Para pemuda Palestina berjuang melawan tentara Israel.
Foto: ACT
Israel klaim telah melakukan sejumlah perbaikan.
CB,
JENEWA -- Negara-negara anggota PBB mengkritik Israel dalam sesi Human
Rights Council (HRC) karena tidak mematuhi undang-undang hak asasi
manusia dan resolusi PBB. Bahkan beberapa negara menyebut Israel sebagai
negara apartheid.
Seperti dilansir Aljazirah, Rabu (24/1), kritik ini disampaikan saat
Israel menjalani Third Period Periodic Review (UPR) , sebuah proses yang
dipimpin oleh PBB yang dimaksudkan untuk menilai catatan hak asasi
manusia masing-masing negara dan membuat rekomendasi untuk perbaikan.
"Israel
adalah satu-satunya negara di dunia yang dapat disebut negara
apartheid," ujar delegasi Afrika Selatan kepada delegasi Israel dan
anggota PBB yang berkumpul di Palais des Nations.
Delegasi
tersebut menggemakan rekomendasi dari beberapa negara anggota yang
menyerukan untuk mengakhiri pendudukan 50 tahun di wilayah Palestina.
Sejumlah negara anggota PBB menyatakan keprihatinan atas situasi hak
asasi manusia yang memburuk di Wilayah Pendudukan dan pelanggaran
resolusi PBB secara terang-terangan.
"Kami meminta Israel
untuk mematuhi undang-undang internasional dengan segera mengakhiri
penjajahan kolonial dan kebijakan apartheid 50 tahun terhadap rakyat
Palestina dan membongkar dinding ilegal dan memberi kompensasi kepada
orang-orang Palestina atas semua kerugian yang terjadi karena kehadiran
mereka," kata delegasi Palestina.
Yordania, UEA, Iran,
Rusia, Malaysia dan negara-negara lain meminta Israel menghentikan
pendudukan dan aneksasi tanah Palestina, pembangunan dan perluasan
permukiman Israel, pemindahan paksa orang-orang Palestina dan
pembongkaran rumah dan bangunan Palestina.
Inggris,
Finlandia dan Austria di antara negara-negara lain yang menyatakan
keprihatinan atas penahanan sewenang-wenang pada anak-anak.
Dalam
sambutannya Duta Besar Israel, Aviva Raz Shechter secara terus terang
menjelaskan bagaimana Israel akan menerima rekomendasi dari sesama
anggota.
"Diskriminasi terus menerus terhadap Israel di HRC dan
jumlah resolusi bias dan politis yang tak tertandingi yang diadopsi
secara teratur oleh mayoritas para anggotanya tidak hanya bersaksi
mengenai perlakuan tidak adil terhadap Israel tetapi juga terhadap
kekurangan dewan itu sendiri, "katanya.
Shechter mengatakan
Israel akan tunduk pada proses peninjauan dan menuntut perombakan HRC.
"Saat ini, semakin banyak negara bergabung dengan Israel dalam
mewujudkan bahwa pertunjukan absurd ini tidak dapat berlangsung
selamanya dan reformasi itu perlu," katanya.
Shechter
mengklaim Israel telah melakukan sejumlah perbaikan di bidang hak asasi
manusia dibandingkan dengan tinjauan terakhir pada 2013. Hal ini
termasuk inisiatif dan tindakan baru yang diambil oleh Israel untuk
menegakkan hak-hak orang-orang penyandang cacat, minoritas, komunitas
LGBT dan perempuan.
Namun, penjelesan Shechter tentang
situasi orang-orang Palestina di Wilayah Pendudukan membuat banyak
delegasi tidak terkesan. "Hubungan kita dengan Palestina akan terus
menjadi prioritas tertinggi, dan terlepas dari kemunduran yang diketahui
dalam proses perdamaian, kami akan terus mencari solusi abadi yang akan
memungkinkan kedua bangsa kita hidup berdampingan," katanya.
Shechter
juga mengaku prihatin atas tindakan perwakilan PBB yang menggunakan
sesi UPR untuk mempolitisir wacana hak asasi manusia. "Ini adalah sikap
sinis dan munafik yang dimaksudkan untuk mendistorsi kenyataan,"
katanya.
Namun menurutnya Israel akan terus bekerja
sama dengan HRC dan secara serius mempertimbangkan rekomendasi yang
dibuat pada saat sesi berlangsung.
Sementara itu Direktur
Jenderal Kementerian Kehakiman Israel,Emi Palmor, juga mengklaim adanya
yperbaikan di pengadilan, mulai dari pengenalan beberapa hak dan
pengamanan narapidana bagi tahanan remaja untuk mengambil alih
penyelidikan atas keluhan terhadap Badan Keamanan Israel yang lebih
dikenal dengan nama Shin Bet.
"Sebagian besar tidak akan
mendengarkan apa yang saya katakan. Dewan ini belum mendapatkan
reputasinya untuk kesetaraan atau ketidakberpihakan," katanya.
Credit
republika.co.id
Israel Tuduh PBB Bias Palestina
Aksi bela Palestina di San Francisco, AS (Ilustrasi)
Foto: PressTV
Yordania meminta meminta Israel untuk menarik diri dari semua wilayah yang diduduki.
CB,
JENEWA -- Pemerintah Israel menuding PBB melakukan tindakan
diskriminatif. Menurut Israel, sudah cukup banyak resolusi yang
memperlihatkan bahwa PBB bias terhadap Palestina.
Duta Besar PBB untuk Israel Aviva Raz Shecter, yang menghadiri forum
Jenewa, pada Selasa (23/1), mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia
(HAM) PBB bahwa negaranya selalu membela HAM dan nilai-nilai demokrasi.
Sebagai contoh, Israel, kata dia, selalu berupaya mengintegrasikan
beragam komunitas dan agama.
Kendati demikian, ia menilai,
PBB tak pernah berlaku adil terhadap Israel. Hal ini terutama disebabkan
karena sikap dan kebijakan yang diambil negaranya terkait Palestina.
Padahal, ia mengklaim, Israel menganggap hubungannya dengan Palestina
sebagai prioritas tertinggi. Dan Israel akan terus mencari solusi abadi
yang memungkinkan kedua negara hidup berdampingan.
Namun,
Shecter menyayangkan sikap Dewan HAM PBB yang sangat bias dalam membela
Palestina tanpa mau mempertimbangkan keadilan bagi Israel. "Jumlah
resolusi politik dan bias satu sisi yang tak tertandingi yang diadopsi
secara teratur oleh mayoritas anggota (Dewan HAM PBB), secara otomatis
bersaksi tidak hanya terhadap perlakuan tidak adil bagi Israel, tapi
juga terhadap kekurangan Dewan itu sendiri dan anggotanya," kata Shecter
menerangkan.
Oleh sebab itu, ia menilai, sudah saatnya
dilakukan perombakan dan reformasi di Dewan HAM PBB. "Teater absurd ini
tidak bisa berlangsung selamanya," ujarnya.
Dalam forum
tersebut, diplomat Yordania Akram Harahsheh menegaskan kembali
pelanggaran yang telah dilakukan Israel. Ia mengecam upaya yang
disebutnya sebagai usaha untuk merendahkan identitas Yerusalem yang
diduduki. Ia pun meminta Israel untuk menarik diri dari semua wilayah
yang diduduki sejak tahun 1967.
Pada Desember 2017, Amerika
Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan itu
segera memicu gejolak dan gelombang demonstrasi di sejumlah negara,
khususnya negara-negara Arab.
AS dinilai telah mengubur
potensi perdamaian antara Palestina dan Israel. Sebab Palestina
diketahui mendambakan Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara mereka
kelak.
Credit
REPUBLIKA.CO.ID