Senin, 11 Februari 2019

Khawatir Diinvasi AS, Venezuela Luncurkan Latihan Perang Terbesar


Khawatir Diinvasi AS, Venezuela Luncurkan Latihan Perang Terbesar
Militer Venezuela meluncurkan latihan perang terbesar di tengah kekhawatiran akan adanya invasi dari Amerika Serikat. Foto/Twitter @PresidencialVen

CARACAS - Presiden Venezuela Nicolas Maduro Moros secara resmi meluncurkan latihan perang terbesar dalam sejarah negara itu, Minggu waktu setempat. Manuver digelar setelah ada kekhawatiran bahwa Amerika Serikat (AS) akan melakukan invasi militer untuk mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido yang mendeklarasikan diri sebagai presiden interim.

Sebelum latihan perang dimulai, Maduro tiba di negara bagian utara Miranda untuk melihat peralatan militer, termasuk peluncur roket buatan Rusia yang digunakan oleh Angkatan Bersenjata Venezuela.

Menurut Maduro, manuver akbar ini akan berlangsung hingga 15 Februari mendatang dan akan menjadi latihan paling utama dan penting yang pernah diadakan Caracas selama 200 tahun terakhir. Belum ada rincian perihal jumlah kekuatan militer Venezuela yang dikerahkan dalam latihan ini.

Presiden terpilih dalam pemilu 2018 lalu ini mengatakan Angkatan Bersenjata Venezuela siap untuk mengusir setiap potensi invasi asing setelah AS dan sekutunya mendukung deklarasi Guaido sebagai presiden interim.

"Kita harus bersiap untuk membela kedaulatan (Venezuela), integritas teritorial, kemerdekaan," katanya, dikutip Russia Today, Senin (11/2/2019). Dia khawatir seruan Washington untuk perubahan rezim dan dukungan agresif untuk Juan Guaido bisa meningkat menjadi invasi militer.

Guaido pada hari Jumat menolak untuk mengesampingkan kemungkinan untuk memberikan izin intervensi militer AS guna menggulingkan Presiden Maduro dari kekuasaan. Sikapnya itu menuai kecaman dari sejumlah pemimpin Amerika Latin dan politisi AS.

Presiden Bolivia Evo Morales, misalnya, mengecam pernyataan Guaido. “Kami menolak pernyataan oleh Juan Guaido yang memproklamirkan dirinya sendiri, yang menyambut baik intervensi militer AS di Venezuela,” kata Morales dalam sebuah pernyataan di akun Twitternya.

"Saya ingin tahu apa yang dikatakan oleh saudara-saudara presiden yang mengenalnya tentang hasutan perang di Amerika Latin," imbuh dia.

Anggota Kongres AS, Ro Khanna, juga mengecam pernyataan Juan Guaido yang mengizinkan intervensi militer AS ke Venezuela. Khana menyatakan Guaido tidak memiliki hak untuk mengizinkan atau meminta pengiriman pasukan AS ke luar negeri.

"Guaido, Anda dapat memproklamirkan diri sebagai pemimpin Venezuela, tetapi Anda tidak bisa mengesahkan intervensi militer AS," kata Khana. "Hanya Kongres AS yang dapat memberikan izin untuk melakukan pengiriman pasukan ke luar negeri dan kami tidak akan (melakukannya)."

Antisipasi Venezuela dari potensi invasi AS sebelumnya juga terlihat dari citra satelit yang menujukkan militer negara itu mengaktifkan sistem pertahanan rudal S-300 buatan Rusia. Perusahaan satelit ImageSat International (iSi) yang berbasis di Israel mengungkap aktivitas tersebut.

Citra satelit yang dirilis ImageSat International menunjukkan militer Caracas melakukan aktivitas pemuatan serta pembongkaran dari perangkat S-300. Aktivitas itu berlangsung di sekitar bandara Capitan Manuel Rios.

"Meskipun kegiatan ini dapat dianggap sebagai latihan rutin dalam konteks strategis saat ini dan ketegangan regional, kegiatan semacam ini akan meningkatkan tingkat operasional Sistem Pertahanan Udara Venezuela," kata ImageSat.

Ancaman invasi militer AS terhadap Venezuela pernah disampaikan Presiden Donald John Trump. Pemimpin Amerika itu mengesampingkan negosiasi dengan Presiden Maduro. "Mengirim militer AS ke Venezuela adalah sebuah pilihan," ujar Trump, beberapa pekan lalu.

Krisis politik di Venezuela memburuk setelah Ketua Majelis Nasional atau Parlemen yang dikendalikan oposisi, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara sampai pemilu terbaru digelar. AS dan sekutu-sekutunya ikut mengakui Guaido sebagai presiden sementara dan tidak mengakui Maduro sebagai pemimpin yang sah.

Negara yang pernah dipimpin Hugo Chavez itu sebenarnya sudah menggelar pemilu 2018 lalu. Pemenangnya adalah Maduro dari United Socialist Party of Venezuela (PSUV). Namun, pemimpin oposisi dari Partai Popular Will (PV), Juan Guaido, tak mengakui kemenangan itu dengan alasan pemilu dicurangi. Sebaliknya, Guaido menyerukan demo besar-besaran untuk melengserkan Maduro.

Rusia, China, Meksiko, Turki dan beberapa negara lain berdiri di belakang Maduro dan mendesak dialog damai untuk menyelesaikan krisis. Sedangkan Prancis, Jerman dan Spanyol dari blok Uni Eropa mendukung Guaido.

Pemerintah Caracas menuduh Washington ikut campur urusan dalam negerinya dengan harapan mendapat untung dari cadangan minyaknya yang tercatat terbesar di dunia. 




Credit  sindonews.com