Menlu Rex Tillerson meminta milisi yang didukung Iran di Irak untuk pulang. (Reuters/Yuri Gripas)
Amerika Serikat khawatir Iran, kekuatan Syiah di kawasan, akan memanfaatkan kemenangan melawan ISIS di Irak dan Suriah untuk menyebarkan pengaruh yang mulai mereka dapatkan menyusul invasi AS pada 2003 lalu.
"Milisi Iran yang ada di Irak, karena kini pertempuran melawan Daesh dan ISIS sudah akan berakhir, para milisi itu mesti pulang. Pasukan asing di Irak mesti pulang dan membiarkan warga Irak mendapatkan kendali kembali," kata Tillerson dalam konferensi pers bersama Menlu Saudi Adel Jubeir, Senin (23/10).
Puluhan ribu warga Irak angkat senjata pada 2014 setelah ISIS menguasai sepertiga wilayah negara tersebut, membentuk Pasukan Mobilisasi Populer yang menerima sokongan dana dan pelatihan dari Teheran dan telah dideklarasikan sebagai bagian dari aparat Irak.
Pejabat senior AS mengatakan TIllerson merujuk pada PMF dan Pasukan Qud, paramiliter asing dan cabang spionase Korps Garda Revolusi Islamis (IRGC) yang mempunyai kekuatan besar.
Menlu Iran Mohammad Javad Zarif menyebut pernyataan Tillerson itu dipengaruhi rival kaya minyak di kawasan, Arab Saudi.
"Tepatnya negara mana yang harus dituju warga Irak yang angkat senjata untuk mempertahankan negaranya dari ISIS?" kata Zarif melalui Twitter. "Kebijakan luar negeri AS yang sangat disayangkan, didikte oleh uang minyak."
Militer Irak, dipersenjatai Amerika Serikat namun didukung PMF, mengusir militan garis keras dari Mosul dan kota-kota lain di utara Irak tahun ini. Beberapa ribu pasukan AS masih berada di negara tersebut untuk melatih, meski kadang juga menggerebek ISIS.
Operasi untuk mengusir militan itu menyisakan reruntuhan kota dan menghantam keras perekonomian Irak.
Badan bersama tingkat menteri baru yang dibentuk Irak dan Arab Saudi menyelenggarakan pertemuan tahunan pada Minggu untuk mengoordinasikan peperangan melawan ISIS dan membangun kembali wilayah Irak yang hancur.
Jubeir menekankan hubungan historis antara kedua negara bertetangga yang juga berbagi perbatasan, sumber daya minyak besar dan banyak suku yang sama.
"Kecenderungan alami kedua negara dan warganya untuk dekat satu sama lain seperti beberapa abad ini. Hal itu terganggu selama beberapa dekade. Kami kini membangunnya kembali," ujarnya.
Pertemuan yang jarang terjadi dan memberi sinyal perbaikan hubungan itu juga dihadiri oleh Raja Salman dari Arab Saudi dan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi.
Credit cnnindonesia.com