TEL AVIV
- Pemerintah Israel menyatakan bahwa mereka tidak akan mengadakan
perundingan damai dengan pemerintah Palestina jika kelompok Hamas berada
di dalamnya. Pernyataan Tel Aviv ini sebagai respons atas kesepakatan
rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas.
Faksi Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza dan faksi Fatah yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Tepi Barat mencapai kesepakatan rekonsiliasi pada pekan lalu di Kairo, Mesir. Dalam kesepakatan itu, Hamas setuju untuk menyerahkan kontrol administratif atas wilayah Gaza, termasuk perbatasan utama Rafah kepada pemerintah Abbas.
Berdasarkan kesepakatan yang diperantarai Mesir, pemerintah Perdana Menteri Rami al-Hamdallah yang didukung Fatah akan menjalankan wilayah Gaza dan Tepi Barat. Para pejabat Palestina mengatakan bahwa tidak ada rencana untuk menambahkan menteri Hamas ke kabinet pemerintah.
Perundingan damai Israel-Palestina terakhir runtuh pada tahun 2014, yang salah satu sebabanya sikap Israel yang menentang upaya awal bersatunya dua faksi di Palestina tersebut. Selain itu, Israel juga nekat membangun permukiman di tanah-tanah Palestina yang mereka duduki.
Dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan menteri senior Israel yang dikenal sebagai “Kabinet Keamanan”, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan kembali tuntutan Israel bahwa Hamas harus meninggalkan militansi.
”Berdasarkan keputusan sebelumnya, (Israel) tidak akan melakukan negosiasi diplomatik dengan pemerintah Palestina yang bergantung pada Hamas, sebuah organisasi teroris yang menyerukan penghancuran Israel,” bunyi pernyataan Netanyahu, seperti dikutip Reuters, Rabu (18/10/2017).
Israel juga mengajukan berbagai syarat, di antaraya; Hamas mengakui Israel, melucuti senjatanya, memutuskan hubungannya dengan Iran, mengembalikan jasad tentara Israel dan warga sipil yang diyakini Israel masih hidup dan ditahan di Gaza, dan Otoritas Palestina menjamin keamanan penuh atas daerah kantong pantai.
Berdasarkan kesepakatan rekonsiliasi, sekitar 3.000 petugas keamanan Fatah akan bergabung dengan pasukan polisi Gaza, namun Hamas akan tetap menjadi faksi bersenjata Palestina yang paling kuat di wilayah tersebut, dengan sekitar 25.000 militan memiliki peralatan lengkap.
Hamas merebut Gaza dari pasukan Fatah dalam sebuah “perang saudara” Palestina yang singkat pada 2007. Mesir sebelumnya menjadi mediator untuk mendamaikan kedua faksi itu namun gagal. Keberhasilan Mesir dalam menengahi rekonsiliasi Palestina pekan lalu telah mendapat pujian dari berbagai negara, termasuk Arab Saudi.
Faksi Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza dan faksi Fatah yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Tepi Barat mencapai kesepakatan rekonsiliasi pada pekan lalu di Kairo, Mesir. Dalam kesepakatan itu, Hamas setuju untuk menyerahkan kontrol administratif atas wilayah Gaza, termasuk perbatasan utama Rafah kepada pemerintah Abbas.
Berdasarkan kesepakatan yang diperantarai Mesir, pemerintah Perdana Menteri Rami al-Hamdallah yang didukung Fatah akan menjalankan wilayah Gaza dan Tepi Barat. Para pejabat Palestina mengatakan bahwa tidak ada rencana untuk menambahkan menteri Hamas ke kabinet pemerintah.
Perundingan damai Israel-Palestina terakhir runtuh pada tahun 2014, yang salah satu sebabanya sikap Israel yang menentang upaya awal bersatunya dua faksi di Palestina tersebut. Selain itu, Israel juga nekat membangun permukiman di tanah-tanah Palestina yang mereka duduki.
Dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan menteri senior Israel yang dikenal sebagai “Kabinet Keamanan”, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan kembali tuntutan Israel bahwa Hamas harus meninggalkan militansi.
”Berdasarkan keputusan sebelumnya, (Israel) tidak akan melakukan negosiasi diplomatik dengan pemerintah Palestina yang bergantung pada Hamas, sebuah organisasi teroris yang menyerukan penghancuran Israel,” bunyi pernyataan Netanyahu, seperti dikutip Reuters, Rabu (18/10/2017).
Israel juga mengajukan berbagai syarat, di antaraya; Hamas mengakui Israel, melucuti senjatanya, memutuskan hubungannya dengan Iran, mengembalikan jasad tentara Israel dan warga sipil yang diyakini Israel masih hidup dan ditahan di Gaza, dan Otoritas Palestina menjamin keamanan penuh atas daerah kantong pantai.
Berdasarkan kesepakatan rekonsiliasi, sekitar 3.000 petugas keamanan Fatah akan bergabung dengan pasukan polisi Gaza, namun Hamas akan tetap menjadi faksi bersenjata Palestina yang paling kuat di wilayah tersebut, dengan sekitar 25.000 militan memiliki peralatan lengkap.
Hamas merebut Gaza dari pasukan Fatah dalam sebuah “perang saudara” Palestina yang singkat pada 2007. Mesir sebelumnya menjadi mediator untuk mendamaikan kedua faksi itu namun gagal. Keberhasilan Mesir dalam menengahi rekonsiliasi Palestina pekan lalu telah mendapat pujian dari berbagai negara, termasuk Arab Saudi.
Credit sindonews.com