WASHINGTON
- Para ilmuwan semakin dekat memahami tsunami yang melanda Palu,
Sulawesi Tengah, bulan September lalu. Tsunami dahsyat langsung
menghantam daratan pasca gempa 7,8 skala Richter mengguncang wilayah
itu. Namun para peneliti saat itu mengaku terkejut dengan ukuran Tsunami
tersebut.
Sekarang, penelitian terhadap teluk di depan kota Sulawesi menunjukkan penurunan signifikan dari dasar laut. Hal ini kemungkinan berkontribusi pada bencana tsunami yang tiba-tiba menghantam daratan.
Lebih dari 2.000 orang kehilangan nyawa dalam bencana tersebut. Hasil awal berbagai investigasi dilaporkan pada Fall Meeting of the American Geophysical Union - pertemuan tahunan terbesar ilmuwan Bumi dan luar angkasa.
Gempa bumi di Palu terjadi akibat apa yang disebut sebagai strike-slip, di mana tanah di satu sisi pecah bergerak secara horizontal melewati tanah di sisi lain. Peristiwa ini bukan konfigurasi yang biasanya terkait dengan tsunami yang sangat besar.
Namun demikian, inilah yang terjadi pada sore hari tanggal 28 September lalu. Dua gelombang besar, di mana yang kedua adalah yang terbesar dan merasuk ke daratan hingga 400m.
Udrekh al Hanif, dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Indonesia (BPPT) di Jakarta, mengatakan pada pertemuan itu bahwa sumber tsunami harus sangat dekat dengan kota karena interval pendek antara awal gempa dan datangnya air yang tinggi - kurang dari tiga menit.
Dia dan rekan-rekannya mencari jawaban dalam peta (batimetri) kedalaman panjang, saluran masuk sempit yang mengarah ke Palu di kepalanya. Timnya masih bekerja berdasarkan hasil, tetapi data menunjukkan dasar laut di sebagian besar teluk turun setelah gempa.
"Ini, dikombinasikan dengan gerakan tajam dari kerak ke arah utara, pasti bisa menghasilkan tsunami," kata ilmuwan Indonesia seperti dikutip dari BBC, Selasa (11/12/2018).
"Ketika kita saling mencocokkan data batimetrik dari sebelum dan sesudahnya, kita dapat melihat bahwa hampir semua area dasar laut di dalam teluk surut. Dan dari data ini, kita juga dapat mengamati (gerakan) di utara. Jadi, sebenarnya, kami memiliki perpindahan vertikal dan horizontal," jelas Udrekh Al Hanif.
Apakah perilaku ini cukup untuk menjelaskan ukuran tsunami masih terbuka untuk dipertanyakan. Ada bukti beberapa tanah longsor di bawah tanah dalam data tersebut. Ini juga bisa menjadi faktor.
Kemungkinan lain adalah dorongan ke atas dari dasar laut di suatu zona agak jauh dari Palu di mana patahan strike-slip terbagi menjadi jalur yang menyimpang. Gerakan pada kedua lintasan pada saat yang sama mungkin telah memampatkan kerak di antara keduanya.
Sekarang, penelitian terhadap teluk di depan kota Sulawesi menunjukkan penurunan signifikan dari dasar laut. Hal ini kemungkinan berkontribusi pada bencana tsunami yang tiba-tiba menghantam daratan.
Lebih dari 2.000 orang kehilangan nyawa dalam bencana tersebut. Hasil awal berbagai investigasi dilaporkan pada Fall Meeting of the American Geophysical Union - pertemuan tahunan terbesar ilmuwan Bumi dan luar angkasa.
Gempa bumi di Palu terjadi akibat apa yang disebut sebagai strike-slip, di mana tanah di satu sisi pecah bergerak secara horizontal melewati tanah di sisi lain. Peristiwa ini bukan konfigurasi yang biasanya terkait dengan tsunami yang sangat besar.
Namun demikian, inilah yang terjadi pada sore hari tanggal 28 September lalu. Dua gelombang besar, di mana yang kedua adalah yang terbesar dan merasuk ke daratan hingga 400m.
Udrekh al Hanif, dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Indonesia (BPPT) di Jakarta, mengatakan pada pertemuan itu bahwa sumber tsunami harus sangat dekat dengan kota karena interval pendek antara awal gempa dan datangnya air yang tinggi - kurang dari tiga menit.
Dia dan rekan-rekannya mencari jawaban dalam peta (batimetri) kedalaman panjang, saluran masuk sempit yang mengarah ke Palu di kepalanya. Timnya masih bekerja berdasarkan hasil, tetapi data menunjukkan dasar laut di sebagian besar teluk turun setelah gempa.
"Ini, dikombinasikan dengan gerakan tajam dari kerak ke arah utara, pasti bisa menghasilkan tsunami," kata ilmuwan Indonesia seperti dikutip dari BBC, Selasa (11/12/2018).
"Ketika kita saling mencocokkan data batimetrik dari sebelum dan sesudahnya, kita dapat melihat bahwa hampir semua area dasar laut di dalam teluk surut. Dan dari data ini, kita juga dapat mengamati (gerakan) di utara. Jadi, sebenarnya, kami memiliki perpindahan vertikal dan horizontal," jelas Udrekh Al Hanif.
Apakah perilaku ini cukup untuk menjelaskan ukuran tsunami masih terbuka untuk dipertanyakan. Ada bukti beberapa tanah longsor di bawah tanah dalam data tersebut. Ini juga bisa menjadi faktor.
Kemungkinan lain adalah dorongan ke atas dari dasar laut di suatu zona agak jauh dari Palu di mana patahan strike-slip terbagi menjadi jalur yang menyimpang. Gerakan pada kedua lintasan pada saat yang sama mungkin telah memampatkan kerak di antara keduanya.
"Ini
adalah peristiwa yang sangat tidak biasa tetapi tektonik memberi tahu
kami bahwa itu bisa terjadi lagi," kata Finn Lovholt dari Institut
Geoteknik Norwegia.
"Memang, ini bukan pertama kalinya sebuah peristiwa terjadi di Palu. Mungkin ini adalah peristiwa ketiga atau keempat yang telah menyebabkan banyak korban jiwa. Kami mengalami peristiwa di tahun 1960-an dan 1920-an," imbuhnya.
Dan sejarah ini dibuktikan dalam budaya lokal di mana ada kata-kata khusus untuk menggambarkan fitur-fitur tsunami dan gempa. Pada peristiwa September, Palu menyaksikan banyak likuifaksi, di mana struktur tanah di kota itu terlihat runtuh, menjadi cair dan mengalir bahkan pada gradien yang sangat rendah.
Rumah-rumah tertelan lumpur. Penduduk setempat menyebutnya "Nalodo", yang berarti sesuatu seperti "terkubur dalam warna hitam".
"Memang, ini bukan pertama kalinya sebuah peristiwa terjadi di Palu. Mungkin ini adalah peristiwa ketiga atau keempat yang telah menyebabkan banyak korban jiwa. Kami mengalami peristiwa di tahun 1960-an dan 1920-an," imbuhnya.
Dan sejarah ini dibuktikan dalam budaya lokal di mana ada kata-kata khusus untuk menggambarkan fitur-fitur tsunami dan gempa. Pada peristiwa September, Palu menyaksikan banyak likuifaksi, di mana struktur tanah di kota itu terlihat runtuh, menjadi cair dan mengalir bahkan pada gradien yang sangat rendah.
Rumah-rumah tertelan lumpur. Penduduk setempat menyebutnya "Nalodo", yang berarti sesuatu seperti "terkubur dalam warna hitam".
Hermann Fritz, dari Institut Teknologi Georgia di AS, mengatakan Palu menunjukkan tantangan yang dihadapi penduduk setempat.
"Tsunami ini tiba sangat cepat, dalam beberapa menit," dia menekankan.
"Itu pada dasarnya tidak meninggalkan waktu untuk peringatan. Itu sangat berbeda dari Jepang (pada tahun 2011) di mana ada jeda waktu - lebih dari 30 menit di mana-mana sampai orang pertama tewas oleh tsunami. Itulah tantangan bagi tsunami lokal ini: orang-orang harus mengevakuasi diri sendiri," sambungnya.
Widjo Kongko, juga dari BPPT, berbicara tentang rasa puas diri setelah latihan darurat yang dilakukan di Palu pada tahun 2012.
"Dikatakan pergi ke tempat tinggi dalam waktu 5-10 menit. Orang-orang perlu belajar bahwa tsunami bisa datang jauh, jauh lebih cepat."
Credit sindonews.com