CB, Wina -
Negara baru telah terbentuk. Namanya, Asgardia -- mirip nama kota
mistis di langit yang dikuasai Dewa Odin dalam mitologi Nordik (Norse).
Menariknya, letaknya bukan di Bumi, melainkan di angkasa.
Asgardia, yang diklaim sebagai 'negara pertama di angkasa', didirikan oleh sekelompok ilmuwan, insinyur, pebisnis, dan para pengacara. Salah satu tujuan nasionalnya adalah menjadi 'pelindung Bumi'.
"Asgardia akan menjadi sebuah tempat di orbit yang benar-benar 'tak
bertuan'," demikian tertera di situs resmi 'negara' tersebut.
"Untuk kali pertamanya dalam sejarah, negara baru diciptakan, bukan di Bumi, tapi di langit." Semacam, 'Negeri di Atas Awan'.
Asgardia mengklaim sebagai prototipe masyarakat yang bebas dan tidak terikat, yang menjunjung tinggi pengetahuan, kecerdasan, ilmu sebagai inti. Juga mengakui nilai luhur dari setiap manusia.
Dikutip dari Sciencemag.com pada Jumat (14/10/2016), Asgardia digagas oleh Igor Ashurbeyli, ilmuwan angkasa sekaligus insinyur Rusia yang pada 2013 lalu mendirikan Aerospace International Research Center (AIRC) di Wina, Austria. AIRC paling dikenal sebagai penerbit jurnal Room.
Dalam jumpa pers di Paris pada Rabu 12 Oktober 2016, Ashurbeyli mengatakan, "Unsur ilmiah dan teknologis proyek ini bisa dijelaskan dalam 3 kata, yaitu perdamaian, akses, dan perlindungan."
Berikut 4 fakta menarik soal Asgardia:
Asgardia, yang diklaim sebagai 'negara pertama di angkasa', didirikan oleh sekelompok ilmuwan, insinyur, pebisnis, dan para pengacara. Salah satu tujuan nasionalnya adalah menjadi 'pelindung Bumi'.
"Untuk kali pertamanya dalam sejarah, negara baru diciptakan, bukan di Bumi, tapi di langit." Semacam, 'Negeri di Atas Awan'.
Asgardia mengklaim sebagai prototipe masyarakat yang bebas dan tidak terikat, yang menjunjung tinggi pengetahuan, kecerdasan, ilmu sebagai inti. Juga mengakui nilai luhur dari setiap manusia.
Dikutip dari Sciencemag.com pada Jumat (14/10/2016), Asgardia digagas oleh Igor Ashurbeyli, ilmuwan angkasa sekaligus insinyur Rusia yang pada 2013 lalu mendirikan Aerospace International Research Center (AIRC) di Wina, Austria. AIRC paling dikenal sebagai penerbit jurnal Room.
Dalam jumpa pers di Paris pada Rabu 12 Oktober 2016, Ashurbeyli mengatakan, "Unsur ilmiah dan teknologis proyek ini bisa dijelaskan dalam 3 kata, yaitu perdamaian, akses, dan perlindungan."
Berikut 4 fakta menarik soal Asgardia:
1. Anda Bisa Jadi Warga Negaranya
Meski mengaku sebagai negara, Asgardia belum memiliki bendera, lagu
kebangsaan, atau lambang resmi. Pembuatan perangkat itu masih dalam
proses, dalam tahap kompetisi.
Juga belum jelas mengenai jenis pemerintahannya, apakah demokratis, kerajaan, atau yang lainnya -- seperti digariskan dalam 'konstitusi' Asgardia.
Sementara, untuk warga negaranya, negara baru tersebut mengundang semua orang untuk bergabung. "Semua manusia hidup di Bumi bisa jadi warga negara Asgardia," demikian tertera dalam situs resmi.
Para pendaftar diminta mengisi formulir yang terdiri atas nama, alamat email, negara asal, dan pernyataan sudah berusia 18 tahun. Rincian soal kewarganegaraan kemudian akan dikirim ke alamat surat elektronik.
Hingga Jumat malam, 14 Oktober 2016, jumlah pendaftar mencapai 175.770. ""Hanya 40 jam setelah aku mengumumkan lahirnya sebuah negara baru Asgardia, sebanyak 100 ribu orang dari lebih dari 200 negara di dunia telah mendaftarkan diri," kata Igor Ashurbeyli.
"Kami terus melanjutkan proses registrasi, hingga tercapai target 1 juta orang. Tak lama lagi, kita akan menjadi anggota PBB.
Asgardia belum diakui satu negara manapun di dunia ataupun oleh PBB.
Juga belum jelas mengenai jenis pemerintahannya, apakah demokratis, kerajaan, atau yang lainnya -- seperti digariskan dalam 'konstitusi' Asgardia.
Sementara, untuk warga negaranya, negara baru tersebut mengundang semua orang untuk bergabung. "Semua manusia hidup di Bumi bisa jadi warga negara Asgardia," demikian tertera dalam situs resmi.
Para pendaftar diminta mengisi formulir yang terdiri atas nama, alamat email, negara asal, dan pernyataan sudah berusia 18 tahun. Rincian soal kewarganegaraan kemudian akan dikirim ke alamat surat elektronik.
Hingga Jumat malam, 14 Oktober 2016, jumlah pendaftar mencapai 175.770. ""Hanya 40 jam setelah aku mengumumkan lahirnya sebuah negara baru Asgardia, sebanyak 100 ribu orang dari lebih dari 200 negara di dunia telah mendaftarkan diri," kata Igor Ashurbeyli.
"Kami terus melanjutkan proses registrasi, hingga tercapai target 1 juta orang. Tak lama lagi, kita akan menjadi anggota PBB.
Asgardia belum diakui satu negara manapun di dunia ataupun oleh PBB.
2. Tujuan Nasional: Jadi Perisai Bumi
Tujuan utama Asgardia adalah menciptakan 'pelindung' yang membentengi
Bumi dari ancaman kosmis, seperti asteroid, badai matahari, maupun
puing-puing angkasa yang rentang menembus atmosfer.
Gagasan itu sungguh ideal. Sebab, hingga saat ini, lembaga antariksa paling top dunia belum mengetahui bagaimana mencegah satelit mereka bertabrakan, apalagi menghentikan sebuah batu angkasa menabrak Bumi.
Satelit pertama Asgardia kabarnya akan diluncurkan dalam 18 bulan. Kelompok tersebut belum menguak soal pendanaan.
Ashurbeyli, yang juga pengusaha, diyakini menyediakan sejumlah besar modal untuk meluncurkan proyek tersebut. Belum jelas dari mana dana besar untuk mempertahankan misi yang pastinya tak murah itu bakal datang.
"Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sebuah platform legal untuk menjamin perlindungan pada Bumi dan menyediakan akses teknologi antariksa bagi mereka yang belum punya akses saat ini," kata Ashurbeyli kepada Guardian.
Masalahnya, karena belum punya wilayah untuk peluncuran wahana angkasa, belum jelas caranya bisa mengirim satelit tanpa berada di bawah kendali suatu negara sebagaimana termaktub
dalam Perjanjian Angkasa Luar.
Gagasan itu sungguh ideal. Sebab, hingga saat ini, lembaga antariksa paling top dunia belum mengetahui bagaimana mencegah satelit mereka bertabrakan, apalagi menghentikan sebuah batu angkasa menabrak Bumi.
Satelit pertama Asgardia kabarnya akan diluncurkan dalam 18 bulan. Kelompok tersebut belum menguak soal pendanaan.
Ashurbeyli, yang juga pengusaha, diyakini menyediakan sejumlah besar modal untuk meluncurkan proyek tersebut. Belum jelas dari mana dana besar untuk mempertahankan misi yang pastinya tak murah itu bakal datang.
"Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sebuah platform legal untuk menjamin perlindungan pada Bumi dan menyediakan akses teknologi antariksa bagi mereka yang belum punya akses saat ini," kata Ashurbeyli kepada Guardian.
Masalahnya, karena belum punya wilayah untuk peluncuran wahana angkasa, belum jelas caranya bisa mengirim satelit tanpa berada di bawah kendali suatu negara sebagaimana termaktub
dalam Perjanjian Angkasa Luar.
3. Wilayah Fisik
Saat ini, Asgardia masih angan-angan. Ia belum punya wilayah
teritorial. Sang pendiri, Igor Ashurbeyli mengatakan, secara teoritis,
penduduk Bumi bisa menjadi warga 'negeri di atas awan' itu tanpa harus
meninggalkan rumah. Cukup mendaftar dengan perantaraan internet.
Setidaknya, menurut dia, warga negara Asgardia belum bisa tinggal di atas satelit yang mengorbit.
"Secara fisik, warga negara Asgardia akan berada di Bumi. Mereka tinggal menyebar di berbagai negara di Bumi," kata Ashurbeyli seperti dikutip dari News.com.au. "Mereka bisa jadi warga suatu negara (sungguhan) dan pada saat bersamaan jadi WN Asgardia."
Sementara itu, direktur Institute of Air and Space Law di McGill University Kanada, yang terlibat dalam proyek itu, mengatakan, pada akhirnya manusia bisa tinggal di Asgardia.
"Kami akan memulai dari yang kecil dan akhirnya orang akan pergi ke sana, bekerja, dan membentuk aturan dan regulasi," kata dia.
Setidaknya, menurut dia, warga negara Asgardia belum bisa tinggal di atas satelit yang mengorbit.
"Secara fisik, warga negara Asgardia akan berada di Bumi. Mereka tinggal menyebar di berbagai negara di Bumi," kata Ashurbeyli seperti dikutip dari News.com.au. "Mereka bisa jadi warga suatu negara (sungguhan) dan pada saat bersamaan jadi WN Asgardia."
Sementara itu, direktur Institute of Air and Space Law di McGill University Kanada, yang terlibat dalam proyek itu, mengatakan, pada akhirnya manusia bisa tinggal di Asgardia.
"Kami akan memulai dari yang kecil dan akhirnya orang akan pergi ke sana, bekerja, dan membentuk aturan dan regulasi," kata dia.
4. Sengketa Hukum
Selain dana dan teknologi untuk mewujudkan Asgardia, masalah lain yang jadi batu sandungan adalah soal hukum.
Perjanjian Angkasa Luar PBB mengatur, angkasa adalah milik manusia dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk seluruh umat. Tak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim Bulan, Matahari, dan objek langit lainnya.
Perjanjian juga memberi tugas kepada bangsa-bangsa dalam hal pengawasan kegiatan angkasa -- baik melalui badan pemerintah, perusahaan komersial, ataupun organisasi nirlaba.
Suatu negara kemudian bertanggungjawab atas kerusakan apapun yang mungkin saja disebabkan peluncur maupun satelit, baik di angkasa maupun di manapun di Bumi.
Profesor Sa'id Mosteshar, Direktur London Institute of Space Policy and Law meragukan Asgardia bisa diakui sesuai hukum internasional.
"Perjanjian Angkasa Luar, yang diterima siapapun, mengatur dengan jelas bahwa tak ada satu bagian pun di angkasa luar yang bisa diklaim sebuah negara," kata dia.
Mengingat Asgardia tidak punya wilayah teritorial, sementara 'warga negaranya' masih berada di Bumi, peluang untuk diakui sebagai negara, menurut Mosteshar, sangat kecil.
Persoalan lain adalah masalah kewarganegaraan.
"Warga Asgardia akhirnya akan mendapatkan paspor," kata Lena de Winne, anggota senior dari tim proyek yang bekerja untuk Badan Antariksa Eropa selama 15 tahun.
"Sulit untuk membayangkan sebuah konsep di mana seseorang bisa jadi warga negara di wilayah yang tak mungkin dipijak," kata dia kepada BBC.
Terkait permasalahan hukum, Dr Ashurbeiyli mengatakan, ia akan menciptakan sebuah "realitas hukum baru di angkasa".
"Melalui penciptaan negara baru di angkasa maka, badan swasta, lembaga inovasi, dan pengembang lanjutan teknologi angkasa tang mendukung kemanusiaan -- akan berkembang bebas dari batasan ketat kendali negara sekarang ini."
Credit Liputan6.com
Perjanjian Angkasa Luar PBB mengatur, angkasa adalah milik manusia dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk seluruh umat. Tak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim Bulan, Matahari, dan objek langit lainnya.
Perjanjian juga memberi tugas kepada bangsa-bangsa dalam hal pengawasan kegiatan angkasa -- baik melalui badan pemerintah, perusahaan komersial, ataupun organisasi nirlaba.
Suatu negara kemudian bertanggungjawab atas kerusakan apapun yang mungkin saja disebabkan peluncur maupun satelit, baik di angkasa maupun di manapun di Bumi.
Profesor Sa'id Mosteshar, Direktur London Institute of Space Policy and Law meragukan Asgardia bisa diakui sesuai hukum internasional.
"Perjanjian Angkasa Luar, yang diterima siapapun, mengatur dengan jelas bahwa tak ada satu bagian pun di angkasa luar yang bisa diklaim sebuah negara," kata dia.
Mengingat Asgardia tidak punya wilayah teritorial, sementara 'warga negaranya' masih berada di Bumi, peluang untuk diakui sebagai negara, menurut Mosteshar, sangat kecil.
Persoalan lain adalah masalah kewarganegaraan.
"Warga Asgardia akhirnya akan mendapatkan paspor," kata Lena de Winne, anggota senior dari tim proyek yang bekerja untuk Badan Antariksa Eropa selama 15 tahun.
"Sulit untuk membayangkan sebuah konsep di mana seseorang bisa jadi warga negara di wilayah yang tak mungkin dipijak," kata dia kepada BBC.
Terkait permasalahan hukum, Dr Ashurbeiyli mengatakan, ia akan menciptakan sebuah "realitas hukum baru di angkasa".
"Melalui penciptaan negara baru di angkasa maka, badan swasta, lembaga inovasi, dan pengembang lanjutan teknologi angkasa tang mendukung kemanusiaan -- akan berkembang bebas dari batasan ketat kendali negara sekarang ini."
Credit Liputan6.com