JAKARTA
- Tabrakan kapal tanker minyak Iran, Sanchi, dengan kapal kargo besar
Hong Kong, CV Crystal, pada 6 Januari 2018 lalu membuat pakar
kemaritiman menyimpulkan ada “Segitiga Bermuda baru” di Indo-Pasifik,
dekat wilayah Indonesia.
Akibat tabrakan tersebut, Sanchi—ada yang menyebutnya kapal Panama—membawa hampir 1 juta barel minyak Iran ke Korea Selatan, terbakar selama lebih dari seminggu. Semua awak kapal tanker, yakni 32 orang tewas.
Sebutan istilah “Segitiga Bermuda baru” itu dilontarkan banyak pakar dan diulas mantan kapten kapal tanker Rahul Khanna. Dia memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun di laut dan sekarang menjadi Global Head of Marine Risk Consulting di Allianz.
Dia menyalahkan kecelakaan itu pada kombinasi fatal dari berapa banyak kapal melewati daerah tersebut, cuaca buruk, dan kurangnya masalah keamanan oleh negara-negara yang mengoperasikan pengiriman barang di sana.
“Beberapa (pihak) telah menjuluki wilayah yang luas ini sebagai 'Segitiga Bermuda baru'," kata Khanna.
”Saya tidak akan melangkah sejauh itu, tapi tentu saja merupakan wilayah nomor satu di seluruh dunia untuk insiden pengiriman besar. Tidak hanya lautan di sini sangat sibuk, tapi juga rentan terhadap cuaca buruk dan walaupun saya tidak dapat berspekulasi mengenai hal ini, beberapa standar keselamatan di wilayah ini tidak selalu setinggi yang diharapkan dari standar internasional yang telah ditetapkan,” ulas Khanna, yang dikutip dari situs multimedia Amerika Serikat, Big Think, Selasa (6/2/2018).
Mengapa lokasi kecelakaan tragis itu, sekitar 160 mil laut jauhnya dari Shanghai, China di Laut China Timur, dibandingkan dengan Segitiga Bermuda? Salah satu alasannya, kawasan yang memanjang menuju Indocina, Indonesia, Semenanjung Malaya, Semenanjung Korea dan Jepang telah menjadi tempat terdepan dalam kecelakaan maritim di dunia.
Menurut perusahaan asuransi kelautan Allianz, pada 2016 saja, 34 kapal mengalami kecelakaan maut di wilayah tersebut. Itu adalah 40 persen dari kerugian pengiriman global dari 85 kapal.
Untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, data "Review Keselamatan dan Pengiriman 2017", disiapkan oleh Allianz. Data itu merupakan pengamatan pada 25.898 insiden pengiriman yang mencakup 1.186 “total kerugian” pada periode Januari 2007 sampai Desember 2016.
Sementara jumlah total kerugian turun secara global sebesar 50 persen, efek ini jauh lebih sedikit di perairan Timur/Asia Tenggara. Menurut laporan MarineLink, rata-rata 39 total kerugian kapal per tahun terjadi di wilayah ini. Angka itu sekitar sepertiga dari jumlah di seluruh dunia.
Tak hanya kapal sipil, sederet kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) pun telah mengalami insiden di wilayah “Segitiga Bermuda baru” ini. Beberapa kapal perang AS yang bernasib buruk itu antara lain USS Lake Champlain, USS Fitzgerald, USS Antietam dan USS John McCain. Setidaknya, 17 pelaut AS tewas dalam bencana yang melibatkan kapal perusak USS Fitzgerald dan USS John S. McCain.
Volker Dierks, yang mengepalai asuransi kapal Allianz untuk Eropa tengah dan timur, menganggap insiden tersebut sebagai fakta bahwa ”kapal semakin besar”, yang meningkatkan risiko benturan.
Bencana yang menimpa kapal-kapal di kawasan itu meliputi kebanjiran di lambung kapal dan tenggelam, rusak, kebakaran, ledakan hingga benturan dengan kapal lainnya. Meskipun tidak ada yang sangat misterius yang mungkin terjadi jika insiden tersebut dipertimbangkan secara individual, jumlah insiden di wilayah itu layak diperbandingkan dengan tragedi di Segitiga Bermuda.
Akibat tabrakan tersebut, Sanchi—ada yang menyebutnya kapal Panama—membawa hampir 1 juta barel minyak Iran ke Korea Selatan, terbakar selama lebih dari seminggu. Semua awak kapal tanker, yakni 32 orang tewas.
Sebutan istilah “Segitiga Bermuda baru” itu dilontarkan banyak pakar dan diulas mantan kapten kapal tanker Rahul Khanna. Dia memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun di laut dan sekarang menjadi Global Head of Marine Risk Consulting di Allianz.
Dia menyalahkan kecelakaan itu pada kombinasi fatal dari berapa banyak kapal melewati daerah tersebut, cuaca buruk, dan kurangnya masalah keamanan oleh negara-negara yang mengoperasikan pengiriman barang di sana.
“Beberapa (pihak) telah menjuluki wilayah yang luas ini sebagai 'Segitiga Bermuda baru'," kata Khanna.
”Saya tidak akan melangkah sejauh itu, tapi tentu saja merupakan wilayah nomor satu di seluruh dunia untuk insiden pengiriman besar. Tidak hanya lautan di sini sangat sibuk, tapi juga rentan terhadap cuaca buruk dan walaupun saya tidak dapat berspekulasi mengenai hal ini, beberapa standar keselamatan di wilayah ini tidak selalu setinggi yang diharapkan dari standar internasional yang telah ditetapkan,” ulas Khanna, yang dikutip dari situs multimedia Amerika Serikat, Big Think, Selasa (6/2/2018).
Mengapa lokasi kecelakaan tragis itu, sekitar 160 mil laut jauhnya dari Shanghai, China di Laut China Timur, dibandingkan dengan Segitiga Bermuda? Salah satu alasannya, kawasan yang memanjang menuju Indocina, Indonesia, Semenanjung Malaya, Semenanjung Korea dan Jepang telah menjadi tempat terdepan dalam kecelakaan maritim di dunia.
Menurut perusahaan asuransi kelautan Allianz, pada 2016 saja, 34 kapal mengalami kecelakaan maut di wilayah tersebut. Itu adalah 40 persen dari kerugian pengiriman global dari 85 kapal.
Untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, data "Review Keselamatan dan Pengiriman 2017", disiapkan oleh Allianz. Data itu merupakan pengamatan pada 25.898 insiden pengiriman yang mencakup 1.186 “total kerugian” pada periode Januari 2007 sampai Desember 2016.
Sementara jumlah total kerugian turun secara global sebesar 50 persen, efek ini jauh lebih sedikit di perairan Timur/Asia Tenggara. Menurut laporan MarineLink, rata-rata 39 total kerugian kapal per tahun terjadi di wilayah ini. Angka itu sekitar sepertiga dari jumlah di seluruh dunia.
Tak hanya kapal sipil, sederet kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) pun telah mengalami insiden di wilayah “Segitiga Bermuda baru” ini. Beberapa kapal perang AS yang bernasib buruk itu antara lain USS Lake Champlain, USS Fitzgerald, USS Antietam dan USS John McCain. Setidaknya, 17 pelaut AS tewas dalam bencana yang melibatkan kapal perusak USS Fitzgerald dan USS John S. McCain.
Volker Dierks, yang mengepalai asuransi kapal Allianz untuk Eropa tengah dan timur, menganggap insiden tersebut sebagai fakta bahwa ”kapal semakin besar”, yang meningkatkan risiko benturan.
Bencana yang menimpa kapal-kapal di kawasan itu meliputi kebanjiran di lambung kapal dan tenggelam, rusak, kebakaran, ledakan hingga benturan dengan kapal lainnya. Meskipun tidak ada yang sangat misterius yang mungkin terjadi jika insiden tersebut dipertimbangkan secara individual, jumlah insiden di wilayah itu layak diperbandingkan dengan tragedi di Segitiga Bermuda.
Dalam kasus kecelakaan kapal perang USS John McCain, penyebabnya adalah kesalahan manusia yang menyebabkan “kebingungan kemudi”.
Credit sindonews.com