Zionisme (ilustrasi).
CB, JAKARTA -- Israel
sampai hari ini terus menuai ketegangan di kawasan Asia Barat. Bahkan,
tidak sedikit yang menghubungkannya dengan wacana konflik agama Islam vs
Yahudi.
Seorang filsuf Prancis, Roger Garaudy (wafat 2012),
membedah kedok ideologi zionisme, yang mendasari pendirian negara
Israel. Semua itu dituangkannya dalam The Case of Israel (1983; terjemahan bahasa Indonesia 1992).
Saat
menulis buku tersebut, pengajar University of Clermont-Ferrand
(1962-1965) itu mengaku mendapatkan pelbagai tekanan agar tidak
menerbitkannya. Mulai dari tudingan mendukung Nazi, anti-Yahudi,
hingga ancaman dibunuh.
Dalam
buku setebal 177 halaman itu, Garaudy antara lain menegaskan, Israel
tidak punya legitimasi apa pun, baik dari sejarah, kitab suci Abrahamik,
maupun hukum internasional yang adil. Pertama-tama, Garaudy mengatakan
penting sekali memisahkan antara Yahudi dan zionisme (politik). Baginya,
Yahudi merupakan satu bangsa yang berperababan tinggi. Sebaliknya,
pencetus zionisme, Theodor Herzl (wartawan yang kemudian aktivis; lahir
1860) mengkhianati ajaran-ajaran Yahudi karena telah mengatasnamakan
panggilan zion.
Pada 1896, Herzl menulis kumpulan pamflet berbahasa Jerman, Der Judenstaat (Negara
Yahudi). Teks ini kelak menjadi panduan zionisme. Namun, istilah
zionisme sendiri bukan dari Herzl, melainkan Nathan Birnbaum, seorang
wartawan-pemikir Yahudi (lahir 1864).
Dalam Der Judenstaat, Herzl
menyerukan solusi pembentukan satu negara Yahudi untuk menjawab
gelombang tuntutan anti-Yahudi, utamanya di Eropa. Padahal, Garaudy
menegaskan, sejatinya penganut zionisme (choveve
zion) adalah segelintir kecil kaum Yahudi. Mereka merindukan hidup menetap dan beribadah di kawasan Yerusalem.
Dalam abad ke-19, kata Garaudy, choveve zion ini
bercita-cita mendirikan sebuah pusat kerohanian (bukan entitas negara)
tempat mereka mengamalkan agama dan kebudayaan Yahudi. Perlu dicatat,
zionisme keagamaan ini tidak pernah mengalami perlawanan dari
orang-orang Islam, yang menganggap diri mereka tergolong keturunan Nabi
Ibrahim dan agamanya (dari ajaran Nabi Ibrahim juga), tulis Roger
Garaudy (1992:3).
Justru, Herzl sama sekali bukan seorang Yahudi religius. Garaudy menegaskan, penulis Der Judenstaat itu
merupakan seorang agnostik yang radikal. Minat Herzl menduduki istilah
zionisme bukan lantaran agama, melainkan murni politik.
Apa yang membuat Herzl menulis Der Judenstaat? Itu setelah kasus Dreyfus mencuat di Prancis pada 1894.
Theodor Herzl, pendiri Zionisme.
Kapten Alfred Dreyfus merupakan tokoh militer
Prancis yang berdarah Yahudi. Dia dihukum penjara seumur hidup atas
dakwaan telah membocorkan rahasia negara kepada Jerman.
Kasus
Dreyfus segera menimbulkan gelombang perasaan anti-Yahudi
(anti-semitism) di tengah rakyat Prancis. Bagaimanapun, Herzl dan
beberapa tokoh setempat menganggap Dreyfus tidak bersalah.
Emosi massa anti-Yahudi itulah yang mengkristalkan tekad Herzl. Garaudy (1992:4) mencatat, melalui Der Judenstaat, Herzl mengambil tiga kesimpulan.
Pertama,
orang-orang Yahudi merupakan bangsa yang tunggal di manapun mereka
berada. Kedua, mereka di mana-mana selalu mengalami penganiayaan.
Ketiga, mereka tidak dapat diasimilasikan dengan bangsa-bangsa tempat
mereka sedang bermukim.
Karena itu, kata Garaudy, Herzl menyimpulkan tiga poin. Pertama,
menolak asimilasi. Kedua, perlunya pendirian negara Yahudi, bukan
sekadar kawasan spiritual Yahudi. Di negara itulah nantinya seluruh
orang-orang Yahudi yang hidup berpencar-pencar dipersatukan. Herzl
terbawa semangat zaman menjelang akhir abad ke-19, yakni nasionalisme.
Ketiga, negara Yahudi itu harus berdiri di atas daerah yang kosong.
Pemikiran
ketiga itu jelas-jelas wajah kolonialisme. Sebab, pihak penjajah
manapun selalu menganggap wilayah (target) jajahannya sebagai terra incognita, tanah tak bertuan, meskipun nyata-nyata bangsa tertentu sedang atau sudah lama hidup di sana.
Pertanyaan selanjutnya: mengapa Palestina? Bukankah Herzl bukan seorang yang religius?
Herzl membawa proposal Der Judenstaat ke
banyak tokoh bisnis dan politik, baik yang berdarah Yahudi maupun bukan
di Eropa. Herzl sempat menyampaikan risalahnya ini kepada raksasa
bankir dunia yang berdarah Yahudi, Baron Rothschild. Tidak ada
keterangan apa saran Rothschild.
Terpisah, bankir Prancis keturunan Yahudi, Maurice de Hirsch menyarankan, terra incognita itu adalah Argentina. Ini sejalan dengan upaya de Hirsch yang juga pendiri Asosiasi Kolonisasi Yahudi.
Salah satu programnya, mendatangkan puluhan hingga ratusan ribu
Yahudi ke Argentina. Asosiasi tersebut telah memiliki lahan lebih dari
600 ribu hektare di Argentina pada awal abad ke-20.
Adapun pemerintah Inggris secara diam-diam menyarankan Uganda sebagai
lokasinya. Negara di Afrika itu merupakan jajahan Inggris sejak 1894
(baru merdeka pada 1962). Keterlibatan Inggris Raya ini erat kaitannya
dengan lobi Yahudi.
Akan
tetapi, Herzl memilih Palestina karena ia ingin memanfaatkan
kecenderungan para pencinta Zion, dan (untuk) memperkuat gerakan yang
sedang ia bentuk dengan jalan menarik dukungan suatu tradisi keagamaan,
yang ia sendiri tidak percaya padanya, kata Garaudy (1992:5).
Sampai di sini, datang peran besar ilmuwan Yahudi, Chaim Weizmann.
Sosok yang kelak presiden pertama Israel itu mendekati elite politik
Inggris Raya agar memuluskan rencana zionisme. Pada 2 November 1917,
menteri luar negeri Inggris Raya Arthur Balfour akhirnya menulis surat
kepada Lord Rothschild. Isinya menegaskan dukungan Inggris Raya terhadap
pendirian Negara Tanah Air bagi orang-orang Yahudi di Palestina.
Ini
dalam konteks keterlibatan Inggris Raya dalam kancah Perang Dunia I.
Dampak dari ajang tersebut, Kesultanan Ottoman kalah, sedangkan Inggris
Raya dan sekutu menang. Wilayah Ottoman di Asia Barat pecah-belah. Dalam
rentang 1920-1922, Palestina berada dalam kendali Inggris Raya sebagai
mandat Liga Bangsa-Bangsa.
Ketika deklarasi negara Israel pada
1948, banyak negara-negara Arab yang tidak bisa menerima. Pada 5-10 Juni
1967, Perang Enam Hari akhirnya pecah antara Israel dan belasan
negara-negara Arab. Hasilnya, kemenangan ternyata atas Israel.
Demikianlah.
Zionisme Israel yang tak kenal lelah merongrong Yerusalem dan terutama
Masjid al-Aqsha itu bermula dari pola pikir kolonialisme, sesuatu yang
ditentang habis-habisan bangsa-bangsa waras, termasuk Indonesia.
Pembukaan
UUD 1945 antara lain berbunyi: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Credit
REPUBLIKA.CO.ID