Dia kecewa karena Sultan menghapus gelar khalifatullah.
Sri Sultan Hamengku Buwono X (Antara/ Regina Safri)
 
 
     CB - Seorang abdi dalem (orang yang 
mengabdikan diri kepada keraton dan raja) Keraton Yogyakarta 
mengembalikan surat kekancingan atau surat penugasan sebagai kawula 
kepada Kerajaan. Pengembalian itu adalah bentuk pengunduran diri sebagai
 abdi dalem.
Abdi dalem bernama Kardi itu mengaku kecewa pada Sultan yang 
menitahkan Sabda Raja yang, di antaranya, menghapus gelar khalifatullah 
pada nama Raja Yogyakarta. Menurut Kardi, gelar khalifatullah sejatinya 
bukan sekadar aksesoris, tetapi bermakna pemimpin umat muslim; pemimpin 
agama, panutan dan pelindung umat dalam menjalankan kehidupan rohani, 
terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Kalau gelar itu dihapus, Raja 
Yogyakarta tak lagi berkewajiban menjalankan amanat itu.
Kardi, yang bergelar Mas Wedana Nitikartya menyederhanakan Sultan 
sebagai khalifatullah adalah pengayom umat. "Kalau gelar dihilangkan, 
siapa lagi yang akan mengayomi kami (rakyat Yogyakarta),” katanya di 
Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2015.
Dia mengaku secara sukarela mengundurkan diri sebagai abdi dalem dan 
tak ingin mencampuri internal Keraton. “Namun sebagai abdi dalem, saya 
kecewa dengan pergantian gelar Sultan. Gelar Sultan tersebut sudah 
digunakan sejak Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan HB I setelah 
disahkannya Perjanjian Giyanti,” katanya menjelaskan.
“Penghapusan gelar tersebut, berarti Sultan yang sekarang tidak sah karena namanya tidak sesuai dengan Perjanjian Giyanti.”
Kardi pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Kota 
Yogyakarta. Dia mendapatkan surat kekancingan dari Sri Sultan Hamengku 
Buwono X pada 31 Agustus 2011. Dia mengembalikan surat itu kepada 
perwakilan Keraton, yakni dua adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo 
(GBPH) Cakraningrat dan GBPH Prabukusumo. Kekancingan itu akan 
diserahkan Cakraningrat kepada Parentah Hageng.
Gusti Cakraningrat mengatakan bahwa Keraton tak bisa menghalangi atau
 mencegah keinginan Kardi. Pasalnya, menjadi abdi dalem adalah keinginan
 Kardi, sebagaimana abdi dalem yang lain.
"Menjadi abdi dalem adalah keinginan dan niat dari mereka. Pengabdian
 yang besar terhadap Keraton dan Raja mereka. Kami tidak bisa 
menghalangi kenginan mereka," katanya.
Credit 
 VIVA.co.id
Adik Sultan Mengaku Tak Diundang di Penobatan Putri Mahkota
Mereka mengetahui Sabda Raja setelah dikabari kerabat di Yogya.
Sri Sultan Hamengku Buwono X (Antara/ Regina Safri)
 
  
     CB - Enam adik Sri Sultan Hamengku Buwono X
 yang bermukim di Jakarta mengaku tak diundang saat Raja Yogyakarta 
mengeluarkan Sabda Raja pertama pada 30 April 2015. Begitu pula saat 
Sabda Raja kedua pada 5 Mei 2015, yang menobatkan Gusti Kanjeng Ratu 
Mangkubumi sebagai Putri Mahkota.
Seorang dari adik Sultan, Gusti
 Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Suryodiningrat, mengatakan dia dan lima 
saudaranya yang bermukim di Jakarta baru mengetahui perihal Sabda Raja 
itu setelah dikabari kerabat yang berada di Yogyakarta.
"Saat 
Sabda Raja kami tidak tahu, dan kami tidak mendapat undangan. Soal 
adanya Sabda Raja kami juga dapat kabar dari kangmas-kangmas (para 
kakak) di Yogyakarta. Itu pun beberapa jam sebelum Sabda Raja 
dikeluarkan, jadi kami tidak mungkin datang," katanya di rumah di Ndalem
 Yudhanegaran atau kediaman GBPH Yudhaningrat di Yogyakarta, Kamis, 7 
Mei 2015.
Kelima adik Sultan yang menetap di Jakarta itu adalah 
GBPH Pakuningrat, GBPH Cokroningrat, GBPH Suryomentaram, GBPH 
Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro. Mereka dan GBPH Suryodiningrat belum 
menentukan sikap terkait Sabda Raja.
"Kami berenam masih menunggu
 penjelasan dari Ngarso Dalem (Sultan). Tadi malam kami sudah dapat 
penjelasan dari saudara dan kerabat yang di Yogya. Jadi terkait sikap, 
kami belum bisa menentukan. Pada dasarnya kami semua ingin yang terbaik 
untuk Keraton dan Keistimewaan Yogyakarta," kata Suryodiningrat.
Enam
 adik Sultan itu dijadwalkan menghadap sang Raja di Keraton pada Kamis 
sore. Sultan akan memberikan penjelasan kepada mereka terkait Sabda 
Raja.
 Credit  
VIVA.co.id
Sultan: Saya Tahu Sabda Raja akan Jadi Pro Kontra
Dua sabda yang diumumkan Sultan menuai polemik.
Sri Sultan Hamengku Buwono X. (ANTARA/M Agung Rajasa)
 
  
     CB - Sabda raja yang dikeluarkan Sultan 
Hamengkubuwono X menjadi polemik di masyarakat Yogyakarta. Gubernur DIY 
sekaligus Raja Keraton Yogyakarta itu mengaku sudah memprediksi polemik 
tersebut akan terjadi di masyarakat, termasuk di internal keraton.
"Itu saya sudah tahu, pasti akan menjadi pro dan kontra," kata Sultan, Kamis 7 Mei 2015.
Sultan juga memprediksi akan banyak masyarakat yang meminta klarifikasi atas sabda raja tersebut.
"Bagi saya berbeda 
ndak masalah. Mulai besok akan ada masyarakat yang meminta klarifikasi terkait sabda raja," ucapnya.
Sultan mengaku sudah mengundang dua kali adik-adiknya untuk mendengar sabda, namun tidak mau datang. 
"Bagaimana
 saya mau menjelaskan dan bagaimana mereka tahu isi sabda raja, 
sementara isi sabda yang dimuat di media itu salah," ucapnya. 
Sultan mengaku akan mengundang lagi adik-adiknya jika sabda raja sudah selesai dibahas. 
"Nanti akan kita undang lagi," katanya.
Ia
 mengaku tidak mau mengomentari terkait adanya pertemuan adik-adiknya 
untuk membahas masalah sabda raja. Sultan mengaku akan menggelar jumpa 
pers terkait masalah ini. 
"Bagi saya tidak masalah, pro kontra 
itu biasa. Tapi, yang jelas, saya selama ini menghindari dengan pers, 
dengan harapan adik-adik saya tidak tahu, dan komentar mereka salah," 
tuturnya.
Sabda Raja pertama diterbitkan pada 30 April 2015. 
Sabda Raja itu memuat lima hal, yakni; pertama, penyebutan Buwono 
diganti menjadi Bawono; kedua, gelar Khalifatullah seperti yang tertulis
 lengkap dalam gelar Sultan dihilangkan; ketiga, penyebutan kaping 
sedasa diganti kaping sepuluh; keempat, mengubah perjanjian pendiri 
Mataram, yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan; dan kelima, 
menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng 
Joko Piturun.
Titah itu segera disusul Sabda Raja kedua yang 
dirilis pada 5 Mei 2015. Titah berisi pemberian gelar kepada putri 
sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, dengan gelar Gusti Kanjeng 
Ratu Mangkubumi (selengkapnya ialah Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi 
Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram).
Credit  
VIVA.co.id
Sultan Kritik Balik Adik-adiknya yang Protes Sabda Raja
"Isi sabda yang dimuat di media itu salah."
Sri Sultan Hamengku Buwono X (duduk di kursi). (ANTARA)
 
 
     CB - Sri Sultan Hamengku Buwono X 
mengkritik balik adik-adiknya yang memprotes dua Sabda Raja. Sultan 
mengaku telah dua kali mengundang adik-adiknya untuk menjelaskan isi 
titah utama yang dia sabdakan, tetapi tak ada satu pun yang datang.
Sikap menolak hadir itu, kata Sultan, telah menimbulkan 
kesalahpahaman di kalangan keluarga besar Keraton Yogyakarta. Pasalnya, 
adik-adik Sultan tak mengetahui persis isi dua Sabda Raja tersebut. 
Mereka hanya mengetahui isi titah itu dari media massa dan sejauh ini 
Sultan belum menjelaskan secara detail isi Sabda Raja.
"Bagaimana saya mau menjelaskan dan bagaimana mereka tahu isi Sabda 
Raja, sementara isi sabda yang dimuat di media itu salah," kata Sultan 
kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2015.
Sultan tak mempermasalahkan pertemuan adik-adiknya yang membahas 
polemik Sabda Raja. Dia menganggap pro dan kontra itu adalah hal yang 
wajar. Tetapi pada saatnya nanti Sultan akan menjelaskan secara khusus 
tentang Sabda Raja itu kepada adik-adiknya.
“Yang jelas, saya selama ini menghindari dengan pers, dengan harapan 
adik-adik saya tidak tahu (isi Sabda Raja sampai dijelaskan secara 
langsung), dan komentar mereka salah," katanya menambahkan.
Sultan juga menepis pendapat sebagian kalangan yang menilai Sabda 
Raja adalah saran dari tokoh spiritual semacam dukun atau paranormal. 
Sultan secara tegas mengatakan bahwa dia tak pernah meminta saran atau 
pertimbangan orang luar Keraton, apalagi dukun.
“Saya ini tidak punya dukun,” ujarnya membantah.
Dia hanya mengakui memang mendatangi makam leluhur, terutama tiap 
akan membuat keputusan penting. Soalnya mendatangi makam leluhur 
raja-raja Mataram itu adalah perintah ayahnya, Sultan Hamengku Buwono 
IX, sejak dia kanak-kanak.
“Kami diminta karena beliau (Sultan Hamengku Buwono IX) banyak di 
Jakarta (sebagai Wakil Presiden Indonesia tahun 1973 sampai 1978). Saya 
bicara spritual sejak dari dahulu."
 Credit  
VIVA.co.id