah dari Cina
demi membangun proyek-proyek infrastruktur. Kemudian, ketika negara
bersangkutan tak mampu memenuhi jadwal pembayaran utangnya, Cina akan
menuntut konsesi atau ganti rugi lainnya sebagai bentuk penghapusan
utang. Proses ini dikenal sebagai diplomasi jebakan utang.
Srilanka akhirnya menyerahkan pelabuhan Hambantota Port sebagai bagian pelunasan utang mereka ke Cina. (Wikimedia Commons)
Proyek
Pelabuhan Hambantota di Srilanka merupakan contoh nyata yang bisa
menjadi peringatan bagi negara mana saja yang bermaksud menerima
pinjaman tanpa syarat dari Cina. Tahun lalu, Srilanka dilanda aksi
protes ketika dipaksa menyerahkan pengelolaan pelabuhannya ke Cina dalam
bentuk sewa 99 tahun. Penyerahan itu terpaksa dilakukan demi menghapus
utang Srilanka sekitar 1 miliar dolar AS.
Kini Cina
mengendalikan pelabuhan utama, tepat di ambang pintu saingannya, India.
Pelabuhan itu juga sangat strategis di jalur komersial dan militer.
Kasus negara-negara Pasifik
Australia
dinilai agak lamban menanggapi melusnya pengaruh Cina di kawasan
Pasifik. Pinjaman dan bantuan Cina di sana telah meningkat menjadi 1,8
miliar dolar AS dalam waktu satu dekade. Sejumlah negara kini sudah
sangat bergantung pada utang dari Cina.
Cina malah
menjanjikan untuk mengucurkan 5,8 miliar dolar AS di seluruh kawasan
Pasifik. Di Papua Nugini misalnya, Cina menjanjikan kucuran pinjaman
tanpa syarat sebesar 3,5 miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur
jalan dari Port Moresby ke kawasan pedalaman.
Cina menawarkan miliaran dolar pinjaman tanpa syarat ke Papua Nugini meskipun sebagian besar belum terealiasasi. (ABC News/Eric Tlozek)
Fiji
kini berutang setengah miliar dolar ke Cina. Sementara Tonga terjerat
utang lebih dari 160 juta dolar AS, yaitu sepertiga dari PDB negara itu.
Cina telah memaksa Tonga untuk mengakui gagal membayar utangnya.
Perdana
Menteri Tonga yang sebelumnya menyerukan negara-negara Pasifik bersatu
melawan Cina akhirnya menarik pernyataannya tanpa alasan yang jelas.
Awal tahun ini, laporan Cina akan membangun pangkalan militer di Vanuatu
memicu kepanikan di Australia.
Perdana Menteri
Scott Morrison telah mengumumkan pembentukan bank infrastruktur untuk
proyek-proyek di kawasan Pasifik. Presiden Xi Jinping yang kini
berkunjung ke Port Moresby untuk menghadiri KTT APEC, dijadwalkan
mengadakan pertemuan khusus dengan pemimpin negara Pasifik. Presiden Xi
diperkirakan akan menawarkan lebih banyak pinjaman lunak kepada mereka.
Proyek One Belt One Road (OBOR) Cina
Isu
utama terkait investasi Cina di berbagai negara, adalah kebijakan utama
Pemerintahan Presiden Xi, proyek bernama One Belt One Road (OBOR). OBOR
bernilai triliun dolar dengan tujuan menghubungkan negara-negara di
berbagai benua untuk tujuan perdagangan, dengan Cina sebagai pusatnya.
Cina
menyebut proyek OBOR sebagai sama-sama menguntungkan bagi ambisi
perdagangan globalnya dan bagi negara-negara berkembang yang butuh
infrastruktur. Namun kenyataan di lapangan, kini sejumlah negara rentan
terjebak dalam lilitan utang Cina.
Pada 2011,
Tajikistan misalnya telah menyerahkan tanah di perbatasannya yang
disengketakan dengan Cina sebagai bentuk pembayaran utang. Cina juga
mengucurkan pinjaman satu miliar dolar lebih bagi Montenegro untuk
membangun jalan raya yang menghubungkan Port of Bar dengan Serbia.
Proyek itu sendiri dikerjakan perusahaan konstruksi Cina.
Namun,
akibat nilai tukar mata uang dan cetak-biru proyek itu, terjadi
pembengkakan biaya sehingga hanya bisa terbangun sebagian. Montenegro
kini terancam menghentikan proyek itu atau menegosiasi pinjaman lebih
besar ke Cina, menyebabkan negera itu kian terjerat lebih jauh dalam
pengaruh Beijing.
Utang luar negeri Zambia sebagian besar berasal dari Cina. (ABC News/Siobhan Heanue)
Di
Afrika, Cina membiayai proyek-proyek besar di seluruh benua, dan
tingkat investasi Beijing semakin cepat. Pada September, Presiden Xi
menjanjikan pinjaman 82 miliar dolar untuk negara-negara Afrika selama
tiga tahun. Jumlah yang sama telah dikucurkan pada 2015.
Investasi
Cina di Zambia misalnya sangat menonjol. Pembangunan sekolah, rumah
sakit dan konstruksi memiliki simbol-simbol Cina, termasuk jaringan
jalan raya baru. Namun utang dari Cina di Zambia kini mencapai sepertiga
dari total utang negara 13 miliar dolar AS.
Kesepakatan utang mengkhawatirkan
Saat
ini banyak negara telah menikmati jaringan jalan raya dan bandara baru.
Namun mungkin hanya masalah waktu sampai mereka akhirnya terjebak
utang. Meningkatnya ketergantungan pada investasi Cina di seluruh dunia
meningkatkan kekhawatiran tentang dinamika geopolitik di abad ke-21.
Sejumlah
negara, dipicu oleh kasus Srilanka tahun lalu, mulai melepaskan diri
dari ketergantungan mereka pada pinjaman Cina. Nepal dan Pakistan
misalnya telah membatalkan proyek-proyek infrastruktur pada 2017.
Tapi
bukan hanya negara berkembang yang berhutang kepada Cina. Cina kini
tercatat sebagai pemberi utang terbesar ke AS, yaitu sebesar 1,1 triliun
dolar AS dalam bentuk obligasi pemerintah.
Namun
patut dicatat, di tengah kekhawatiran meningkatnya pengaruh China, hanya
ada satu pangkalan militer mereka di luar negeri, yaitu, di sebuah
negara kecil bernama Djibouti di Afrika Timur.
Bandingkan
dengan Amerika Serikat yang memiliki 800 pangkalan militer di 70
negara. Artinya, Cina bukanlah satu-satunya negara di dunia yang
memproyeksikan kekuatannya ke negara lain.
Seberapa
besar ambisi Presiden Xi dalam hal itu masih belum jelas. Namun tak
diragukan lagi dia jelas menghendaki Cina memimpin apa yang dijuluki
sebagai Abad Asia.