Dipilih jadi PM karena Brexit, posisi Theresa
May goyang akibat upaya mosi tidak percaya. Berhasil lolos, May bertekad
membawa Inggris keluar Uni Eropa. (Reuters/Toby Melville)
Meski berhasil lolos, May masih harus menghadapi ketidakpercayaan dari dalam tubuh partainya sendiri yang membuatnya berjanji tak akan mengikuti pemilu 2019. Ia berjanji hanya ingin menuntaskan tugasnya untuk mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa.
Mosi tidak percaya ini sendiri diajukan menyusul negosiasi tentang pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa, atau dikenal dengan istilah British Exit (Brexit), yang semakin kacau setelah May memutuskan menunda pemungutan suara Brexit di parlemen kemarin.
May menunda pemungutan suara tersebut salah satunya lantaran proposal perjanjian dengan Uni Eropa terkait Brexit gagasannya kalah suara.
Pengajuan mosi itu semakin memperdalam krisis kepemimpinan yang dihadapi May sejak menjabat sebagai PM pada Juli 2016 lalu.
Nahasnya, kala itu May terpilih menggantikan David Cameron yang mengundurkan diri setelah hasil referendum memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa.
"Saya percaya bahwa Inggris akan lebih kuat, lebih aman, dan lebih baik, ketika berada dalam Uni Eropa. Tetapi, warga Inggris telah membuat keputusan berbeda untuk mengambil langkah lain. Karena itu, saya pikir negara ini butuh pemimpin baru yang bisa membawa Inggris ke arah itu," ucap Cameron pada Juni 2016 lalu di hari dirinya mengundurkan diri seperti dikutip The Guardian.
Dalam pidato perdananya sebagai PM, May berjanji mendukung Brexit dan mencapai kesepakatan terbaik sebelum Inggris benar-benar meninggalkan Uni Eropa.
"Menyusul keputusan kita (Inggris) untuk meninggalkan Uni Eropa, kita akan membentuk peran positif baru bagi diri kita sendiri di dunia ini. Dan kita akan menjadikan Inggris sebuah negara yang berfungsi bukan untuk beberapa orang tertentu, tapi untuk setiap orang dari masing-masing kita," ucap May saat berpidato di kantor perdana menteri di Downing Street 10, seperti dikutip Washington Post.
"Itu akan menjadi misi pemerintah yang saya pimpin dan bersama-sama, kita akan membangun Inggris yang lebih baik lagi."
Sejak itu, Brexit dianggap sebagai mantranya meraih dukungan penuh publik dan kabinetnya dalam menjalan kepemimpinan. Namun, dukungan terhadap May terus berkurang setelah dirinya kalah dalam pemilihan sela pada Juni 2017 lalu.
Pemilihan itu ia gagas dengan harapan mampu mengubur penentangan oposisi terhadap rencana Brexit yang digagasnya.
Alih-alih memperkuat dukungan, partai May kalah dalam pemilihan tersebut dan membuat posisinya kian terdesak di pemerintahan. Sejumlah menteri pun keluar masuk kabinetnya karena bersilang pendapat dengan sang PM.
Dikutip AFP, May sendiri sebelumnya mendukung Inggris untuk tetap berada di Uni Eropa. Namun, perspektif politik itu berubah menyusul tanggung jawabnya melanjutkan hasil referendum ketika dia terpilih menjadi PM.
Perdana Menteri Inggris Theresa May (tengah). (REUTERS/Anthony Devlin/Pool)
|
May dikenal sebagai perempuan keras kepala. Sifat itu bahkan bisa dilihat dari pendekatannya dalam merampungkan negosiasi Brexit selama ini.
Sejumlah kritikus menganggap keputusannya dalam negosiasi Brexit selama ini dianggap tidak fleksibel dan menyebabkan kebuntuan saat ini.
May memilih menjauhkan diri dari gosip serta pergaulan dengan membuktikan dirinya melalui kerja keras. Sebelum menjabat sebagai pemimpin Inggris, perempuan 62 tahun itu pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri pada periode 2010-2016.
Sifatnya yang tertutup disebut sering menjadikan relasinya dengan pemimpin negara lain terasa kaku.
May adalah lulusan Universitas Oxford jurusan Geografi. Di sana, ia bertemu dengan sang suami, Philip May, yang menjadi seorang bankir.
May mulai berkecimpung di dunia politik pada 1998-1999. Dia menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai Pemimpin Partai Konservatif pada 2002 lalu.
Credit cnnindonesia.com