MOSKOW
- Moskow siap mempercepat pengiriman sistem rudal pertahanan udara
S-400 ke Ankara seperti yang diminta Turki. Hal ini disampaikan Menteri
Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov usai menyambut kunjungan Menteri Luar
Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.
”Sebagai tanggapan atas permintaan mitra Turki kami untuk mempercepat pengiriman yang direncanakan semula, kami bereaksi positif,” kata Lavrov mengatakan kepada wartawan di Ibu Kota Rusia, Moskow, pada hari Rabu.
Namun diplomat top Moskow itu menolak mengumumkan tanggal pasti pengiriman sistem rudal pertahanan udara mutakhir itu. ”Pelaksanaan kesepakatan S-400 adalah salah satu isu yang sekarang dibahas secara praktis oleh para spesialis,” ujarnya. Dengan demikian, dia merasa tak berhak mengungkapkannya kepada publik.
Moskow dan Ankara menandatangani sebuah kesepakatan senilai USD2,5 miliar untuk pengadaan S-400 Triumph Rusia—yang oleh NATO dinamai sebagai SA-21 Growler—pada bulan Desember.
Vladimir Kozhin, ajudan Presiden Vladimir Putin untuk kerja sama industri pertahanan mengatakan bahwa penyerahan pertama sistem pertahanan udara canggih itu kepada Turki dijadwalkan dimulai pada awal 2020. Kozhin seperti dikutip Rossiya 24, mencatat bahwa Rusia telah mengakomodasi keinginan Turki untuk mempercepat pelaksanaan kontrak.
”Semakin cepat Turki menerima (sistem rudal S-400) semakin baik. Pekerjaan berlanjut sampai akhir ini,” kata Cavusoglu dalam sebuah pertanyaan, seperti dikutip Hurriyet Daily News, Kamis (15/3/2018).
Kesepakatan itu memicu ketegangan antara Turki dan sekutu NATO-nya, Amerika Serikat. Washington dengan gigih menentang kesepakatan tersebut, memperingatkan Ankara pada bulan Oktober bahwa keputusannya membeli sistem pertahanan Rusia akan menghadapi konsekuensi.
Militer AS memperingatkan sistem pertahanan buatan Rusia yang dibeli Ankara tidak dapat dioperasikan dengan infrastruktur NATO.
Dalam skenario terburuk, Washington telah mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada sekutunya di Timur Tengah tersebut. Sanksi merujuk pada Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA), yang ditandatangani pada bulan Agustus dan ditujukan untuk menghambat ekspor senjata Rusia.
Tapi, pemerintah Presiden Tayyip Erdogan bersumpah untuk tetap teguh pada kesepakatan tersebut meski mendapat tekanan dari AS.
Pada hari Selasa lalu, Cavusoglu menekankan bahwa keanggotaan Turki di NATO tidak menjadikannya sebagai bawahan AS.
”Turki adalah anggota NATO, tapi kami adalah negara merdeka, kami bukan negara satelit,” kata Cavusoglu. ”Turki memiliki hak dan kebebasan yang sama seperti anggota NATO lainnya yang membeli senjata dari pihak ketiga.”
Dia juga menepis kekhawatiran bahwa sistem tersebut dapat digunakan dalam operasi militer Turki melawan Kurdi. Menurutnya, S-400 hanya akan dikerahkan sebagai sistem pertahanan jika Turki diserang.
”Sebagai tanggapan atas permintaan mitra Turki kami untuk mempercepat pengiriman yang direncanakan semula, kami bereaksi positif,” kata Lavrov mengatakan kepada wartawan di Ibu Kota Rusia, Moskow, pada hari Rabu.
Namun diplomat top Moskow itu menolak mengumumkan tanggal pasti pengiriman sistem rudal pertahanan udara mutakhir itu. ”Pelaksanaan kesepakatan S-400 adalah salah satu isu yang sekarang dibahas secara praktis oleh para spesialis,” ujarnya. Dengan demikian, dia merasa tak berhak mengungkapkannya kepada publik.
Moskow dan Ankara menandatangani sebuah kesepakatan senilai USD2,5 miliar untuk pengadaan S-400 Triumph Rusia—yang oleh NATO dinamai sebagai SA-21 Growler—pada bulan Desember.
Vladimir Kozhin, ajudan Presiden Vladimir Putin untuk kerja sama industri pertahanan mengatakan bahwa penyerahan pertama sistem pertahanan udara canggih itu kepada Turki dijadwalkan dimulai pada awal 2020. Kozhin seperti dikutip Rossiya 24, mencatat bahwa Rusia telah mengakomodasi keinginan Turki untuk mempercepat pelaksanaan kontrak.
”Semakin cepat Turki menerima (sistem rudal S-400) semakin baik. Pekerjaan berlanjut sampai akhir ini,” kata Cavusoglu dalam sebuah pertanyaan, seperti dikutip Hurriyet Daily News, Kamis (15/3/2018).
Kesepakatan itu memicu ketegangan antara Turki dan sekutu NATO-nya, Amerika Serikat. Washington dengan gigih menentang kesepakatan tersebut, memperingatkan Ankara pada bulan Oktober bahwa keputusannya membeli sistem pertahanan Rusia akan menghadapi konsekuensi.
Militer AS memperingatkan sistem pertahanan buatan Rusia yang dibeli Ankara tidak dapat dioperasikan dengan infrastruktur NATO.
Dalam skenario terburuk, Washington telah mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada sekutunya di Timur Tengah tersebut. Sanksi merujuk pada Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA), yang ditandatangani pada bulan Agustus dan ditujukan untuk menghambat ekspor senjata Rusia.
Tapi, pemerintah Presiden Tayyip Erdogan bersumpah untuk tetap teguh pada kesepakatan tersebut meski mendapat tekanan dari AS.
Pada hari Selasa lalu, Cavusoglu menekankan bahwa keanggotaan Turki di NATO tidak menjadikannya sebagai bawahan AS.
”Turki adalah anggota NATO, tapi kami adalah negara merdeka, kami bukan negara satelit,” kata Cavusoglu. ”Turki memiliki hak dan kebebasan yang sama seperti anggota NATO lainnya yang membeli senjata dari pihak ketiga.”
Dia juga menepis kekhawatiran bahwa sistem tersebut dapat digunakan dalam operasi militer Turki melawan Kurdi. Menurutnya, S-400 hanya akan dikerahkan sebagai sistem pertahanan jika Turki diserang.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan surat kabar Zeit Jerman, Cavusoglu membela keputusan Turki untuk memilih sistem pertahanan S-400 Rusia. Menurutnya, salah satu alasannya karena kesepakatan untuk membeli sistem rudal Patriot AS macet di Kongres.
”Kami bahkan memiliki masalah dengan membeli senapan sederhana dari AS karena kekhawatiran Kongres. Kami harus membelinya dari seseorang,” katanya.
Sistem anti-pesawat S-400 dilengkapi dengan empat jenis rudal pencegat yang beroperasi pada jarak 400 meter sampai 40 kilometer dan mampu menghancurkan rudal pesawat, rudal jelajah dan rudal balistik.
Credit sindonews.com