Jumat, 21 Oktober 2016

Simposium di Seattle: Indonesia Model De-Radikalisasi Dunia


 Simposium di Seattle: Indonesia Model De-Radikalisasi Dunia
Orator bebicara saat aksi Majelis Pembela Tanah Suci, melakukan unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Republik Iran, Jakarta, 14 Apri 2015. Dalam aksi damai tersebut mereka mengecam dan mendesak Iran untuk menghentikan penyebaran revolusi radikalismenya ke seluruh negara-negara Islam. TEMPO/Imam Sukamto
 
CB, Seattle, AS - Indonesia, negeri yang memiliki jumlah penduduk Islam terbesar se-dunia, dianggap menjadi model bagi negara lain dalam mengembangkan demokrasi. Ini karena mayoritas kalangan Islam Indonesia adalah kalangan yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Pendapat itu muncul dalam simposium bertema: “Approaches to Religious Violence, Radicalism, and Deradicalization: Perspectives from the US and Indonesia” di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, Selasa (18/10). Simposium menghadirkan antropolog dan professor kajian wilayah Asia dari University of Puget Sound Gareth Barkin. Ikut berbicara dalam acara ini adalah Mark Smith, pengajar Ilmu Politik UW dan James Wellman, pakar bidang perbandingan agama,  juga dari University of Washington.

Dalam acara itu, pakar dari Indonesia juga tampil berbicara. Mereka adalah Ketua Program Middle Eastern and Islamic Studies UC-Riverside Muhammad Ali, Tonny Pariela professor sosiologi Universitas Pattimura, dan Muhammad Wildan, pengajar dan peneliti mengenai politik Islam dari UIN Sunan Kalijaga. Acara ini terselenggara atas kerjasama Konsulat Jenderal RI San Francisco dan University of Washington.

Konsul Jenderal RI Ardi Hermawan saat membuka acara menyatakan Indonesia merupakan model bagi dunia internasional. “Umat Islam Indonesia mayoritas adalah Islam moderat, demokratis”. Simposium ini adalah rangkaian dari simposium bertema serupa di beberapa kampus di Amerika. Sabtu lalu (15/10), acara ini juga berlangsung di Portland State University, Oregon (baca: Seminar di Portland: Indonesia Contoh Sukses Deradikalisasi).

Pada pembahasan di dua sesi simposium yang dihadiri oleh 102 peserta ini, para pembicara menyampaikan bahwa penanganan kelompok teroris di Indonesia telah berjalan dengan sukses. Ini antara lain karena a Indonesia tidak memiliki pemerintahan yang represif. “Indonesia juga berhasil melakukan pendekatan de-radikalisasi yang tepat untuk menekan kelompok radikal di tingkat akar rumput,” ujar Muhammad Ali.

Sedangkan Tonny Pariela dan Muhammad Wildan memaparkan sejumlah hasil penelitian, pengamatan dan temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang mencintai perdamaian dan sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi.


“Memang ada sekelompok kecil masyarakat di Indonesia yang belum percaya dengan demokrasi, namun cepat atau lambat semua akan sepakat bahwa demokrasi merupakan model politik terbaik bagi semua negara, tidak terkecuali Indonesia,” demikian kata Wildan.


Para pembicara sepakat bahwa sekolah dan perguruan tinggi memegang peranan penting untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai demokrasi. Sekolah juga bisa berperan mencegah tumbuhnya benih-benih ekstrimisme di kalangan generasi muda.



Credit  TEMPO.CO


Seminar di Portland: Indonesia Contoh Sukses Deradikalisasi  

Seminar di Portland: Indonesia Contoh Sukses Deradikalisasi  
Puluhan ribu warga Sukoharjo yang didominasi pelajar SLTA dan orgnisasi masa berkumpul di Alun-alun Satya Negara, Sukoharjo, 29 Juli 2016. Dengan dipimpin oleh Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya mereka mendeklarasikan anti radikalisme dan mengecam praktik bom bunuh diri di Mapolresta Solo jelang Lebaran lalu. Acara deklarasi tersebut juga dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (Muri) dengan kategori peserta terbanyak yaitu 26.955 orang. Bram Selo Agung/Tempo
 
CB, San Fransisco - Indonesia bisa menjadi contoh keberhasilan melakukan upaya deradikalisasi bagi negara-negara lain. Upaya ini akan terus dilakukan, termasuk dengan memperkuat program deradikalisasi di tingkat akar rumput. Kesimpulan itu mengemuka dalam seminar “Deradicalizing Radicalization: Learning from Interfaith Peacebuilding in Indonesia and The United States” yang berlangsung di Portland State University, negara bagian Oregon, Amerika Serikat, Sabtu, 15 Oktober 2016.

Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia San Francisco berkerjasama dengan Portland State University (PSU) ini, Roger Paget, Indonesianis dari Lewis and Clark College, Portland, Oregon, mengatakan negara-negara lain sudah sepantasnya mencontoh Indonesia. “Indonesia sukses meredam aksi-aksi teror yang saat ini banyak dipengaruhi ISIS” kata Paget.

Selain Paget, akademisi Amerika yang hadir adalah Amanda Byron, ahli resolusi konflik, studi perdamaian dan genosida, serta Harry Anastasiou, pakar hubungan internasional–keduanya dari Portland State University. Ada pun akademisi Indonesia yang berbicara adalah Tonny Pariela dari Universitas Pattimura di Ambon dan Muhammad Wildan dari UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta.

Pariela menyampaikan bagaimana konflik komunal masyarakat di Ambon pada 1999 hingga 2001 silam merupakan konflik berdarah yang terburuk di Maluku, serta bagaimana pemerintah dan masyarakat lokal dapat menyelesaikan melalui konsep deradikalisasi yang menggunakan kearifan lokal.

Sedangkan Wildan mengungkapkan berbagai aksi radikalisme di Indonesia yang dipengaruhi ISIS. Wildan menjelaskan bagaimana pola rekrutmen pemuda-pemuda di Indonesia agar bersimpati terhadap ISIS, dan bagaimana kelompok madani dan pemerintah Indonesia menggunakan berbagai pendekatan untuk meredamnya. “Saat ini, Indonesia sudah memasuki era Post-Islamism atau Islam yang menjunjung tinggi demokrasi,” kata dia.

Adapun Paget, Byron, dan Anastasiou masing-masing menampilkan berbagai perspektif mengenai konsep radikalisasi yang terjadi di Amerika. Mereka mengakui keberhasilan Indonesia dalam melakukan deradikalisasi ketika menanggulangi paham radikal dan ekstrem.

Seminar di perguruan tinggi negeri di Portland ini mengamini penting dan efektifnya pendekatan soft approach dalam meredam benih-benih radikalisme di generasi muda, baik di Indonesia, Amerika, maupun negara-negara lainnya. Hal inilah yang menyebabkan konsep deradikalisasi yang dipopulerkan oleh Indonesia menjadi semakin relevan dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia.

Dalam kesempatan yang sama, Konsul Jenderal Indonesia untuk San Fransisco Ardi Hermawan menyampaikan bahwa seminar ini penting sebagai medium berbagi konsep deradikalisasi Indonesia kepada kaum intelektual di Amerika. “Forum ini menjadi penting karena Indonesia dan Amerika saling belajar bagaimana pemerintah masing-masing negara mengatasi aksi kekerasan sehingga perlu melibatkan sekolah, perguruan tinggi, maupun pemimpin agama di tingkat akar rumput,” ujar Ardi.




Credit  TEMPO.CO