Rabu, 25 Oktober 2017

AS Pertimbangkan Sanksi Atas Oknum Myanmar Terkait Rohingya


AS Pertimbangkan Sanksi Atas Oknum Myanmar Terkait Rohingya 
Ilustrasi. (morgueFile/click)



Jakarta, CB -- Amerika Serikat mempertimbangkan langkah lebih lanjut untuk merespons krisis kemanusiaan yang menyasar minoritas Rohingya di Myanmar, salah satunya dengan menerapkan sanksi terhadap oknum terkait berdasarkan Undang-Undang Global Magnitsky.

"Kami tengah mengeksplorasi mekanisme akuntabilitas yang tersedia berdasarkan konstitusi AS, termasuk sanksi berdasarkan Global Magnitsky," bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri AS, Selasa (24/10).

Di bawah undang-undang yang disahkan Kongres pada 2012 itu, AS menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat Rusia yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Sergei Magnitsky, seorang pembocor rahasia negara, di penjara Moskow pada 2009 lalu.


Sejak saat itu, konstitusi ini diperluas AS sebagai dasar penerapan sanksi unilateralnya secara global.



Dengan undang-undang ini pula, AS diduga akan menyasar sejumlah jenderal tingkat tinggi Myanmar yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Rohingya dalam gelombang kekerasan terakhir sejak 25 Agustus lalu.

Bentrokan yang pecah di negara bagian Rakhine itu sudah menewaskan setidaknya 1.000 orang dan lebih dari 500 ribu Rohingya kabur ke Bangladesh.

Menlu AS, Rex Tillerson, mengatakan bahwa negaranya menganggap militer Myanmar lah yang bertanggung jawab atas tindakan krisis kemanusiaan terhadap Rohingya tersebut.

AS pun disebut-sebut tengah mempertimbangkan penjatuhan sanksi berupa penghentian kemudahan perjalanan bagi setiap anggota angkatan bersenjata negara itu.

Selain itu, Amerika juga tak segan menyetop bantuannya yang selama ini mengalir bagi militer Myanmar, khususnya pasukan unit di Rakhine.



Lebih jauh, AS juga dilaporkan tengah berdiskusi dengan sejumlah mitra dan sekutunya mengenai opsi pertanggungjawaban yang dapat diterapkan PBB terhadap Myanmar.

"Kami ingin bekerja sama dengan dunia internasional untuk mendesak Myanmar membuka akses ke sejumlah pusat konflik bagi misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional lainnya, termasuk media," bunyi pernyataan Kemlu AS menambahkan.

Washington telah lama mengungkapkan keprihatinan terhadap krisis kemanusiaan tersebut yang dianggap PBB sebagai upaya pembersihan etnis minoritas di Rakhine.

AS pun mendesak seluruh pihak yang terlibat dalam tragedi kemanusiaan ini untuk bertanggung jawab sesuai hukum.



"Kami dengan sangat serius mengungkapkan keprihatinan kami terhadap kejadian baru-baru ini di Rakhine dan kekerasan serta kekejaman yang menyakitkan yang telah menyiksa Rohingya dan komunitas lain di sana," tulis Kemlu AS.

"Sangat penting bahwa setiap individu, setiap entitas yang terlibat atas kekejaman ini, termasuk aktor negara maupun non-negara, untuk bertanggung jawab," demikian pernyataan Kemlu AS, sebagaimana dikutip Reuters.

Sejumlah pihak bahkan menganggap konflik kemanusiaan di Rakhine ini sudah saatnya dikatakan sebagai tragedi genosida.



Credit  cnnindonesia.com