Presdir Medco Energi, Hilmi Panigoro (Foto: Wahyu Daniel)
Jakarta - Tahun lalu, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) mengakuisisi saham PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang mengendalikan 82,2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), perusahaan tambang emas besar yang lokasinya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Nilai akuisisi US$ 2,6 miliar (Rp 33,8 triliun).
AMI sebelumnya membeli saham NNT dari Newmont Mining Corporation dan Sumitomo Corporation. Ini merupakan salah satu transaksi structured finance terbesar di Asia Tenggara tahun lalu.
Medco kini menjadi perusahaan nasional yang menguasai tambang berskala besar di Indonesia. Bagaimana awal kisah sukses Medco menguasai tambang Newmont?
Berikut wawancara khusus detikFinance dengan Presiden Direktur Medco Energi Internasional, Hilmi Panigoro, Sabtu (1/4/2017).
Amman jadi salah satu contoh tambang besar di Indonesia yang sukses diambil alih perusahaan lokal. Bagaimana kisah awalnya?
Kalau bicara akuisisi, kami punya tim khusus. Amman atau Newmont tidak secara khusus yang kami lihat dulu. Jadi kami melihat banyak kesempatan yang ada. Kita itu sebelumnya malah melihat bisnis refining itu menarik. Taiwan mau relokasi kilang mereka dari Taipei ke mana pun. Itu sempat kami lihat, tapi tidak ekonomis.
Setelah itu kami lihat juga kilang TPPI (PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama), dan memakan waktu lama mempelajari itu, karena itu untuk Jawa Timur kalau kami mendapatkan kilang TPPI, itu pasokan BBM di Jawa Timur bisa dikuasai. Waktu itu sudah beres due dilligence, dan Pertamina kami ajak bicara, kesimpulannya masih no. Pertamina masih ingin menguasai TPPI karena hak mereka.
Lalu muncullah Newmont ini. Kebetulan ada rekan kami namanya Agus Projo yang sekarang jadi partner kami di sana. Beliaulah yang punya hubungan dengan Newmont. Dan Newmont mau menjual asetnya itu.
Kenapa tertarik di tambang emas?
Kami sebenarnya sudah lama punya tambang batu bara tapi kecil. Tapi sekali lagi, ini buat kami lebih banyak karena opportunity driven, tiba-tiba kesempatan muncul, dihitung keekonomian menarik, ya sudah. Itu prosesnya 18 bulan, dari mulai kami lihat, kami bicara dengan bank. Dan bank pun kami tidak langsung ke bank pemerintah, kami sempat ke konsorsium bank asing, karena pemerintah tidak bisa memberikan kepastian soal ekspor tambang, maka bank asing tidak mau. Maka jadilah konsorsium bank lokal.
Proses peralihan manajemen yang baru dari Newmont ke Amman sekarang bagaimana, ada masalah?
Jadi begini, mayoritas tambang di Indonesia, mayoritas pekerjanya itu sudah orang Indonesia. Mungkin yang asingnya cuma direktur keuangan atau direktur operasinya. Dan itu yang kami ganti, jadi yang kami ganti sedikit. Tim yang kami ganti di Amman atau dulu Newmont itu tidak lebih dari 20 orang. Jadi pekerja yang lama tidak kami ganti, termasuk Presiden Direktur yang lama, Rachmat Makkasau. Karena dia sudah mengerjakan dengan baik selama ini.
Satu-satunya yang menjadi masalah di Amman, kalau kita bicara tambang terbuka itu ada beberapa fase. Amman ini sudah enam fase. Jadi tidak boleh saat fase pertama habis cadangannya, baru dimulai fase kedua, itu akan ada jeda. Harusnya 3 tahun sebelum fase pertama habis, fase kedua sudah harus dimulai, supaya ada kelanjutan. Saat ada gonjang-ganjing undang-undang Minerba dulu, Newmont itu sempat berhenti beroperasi. Sehingga sekarang kami masuk, baru dimulai, ada jeda 2 tahun. Bagaimana jeda tersebut bisa teratasi dengan mulus.
Amman itu status sekarang sudah IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) dan tidak ada masalah dengan ekspor. Ke mana ekspor Amman selama ini?
Kami menjual ke trader, jadi terserah trader mau bawa ke mana. Dan itu trader-trader besar.
Ke depan bisnis emas ini masih sangat menjanjikan ya Pak?
Oh iya. Karena kami melihat sejarah kebutuhan emas. Selama ibu-ibu masih suka emas. Salah satu konsumen terbesar emas terbesar adalah India. Bahkan ada salah satu trader yang menjual emas ke India 200 kg per hari. Itu baru satu trader. Jadi begitu gandrungnya wanita India terhadap emas. Dan hari ini di dunia, emas masih menjadi safe haven. Jadi kalau ada masalah dengan dolar AS, dia akan beli emas. Rupiah naik turun, orang beli emas.
Kalau tembaga memang turun-naik harganya. Tapi hari ini, seluruh kebutuhan kita itu masih memerlukan tembaga. Seperti jam dan handphone, komponen mobil, transmisi listrik, itu semua bahan bakunya tembaga. Jadi permintaan emas dan tembaga ke depan masih menjanjikan.
Medco tidak tertarik memperluas bisnis tambang hingga ke hilir, seperti smelter hingga pabrik pembuatan kabel?
Kami lagi pikirkan itu. Walau kami di hulu sudah menguasai. Kalau pemerintah ingin hilirisasi jangan tanggung, jangan hanya di tembaga murni. Karena tembaga murni ini mau diapakan? Nanti diekspor ke Taiwan balik lagi ke Indonesia menjadi kabel. Lalu diekspor ke Jepang, balik ke Indonesia jadi komponen mobil. Jadi lebih baik industrinya dibawa ke sini. Kami sekarang sudah memikirkan itu. Jadi di lokasi kami ingin membangun smelter, kami juga sudah memikirkan mengundang teman-teman bangun kawasan industri di situ. Atau kalau perlu kami sendiri yang mengerjakan. Bagaimana mengundang mitra yang membangun industri hilir di situ.
Smelter mau bangun di mana?
Di dekat lokasi tambang kami. Sekarang lagi detil untuk feasibility study. Masalahnya tinggal menentukan berapa kapasitas smelternya. Kami sudah mau bangun, tanah sudah disediakan, pelabuhan sudah disiapkan, dan ekspansi pembangkit listrik sudah disediakan.
Dana yang disiapkan berapa untuk smelter ini?
Targetnya US$ 1 miliar (Rp 13 triliun).
Kapan akan mulai dibangun?
Kalau pekerjaan akan dimulai akhir tahun ini. Selesainya maksimum 5 tahun, bisa juga 4 tahun.
Memang berapa kapasitas produksi Amman saat ini?
Kalau smelternya hanya untuk kami saja, itu 500.000 ton per tahun sudah cukup. Tapi Pak Bambang Gatot (Dirjen Minerba Kementerian ESDM) menyarankan sekalian saja 1,5 juta ton per tahun. Biar yang lain bisa ikut menggunakan smelter itu. Dan itu bagian dari studi detil yang kami lakukan.
Cadangan berapa?
Untuk Tambang Batu Hijau itu 7 tahun lagi mungkin habis. Tapi di sebelahnya ada Tambang Elang, itu bisa tambah 20 tahun lagi.
Jadi sebenarnya Indonesia sudah punya kemampuan mengelola tambang besar?
Bisa. Intinya begini, kalau mengelola industri besar itu, kuncinya orang, teknologi, dan uang. Untuk ukuran investasi sekelas Amman, seperti Tambang Elang kami butuh US$ 5 miliar. Dan hari ini, yang punya balance sheet (neraca) untuk mengumpulkan US$ 5 miliar dan membuat tambang baru, itu tidak banyak.
Makanya kenapa hanya Freeport dan Newmont yang besar. Karena perusahaan tambang Indonesia belum ada yang neracanya mampu untuk mengumpulkan uang sebesar itu. Dan dengan akuisisi ini, alhamdulillah kami sudah bisa berada dalam posisi tersebut. Makanya visi kami di tambang, bukan cuma di Papua dan Nusa Tenggara, tapi di Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Sumatera ada semua. Jadi langkah selanjutnya, kami harus cari.
Berarti akan ekspansi lagi?
Kami bereskan dulu di Amman, dan pengembangan Tambang Elang. Jadi kami siap naik kelas.
Credit finance.detik.com