CB, Yangoon
– Militer Myanmar enggan menanggapi kabar bahwa keputusannya untuk
melakukan investigasi internal terkait dengan pembumihangusan desa-desa
warga etnis Rohingya dipicu pemutusan hubungan kerja sama militer oleh Uni Eropa.
Militer Myanmar mengumumkan rencana pembentukan tim investigasi internal ini sehari setelah Uni Eropa mengumumkan penghentian semua bentuk kerja sama militer.
“Pejabat Komite Informasi Tatmadaw menolak berkomentar apakah keputusan militer ini sebagai respons atas keputusan Uni Eropa,” begitu tulisan dalam media Frontier Myanmar, Jumat, 13 Oktober 2017. Tatmadaw adalah nama resmi untuk penyebutan militer Myanmar.
Seperti diberitakan militer Myanmar mengumumkan akan memulai
penyelidikan internal atas tindakan anggotanya selama serangan militer
terhadap desa Rohingya, yang menyebabkan lebih dari setengah juta warga
Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh.
Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengatakan panel itu akan memeriksa kemungkinan pelanggaran prosedur oleh anggota militer.
"Apakah mereka mengikuti kode etik militer? Apakah mereka benar-benar mengikuti perintah selama operasi? Setelah itu (panitia) akan merilis informasi lengkap," kata Min seperti yang dilansir Independent pada 13 Oktober 2017.
Penyataan itu menambahkan, tim investigasi akan dipimpin Letnan Jenderal Aye Win dan segera memulai penyelidikan atas tindakan personel militer. Namun Min bersikeras penyelidikan internal itu harus sesuai dengan konstitusi negara itu.
Pengumuman ini datang tepat sebelum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadwalkan mendapat penjelasan dari mantan Sekretaris Jenderal Kofi Annan mengenai situasi Rohingya. Sanksi dari masyarakat internasional juga diyakini sudah dekat.
Sebelumnya, Myanmar telah menolak kedatangan tim investigasi PBB ke negara itu untuk menyelidiki dugaan tindakan pembumihangusan oleh militer Myanmar terhadap desa warga Rohingya. Selain itu, wartawan dilarang memasuki wilayah yang paling parah terkena dampak serangan militer di negara bagian Rakhine.
Serangan serentak oleh pemberontak Rohingya di 30 pos keamanan pada 25 Agustus 2017, dijadikan alasan oleh militer Myanmar untuk menyerang rumah warga desa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine.
PBB menyebut tindakan militer Myanmar, yang didukung milisi Buddha garis keras sebagai pembersihan etnis. Banyak saksi mengatakan militer Myanmar melakukan pembunuhan brutal, pemerkosaan, dan pembakaran rumah warga desa.
Namun, pemerintah Myanmar malah menyebut tindakan brutal militer sebagai tindakan sah terhadap warga minoritas Rohingya, yang telah bermukim selama ratusan tahun di Myanmar tapi dituding sebagai imigran gelap dari Bangladesh.
Militer Myanmar mengumumkan rencana pembentukan tim investigasi internal ini sehari setelah Uni Eropa mengumumkan penghentian semua bentuk kerja sama militer.
“Pejabat Komite Informasi Tatmadaw menolak berkomentar apakah keputusan militer ini sebagai respons atas keputusan Uni Eropa,” begitu tulisan dalam media Frontier Myanmar, Jumat, 13 Oktober 2017. Tatmadaw adalah nama resmi untuk penyebutan militer Myanmar.
Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengatakan panel itu akan memeriksa kemungkinan pelanggaran prosedur oleh anggota militer.
"Apakah mereka mengikuti kode etik militer? Apakah mereka benar-benar mengikuti perintah selama operasi? Setelah itu (panitia) akan merilis informasi lengkap," kata Min seperti yang dilansir Independent pada 13 Oktober 2017.
Penyataan itu menambahkan, tim investigasi akan dipimpin Letnan Jenderal Aye Win dan segera memulai penyelidikan atas tindakan personel militer. Namun Min bersikeras penyelidikan internal itu harus sesuai dengan konstitusi negara itu.
Pengumuman ini datang tepat sebelum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadwalkan mendapat penjelasan dari mantan Sekretaris Jenderal Kofi Annan mengenai situasi Rohingya. Sanksi dari masyarakat internasional juga diyakini sudah dekat.
Sebelumnya, Myanmar telah menolak kedatangan tim investigasi PBB ke negara itu untuk menyelidiki dugaan tindakan pembumihangusan oleh militer Myanmar terhadap desa warga Rohingya. Selain itu, wartawan dilarang memasuki wilayah yang paling parah terkena dampak serangan militer di negara bagian Rakhine.
Serangan serentak oleh pemberontak Rohingya di 30 pos keamanan pada 25 Agustus 2017, dijadikan alasan oleh militer Myanmar untuk menyerang rumah warga desa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine.
PBB menyebut tindakan militer Myanmar, yang didukung milisi Buddha garis keras sebagai pembersihan etnis. Banyak saksi mengatakan militer Myanmar melakukan pembunuhan brutal, pemerkosaan, dan pembakaran rumah warga desa.
Namun, pemerintah Myanmar malah menyebut tindakan brutal militer sebagai tindakan sah terhadap warga minoritas Rohingya, yang telah bermukim selama ratusan tahun di Myanmar tapi dituding sebagai imigran gelap dari Bangladesh.
Credit tempo.co