NEW YORK
- Korea Utara (Korut) terus meningkatkan jangkauan misilnya secara
drastis. Dalam uji coba tahun lalu, negara Komunis itu menunjukkan bahwa
mereka mungkin bisa menyerang Amerika Serikat (AS). Korut termasuk di
antara sejumlah negara yang telah berupaya memperbaiki keakuratan dan
jangkauan rudal mereka.
"Kami percaya bahwa kita memasuki sebuah renaissance rudal," kata Ian Williams, seorang direktur di Pusat Studi Strategis dan Internasional, yang telah mengumpulkan data tentang program rudal di berbagai negara seperti dilansir dari New York Times, Kamis (8/2/2018).
Williams menuturkan bahwa semakin banyak negara dengan akses ke rudal meningkatkan ketegangan regional dan membuat perang lebih mungkin terjadi. Negara-negara lebih cenderung menggunakan persenjataan mereka jika menurut mereka rudal mereka bisa menjadi sasaran.
Selain itu, banyak rudal yang dikembangkan oleh negara-negara ini didasarkan pada teknologi usang, yang membuat mereka kurang akurat, meningkatkan risiko pada warga sipil. Selain itu ada risiko bahwa rudal bisa jatuh ke tangan milisi dan kelompok teroris.
Banyak negara yang telah banyak berinvestasi dalam rudal selama dua dekade terakhir berada di hotspot terkenal di Asia dan Timur Tengah.
Negara-negara yang berinvestasi dalam rudal sering berusaha untuk menghalangi musuh regional mereka. Tapi efek dari balapan senjata ini menimbulkan riak di seluruh dunia.
Korut adalah contoh paling berbahaya. Pada 1990, perkiraan kisaran jangkauan maksimum rudal negara itu hanya 745 mil. Namun sekarang jangkauan rudalnya telah mencapai 8.000 mil. Jangkauan seperti itu cukup untuk menyerang sekitara separuh dunia, termasuk daratan AS. Namun, selama periode yang sama, Korea Selatan (Korsel) mempunyai kemampuan untuk menyerang Korut dari masa saja.
Negara-negara seperti Iran, Korut dan Pakistan memiliki program pengembangan rudal yang sangat gencar. Dan kesamaan beberapa rudal mereka menunjukkan bahwa mereka telah berkolaborasi untuk berbagi teknologi.
Pakistan mulai berinvestasi lebih banyak dalam program rudalnya pada 1990-an dan diyakini juga berkolaborasi dengan China. Pada pertengahan tahun 2000-an, Pakistan memiliki kemampuan untuk menyerang sebagian besar India, saingan regional utamanya.
India, pada gilirannya, mampu menyerang wilayah manapun di Pakistan dan sebagian besar China, saingan regional lainnya, dalam dua dekade terakhir. India sekarang berkolaborasi dengan Rusia untuk mengembangkan rudal jelajah.
Arab Saudi dan Israel sudah bisa menyerang Iran sebelum tahun 1990. Tapi sekarang Iran bisa menyerang balik di salah satu negara, sebagian berkat teknologi yang diperolehnya dari Korut.
Selain itu, baik India dan Korut sedang mengerjakan rudal yang diluncurkan oleh kapal selam, yang memungkinkan kedua negara untuk lebih menyembunyikan rudal mereka untuk digunakan sebagai serangan balasan.
Area lain yang menjadi perhatian adalah milisi atau kelompok teroris yang mendapatkan akses terhadap rudal.
"Kami percaya bahwa kita memasuki sebuah renaissance rudal," kata Ian Williams, seorang direktur di Pusat Studi Strategis dan Internasional, yang telah mengumpulkan data tentang program rudal di berbagai negara seperti dilansir dari New York Times, Kamis (8/2/2018).
Williams menuturkan bahwa semakin banyak negara dengan akses ke rudal meningkatkan ketegangan regional dan membuat perang lebih mungkin terjadi. Negara-negara lebih cenderung menggunakan persenjataan mereka jika menurut mereka rudal mereka bisa menjadi sasaran.
Selain itu, banyak rudal yang dikembangkan oleh negara-negara ini didasarkan pada teknologi usang, yang membuat mereka kurang akurat, meningkatkan risiko pada warga sipil. Selain itu ada risiko bahwa rudal bisa jatuh ke tangan milisi dan kelompok teroris.
Banyak negara yang telah banyak berinvestasi dalam rudal selama dua dekade terakhir berada di hotspot terkenal di Asia dan Timur Tengah.
Negara-negara yang berinvestasi dalam rudal sering berusaha untuk menghalangi musuh regional mereka. Tapi efek dari balapan senjata ini menimbulkan riak di seluruh dunia.
Korut adalah contoh paling berbahaya. Pada 1990, perkiraan kisaran jangkauan maksimum rudal negara itu hanya 745 mil. Namun sekarang jangkauan rudalnya telah mencapai 8.000 mil. Jangkauan seperti itu cukup untuk menyerang sekitara separuh dunia, termasuk daratan AS. Namun, selama periode yang sama, Korea Selatan (Korsel) mempunyai kemampuan untuk menyerang Korut dari masa saja.
Negara-negara seperti Iran, Korut dan Pakistan memiliki program pengembangan rudal yang sangat gencar. Dan kesamaan beberapa rudal mereka menunjukkan bahwa mereka telah berkolaborasi untuk berbagi teknologi.
Pakistan mulai berinvestasi lebih banyak dalam program rudalnya pada 1990-an dan diyakini juga berkolaborasi dengan China. Pada pertengahan tahun 2000-an, Pakistan memiliki kemampuan untuk menyerang sebagian besar India, saingan regional utamanya.
India, pada gilirannya, mampu menyerang wilayah manapun di Pakistan dan sebagian besar China, saingan regional lainnya, dalam dua dekade terakhir. India sekarang berkolaborasi dengan Rusia untuk mengembangkan rudal jelajah.
Arab Saudi dan Israel sudah bisa menyerang Iran sebelum tahun 1990. Tapi sekarang Iran bisa menyerang balik di salah satu negara, sebagian berkat teknologi yang diperolehnya dari Korut.
Selain itu, baik India dan Korut sedang mengerjakan rudal yang diluncurkan oleh kapal selam, yang memungkinkan kedua negara untuk lebih menyembunyikan rudal mereka untuk digunakan sebagai serangan balasan.
Area lain yang menjadi perhatian adalah milisi atau kelompok teroris yang mendapatkan akses terhadap rudal.
Salah satu contoh yang jelas tentang hal ini terjadi pada bulan November, ketika sebuah rudal balistik yang ditembakkan dari Yaman mencapai Ibu Kota Arab Saudi. Rudal tersebut ditembakkan oleh pemberontak Houthi, milisi Syiah yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman tiga tahun lalu dan didukung oleh Iran serta Hizbullah, sebuah kelompok militan dari Lebanon.
Liga Arab telah menuduh Houthi menembaki puluhan rudal ke Arab Saudi sejak kerajaan tersebut mulai menyerang untuk mengusir para pemberontak pada tahun 2015.
Senjata yang digunakan untuk melawan Arab Saudi adalah variasi dari rudal Scud.
Scud dan variasinya telah menjadi beberapa rudal paling umum di dunia. Rusia awalnya mengembangkan Scud di tahun 1950 untuk membawa senjata pemusnah massal.
Rudal Scud memainkan peran penting dalam program senjata negara-negara seperti Korut dan Iran. Senjata yang diproduksi oleh Korut adalah contoh betapa sulitnya menghentikan penyebaran rudal.
Meskipun diberi sanksi puluhan tahun, negara tersebut mengembangkan rudal balistik dengan terlebih dahulu mempelajari rudal Scud. Korut bahkan berhasil menjual beberapa rudal hasil pengembangannya.
"Rudal Scud Soviet, kemudian Korea Utara, mungkin semacam pintu gerbang ke program rudal, namun cerita besarnya adalah proliferasi dalam negeri," ujar direktur Program Nonproliferasi Asia Timur di Middlebury Institute of International Studies di Monterey, Jeffrey Lewis.
Mencoba mencegah penyebaran teknologi rudal sangat sulit. Tapi hampir tidak mungkin menghentikan perdagangan di bagian yang lebih kecil, seperti sistem panduan dan mesin, serta keahlian manusia. Sebuah thumb drive komputer tunggal bisa menyimpan banyak rahasia.
Dan, kadang-kadang, satu bagian bisa menjadi katalisator untuk sebuah terobosan: desain mesin rudal Soviet yang diperoleh Korut dianggap sebagai pendorong utama kemajuan baru-baru ini di negara itu.
Lewis menambahkan bahwa banyak negara sekarang mempelajari rahasia roket dan bagaimana membuat model yang semakin mengancam. India, misalnya, sedang mengerjakan rudal yang bisa memungkinkannya mencapai setengah dari planet ini.
Meningkatnya ancaman proliferasi rudal telah memicu upaya pengendalian baru oleh Rezim Kontrol Teknologi Rudal, sebuah kelompok yang terdiri dari 35 negara yang berusaha membatasi ekspor rudal dan komponennya.
Kelompok ini dalam sebuah pernyataan terbarunya menyoroti kepentingan kritis dari pekerjaannya untuk mengatasi perubahan cepat bagaimana senjata dikembangkan dan dipindahkan.
Tetapi beberapa analis skeptis dengan kemungkinan untuk menghentikan transfer rudal.
"Prospek untuk mengendalikan proliferasi rudal semakin cepat seiring teknologi untuk membangunnya menjadi biasa," kata Lewis.
Credit sindonews.com