Tampilkan postingan dengan label VENEZUELA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label VENEZUELA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 April 2019

Berpidato di DK PBB, Wapres AS 'Usir' Dubes Venezuela


Berpidato di DK PBB, Wapres AS Usir Dubes Venezuela
Wakil Presiden AS Mike Pence berpidato di DK PBB terkait krisis politik di Venezuela. Foto/Istimewa

NEW YORK - Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Mike Pence, memanggil Duta Besar (Dubes) Venezuela untuk melihat wajahnya saat berpidato di depan Dewan Keamanan PBB. Pence, dalam pidatonya, menyatakan sudah waktunya diktator Venezuela Nicolas Maduro untuk mundur.

"Dengan segala hormat, Tuan Duta Besar, Anda seharusnya tidak berada di sini," katanya, menatap langsung ke Dubes Venezuela, Samuel Moncada, yang ada di ruangan itu.

"Anda harus kembali ke Venezuela dan memberi tahu Nicolas Maduro bahwa waktunya sudah habis. Sudah waktunya baginya untuk pergi," imbuhnya seperti dikutip dari Fox News, Kamis (11/4/2019).

Moncada mendongak dari teleponnya dan menggelengkan kepalanya menanggapi pernyataan Pence.

Pence mendesak Dewan Keamanan untuk bertindak untuk mengakhiri rezim Maduro dan mengakui Presiden sementara Juan Guaido. Ia juga mengatakan sudah waktunya bagi PBB untuk mendudukkan perwakilan Guaido di lembaga itu dan mengusir perwakilan saat ini.

"Sekarang saatnya bagi PBB untuk bertindak, dan bagi dunia untuk berdiri bersama rakyat Venezuela saat mereka berbaris untuk kebebasan," ujar Pence.

Ia juga mengumumkan AS akan menyediakan hampir USD61 juta dalam bantuan kemanusiaan, di samping USD213 juta Departemen Luar Negeri mengatakan telah memberikan kepada pengungsi Venezuela yang tinggal di negara-negara terdekat serta USD43 juta dalam bantuan pembangunan dan ekonomi.

AS juga telah meningkatkan sanksi terhadap negara untuk menekan pemerintah agar menyerahkan kekuasaan kepada para pemimpin oposisi, yang sebagian besar didukung oleh penduduk negara itu.

Namun ia menghadapi tentangan langsung dari duta besar Rusia Vassily Nebenzia, yang mengatakan Amerika Serikat secara artifisial memprovokasi krisis di negara ini untuk menggulingkan pemimpin yang terpilih secara sah dan menggantikannya dengan pion mereka sendiri.

Rusia, Iran, China, dan Kuba adalah di antara negara-negara yang mendukung Maduro, sementara sebagian besar negara Amerika Latin mengakui Guaido.

Kepala kemanusiaan PBB Mark Lowcock mengatakan krisis telah memburuk dan bahwa 25 persen dari populasi membutuhkan bantuan kemanusiaan. Ia mendesak AS untuk membuat perbedaan antara pertanyaan politik dan kemanusiaan, dan meningkatkan upaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan.

Setelah pertemuan Dewan Keamanan, Pence mengatakan kepada wartawan bahwa ia yakin momentum itu ada di pihak AS.

"Kami benar-benar percaya bahwa kebebasan memiliki momentum tetapi sekarang saatnya bagi badan ini, lembaga bersejarah ini untuk melangkah maju dan memberikan suara kepada momentum itu dan kami akan menjangkau negara-negara di seluruh dunia untuk bergabung dengan kami," ujarnya.




Credit  sindonews.com






AS Serukan PBB Cabut Kredensial Pemerintah Maduro



AS Serukan PBB Cabut Kredensial Pemerintah Maduro
AS menyerukan PBB untuk mencabut kredensial pemerintahan Presiden Nicolas Maduro. Foto/Istimewa


NEW YORK - Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Mike Pence menyerukan PBB untuk mencabut kredensial pemerintahan Presiden Nicolas Maduro dan mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai pemimpin sah negara tersebut.

Ia mengatakan Amerika Serikat telah menyusun resolusi PBB dan meminta semua negara untuk mendukungnya. Tidak segera jelas apakah Pence mengusulkan resolusi di Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara atau Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 orang.

"Sudah tiba waktunya bagi PBB untuk mengakui presiden sementara Juan Guaido sebagai presiden Venezuela yang sah dan mendudukkan wakilnya dalam badan ini," kata Pence kepada Dewan Keamanan PBB seperti dikutip dari Reuters, Kamis (11/4/2019).

Para diplomat mengatakan, kecil kemungkinan Washington akan mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk mengadopsi tindakan seperti itu di Dewan Keamanan atau Majelis Umum. AS dan Rusia keduanya gagal dalam dua tawaran yang bersaing untuk mendapatkan dukungan Dewan Keamanan untuk mengadopsi resolusi tentang Venezuela pada bulan Februari lalu.

Lebih dari 50 negara telah mengakui Guaido sebagai pemimpin Venezuela. Ketika ditanya apakah AS berpikir bahwa mereka memiliki cukup dukungan untuk menggulingkan pemerintahan Maduro di PBB, Pence mengatakan: "Saya pikir momentumnya ada di pihak kebebasan."

Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menuduh AS memprovokasi krisis buatan untuk menggulingkan Maduro dan menggantikannya "dengan pion mereka sendiri." Nebenzia menggambarkan tindakan itu sebagai pelanggaran tanpa hukum, pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

"Kami menyerukan Amerika Serikat untuk sekali lagi mengakui bahwa rakyat Venezuela dan masyarakat lain memiliki hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri," kata Nebenzia.

"Jika Anda ingin membuat Amerika hebat lagi, dan kita semua dengan tulus tertarik melihatnya, berhenti mencampuri urusan negara lain," imbuhnya.

AS sebelumnya harus menangani klaim yang bersaing dari negara lain untuk perwakilan di badan dunia.

Duta Besar Venezuela untuk PBB, Samuel Moncada, mengatakan ia mengharapkan langkah seperti itu dari Amerika Serikat dan Venezuela telah berkampanye selama berbulan-bulan untuk memastikan dukungan bagi Maduro.

"Saya membunyikan bel peringatan ada langkah yang jelas di sini lagi untuk merusak hak kami dan jika mereka dapat merusak hak kami, mereka dapat merusak hak semua anggota organisasi ini," katanya kepada Dewan Keamanan PBB.

AS menyerukan pertemuan Dewan Keamanan pada hari Rabu untuk membahas situasi kemanusiaan di Venezuela. Kepala bantuan PBB Mark Lowcock mengatakan kepada dewan bahwa ada masalah kemanusiaan yang sangat nyata di negara itu.

"Skala kebutuhannya signifikan dan terus berkembang," kata Lowcock.

"Kita bisa berbuat lebih banyak untuk meringankan penderitaan rakyat Venezuela, jika kita mendapat lebih banyak bantuan dan dukungan dari semua pemangku kepentingan," imbuhnya.

Ia memberikan penerangan kepada dewan tentang laporan baru-baru ini terkait situasi yang memperkirakan sekitar seperempat penduduk Venezuela membutuhkan bantuan kemanusiaan, dan melukiskan gambaran mengerikan tentang jutaan orang yang kekurangan makanan dan layanan dasar.

Sekitar 3,4 juta rakyat Venezuela telah meninggalkan negara itu dan PBB memperkirakan bahwa akan meningkat menjadi sekitar 5 juta pada akhir tahun ini.

Pada bulan Februari, pasukan Venezuela memblokir konvoi bantuan yang didukung oleh AS yang mencoba masuk dari Kolombia dan Brazil. Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan tidak ada krisis dan menyalahkan sanksi AS untuk masalah ekonomi negara itu. Maduro telah menerima bantuan dari sekutunya Rusia.

“Di Venezuela, ada kebutuhan untuk memisahkan tujuan politik dan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan harus diberikan berdasarkan kebutuhan saja,” kata Lowcock.

"Kami mencari dukungan dewan untuk menjaga sifat aksi kemanusiaan yang netral dan tidak memihak," tukasnya. 



Credit  sindonews.com



Rusia siap berpartisipasi dalam mediasi selesaikan krisis Venezuela

Rusia siap berpartisipasi dalam mediasi selesaikan krisis Venezuela
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva membahas beberapa isu terkini dalam penjelasan kepada pers di rumah dinasnya di Jakarta, Rabu (10/4/2019). (ANTARA News/Yashinta Difa)



Jakarta (CB) - Pemerintah Rusia menyatakan siap untuk berpartisipasi dalam upaya mediasi penyelesaian krisis di Venezuela.

“Kami berdialog dengan otoritas Venezuela untuk mengirimkan pesan yang sama bahwa kita membutuhkan dialog yang damai,” kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva dalam penjelasan kepada pers di rumah dinasnya di Jakarta, Rabu.

Januari lalu, pemimpin oposisi yang didukung Amerika Serikat, Juan Guaido, secara ilegal menyatakan dirinya sebagai presiden sementara Venezuela, setelah membantah kemenangan pemilihan kembali Nicolas Maduro pada Mei.

Washington mendukung Guaido dan meminta Maduro mundur. Sejumlah negara Amerika Latin termasuk Kolombia dan Brasil mengikuti langkah AS dan mengakui Guaido sebagai presiden Venezuela.

Di sisi lain, Maduro menuding AS berusaha mengatur kudeta untuk “memasang” Guaido sebagai boneka AS.

Rusia, China, Kuba, Bolivia, Turki, dan sejumlah negara lain telah menyuarakan dukungan mereka untuk Maduro sebagai satu-satunya presiden sah Venezuela.

Rusia juga mengecam sanksi sepihak AS terhadap Venezuela, ataupun tindak kekerasan yang ditujukan untuk mengganggu kestabilan situasi sosial-ekonomi di negara tersebut.

Vorobieva menegaskan posisi Rusia untuk membantu menyelesaikan krisis Venezuela tanpa kekerasan, dan menyeru seluruh pasukan negara yang dikerahkan di Venezuela untuk ikut duduk di meja perundingan demi masa depan yang damai bagi rakyat dan negara tersebut.

“Dibutuhkan dialog agar situasi krisis dapat diselesaikan, karena telah jelas bahwa sanksi dan tekanan ekonomi yang dikenakan terhadap Venezuela tidak membantu menyelesaikan krisis. Rusia juga sudah menyampaikan pandangan ini dalam forum internasional di Dewan Keamanan PBB,” tutur dia.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro baru-baru ini kembali meminta Meksiko, Uruguay, Bolivia, dan Komunitas Negara-negara Karibia (CARICOM) untuk berkontribusi dalam dialog nasional di negara itu.

Para pemimpin negara-negara tersebut pada Februari lalu telah mengusulkan mekanisme Montevideo untuk menyelesaikan krisis Venezuela.

Mekanisme Montevideo mencakup empat fase, yakni menciptakan kondisi untuk dialog langsung antara pihak-pihak yang bertikai di Venezuela, proses negosiasi, penyusunan perjanjian, dan implementasi kesepakatan.





Credit  antaranews.com



Rabu, 10 April 2019

Venezuela Keluarkan 8 Ton Cadangan Emas di Bank Sentral


Sebuah gas air mata yang dilempar orang tak dikenal meledak di tengah kerumunan pendukung pimpinan oposisi Venezuela Juan Guaido di Caracas, Venezuela, Senin (1/4).
Sebuah gas air mata yang dilempar orang tak dikenal meledak di tengah kerumunan pendukung pimpinan oposisi Venezuela Juan Guaido di Caracas, Venezuela, Senin (1/4).
Foto: AP Photo/Natacha Pisarenko
Venezuela diperkirakan akan menjual emas batangan tersebut ke luar negeri.



CB, CARACAS -- Venezuela mengeluarkan delapan ton cadangan emas dari brankas mereka di bank sentral pada pekan lalu. Venezuela diperkirakan akan menjual emas batangan tersebut ke luar negeri karena kekurangan pendapatan.

Anggota parlemen dan salah satu sumber pemerintah yang identitasnya dirahasiakan mengatakan, penjualan emas tersebut dilakukan ketika Venezuela berupaya meningkatkan mata uang dalam menghadapi sanksi Amerika Serikat (AS). Sanksi tersebut menghalangi Venezuela mendapatkan pemasukan dari ekspor perusahaan minyak negara, PDVSA. Presiden Nicolas Maduro disebut semakin terisolasi dan telah beralih menjual cadangan emas sebagai satu-satunya sumber pendapatan mata uang asing.

Salah satu sumber di pemerintahan mengatakan, cadangan emas di bank sentral telah turun 30 ton sejak awal tahun sebelum Presiden AS Donald Trump memperketat sanksi. Kini jumlah cadarngan emas di brankas bank sentral Venezuela tersisa 100 ton dengan nilai lebih dari empat miliar dolar AS.

Dengan jumlah tersebut, cadangan emas di bank sentral diperkirakan akan habis pada akhir tahun, terutama untuk membayar impor barang-barang kebutuhan pokok. Hingga berita ini diturunkan, bank sentral Venezuela dan Kementerian Komunikasi belum memberikan tanggapan.

Anggota parlemen oposisi mengecam perusahaan yang membeli emas Venezuela atau memegangnya sebagai jaminan pinjaman. Sebab, mereka akan menyelamatkan Maduro dari krisis ekonomi dan kemanusiaan.

Hal serupa juga dilontarkan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri AS. Dalam pernyataannya, AS mengutuk semua upaya Maduro dan para pendukungnya mencari sumber daya dari rakyat Venezuela.

"Kami mendorong perusahaan, bank, dan entitas lain di AS maupun di negara lain agar tidak berpartisipasi dalam penjualan sumber daya Venezuela oleh rezim Maduro," ujar juru bicara tersebut dalam pernyataannya.

Selain cadangan yang dipegang oleh bank sentral di Caracas, pemimpin oposisi Juan Guaido berupaya membekukan rekening bank dan emas milik Venezuela di luar negeri, termasuk 31 ton emas di Bank of England senilai sekitar 1,3 miliar dolar AS.

Resesi ekonomi Venezuela memasuki tahun keenam. Negara tersebut mengalami hiperinflasi dan kekurangan barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan dan obat-obatan. Maduro telah melonggarkan pembatasan valuta asing, tetapi perekonomian masih belum pulih dan membutuhkan sumber pendapatan untuk membayar impor barang yang dibutuhkan.

Seorang sumber pemerintah mengatakan, emas dikeluarkan dari bank sentral ada pekan lalu. Ketika itu hanya pejabat tinggi yang hadir di kantor bank sentral. Sementara, sebagian besar karyawan diliburkan karena pemadaman listrik dan kekurangan air bersih. Sebelumnya, bank sentral juga telah mengeluarkan cadangan emas dengan jumlah yang sama pada Februari lalu.

"Mereka memindahkan emas keluar saat bank sentral dalam keadaan darurat," ujar anggota parlemen oposisi Angel Alvarado, sambil menambahkan bahwa emas tersebut akan dijual ke luar negeri.

Pada Januari, Washington meminta pembeli emas asing berhenti berbisnis dengan pemerintah Venezuela. Hal ini membuat Venezuela membatalkan rencana penjualan 29 ton emas ke Uni Emirat Arab (UEA). Awal tahun ini, perusahaan investasi Abu Dhabi Noor Capital membeli tiga ton emas dari Venezuela pada 21 Januari 2019. Perusahaan tersebut tidak akan membeli emas dalam jumlah besar hingga Venezuela berada dalam kondisi stabil.

Pada Maret 2018 lalu, pihak berwenang Uganda sedang menyelidiki kilang emas terbesar negara itu atas impor sekitar 7,4 ton emas, yang bernilai sekitar 300 juta dolar AS. Penyelidikan tersebut dilakukan setelah media pemerintah melaporkan impor emas kemungkinan berasal dari Venezuela. Juru bicara Departemen Luar Negeri Uganda menyatakan, negara harus mengambil langkah-langkah hukum yang tepat untuk menghentikan individu korup yang menjual aset Venezuela.




Credit  republika.co.id



Senin, 08 April 2019

Naik Pitam, Kuba Sebut Sanksi AS untuk Venezuela Tindakan Intervensi



Naik Pitam, Kuba Sebut Sanksi AS untuk Venezuela Tindakan Intervensi
Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian


HAVANA - Presiden Kuba, Miguel Diaz Canel, mengutuk keras sanksi baru yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) kepada Venezuela. Sanksi baru AS itu menargetkan kapal dan perusahaan yang terkait dengan raksasa minyak PDVSA Venezuela.

"AS memberlakukan sanksi pada hari Jumat ini untuk kapal dan perusahaan yang bergerak dalam pengiriman minyak antara Kuba dan Venezuela, kegiatan yang sah berdasarkan kontrak komersial. Tindakan ini adalah tindakan ekstrateritorial, campur tangan dan arogansi kekaisaran," tulis Diaz-Canel di Twitter seperti dikutip dari Sputnik, Minggu (7/4/2019).

Kementerian Luar Negeri Venezuela juga mengecam keras langkah AS dan mencatat bahwa Caracas akan menanggapi sanksi-sanksi ini dengan cara hukum yang sesuai.

AS menjatuhkan sanksi terhadap 34 kapal yang terikat PDVSA, yang dikendalikan oleh pemerintah Presiden Venezuela Nicolas Maduro, dan dua perusahaan yang diduga mengangkut minyak dari Venezuela ke Kuba. 

Selain itu, seorang pejabat senior dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengatakan putaran sanksi terbaru diperkenalkan atas permintaan Majelis Nasional pimpinan oposisi Venezuela.

Venezuela telah lama menderita krisis ekonomi akut yang diperburuk oleh sanksi AS terhadap negara itu. Pada bulan Januari, pemimpin oposisi Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai presiden sementara Venezuela setelah menolak terpilihnya kembali Maduro pada pemilu bulan Mei. Washington segera mendukung Guaido dan meminta Maduro untuk mundur.

Maduro lantas menuduh AS berusaha mengatur kudeta dengan memasang Guaido sebagai bonekanya. Rusia, China, Kuba, Bolivia, Turki, dan sejumlah negara lain telah menyuarakan dukungan mereka untuk Maduro sebagai satu-satunya presiden Venezuela yang sah. 




Credit  sindonews.com



Amerika Kenakan Sanksi Atas Kapal Tanker Minyak dari Venezuela



Nicolas Maduro (kiri), Donald Trump (tengah), Juan Guaido (kanan)
Nicolas Maduro (kiri), Donald Trump (tengah), Juan Guaido (kanan)

CBHouston – Amerika Serikat menarget pengiriman minyak dari Venezuela ke Kuba dengan sanksi baru untuk menekan Presiden Nicolas Maduro.

Langkah ini juga untuk menghentikan suplai minyak mentah ke Kuba, yang mendukung rezim Maduro.
AS menuding Kuba mengirim sekitar 2.500 tentara dan petugas intelijen untuk menjaga rezim Maduro dari ancaman kelompok oposisi, yang mendesak Maduro untuk mundur.
“Kementerian Keuangan mengambil langkah terhadap kapal dan perusahaan transportasi minyak, yang memberikan bantuan agar rezim Maduro agar tetap bertahan,” kata Steve Mnuchin, menteri Keuangan AS seperti dilansir Reuters pada Sabtu, 6 April 2019.

Mnuchin mengatakan pemerintah Kuba memperoleh manfaat dari rezim Maduro, yang tidak memiliki legitimasi. Dia menyebut kerja sama ini sebagai mekanisme minyak ditukar dengan tindakan represi untuk menjaga rezim Maduro tetap berkuasa.
Kemenkeu AS mengenakan sanksi kepada 34 kapal termasuk kapal tanker, yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan minyak Venezuela yaitu Petroleos de Venezuela atau PDVSA. Juga ada perusahaan lain dan sebuah kapal pengantar minyak ke Kuba pada Februari dan Maret ikut terkena sanksi.

Amerika Serikat mendukung tokoh oposisi Juan Guaido dan mencoba melemahkan pemerintahan Maduro. Guaido mendapat banyak dukungan dari negara Barat dan mayoritas negara di Amerika Latin.
Sebaliknya, Maduro mendapat dukungan dari Rusia, Cina, Turki, Kuba dan Meksiko.
Pemerintah Rusia, seperti dilansir Sputnik News, telah mengirim sekitar seratus pasukan spesialis ke Venezuela untuk melakukan pelatihan militer. Pasukan ini didukung oleh logistik dan peralatan sebanyak sekitar 35 ton.

Amerika meminta pasukan Rusia agar segera keluar dari Venezuela. Namun, Rusia mengatakan ini bagian dari kerja sama militer yang telah diteken sebelumnya.




Credit  tempo.co




Pawai warga Venezuela tuntut aliran listrik, air dan Maduro mundur


Pawai warga Venezuela tuntut aliran listrik, air dan Maduro mundur
Garda nasional Venezuela berlindung di balik tameng saat aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Presiden Nicolas Maduro di Caracas, Sabtu (12/4). (Foto: REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)




Karakas (CB) - Puluhan ribu warga Venezuela turun ke jalan-jalan pada Sabtu untuk mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido dan memprotes Presiden Nicolas Maduro, yang mereka tuduh membuat perekonomian negara itu hancur setelah aliran listrik terputus dan akses untuk mendapatkan air terbatas.

Rakyat Venezuela, yang sudah menderita akibat hiperinflasi dan kekurangan makanan dan obat-obatan, mengatakan krisis itu telah memburuk selama sebulan belakangan. Banyak kawasan gelap selama berhari-hari akibat aliran listrik putus dan pasokan air serta layanan telepon selular juga putus.

Guaido, kepala Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi dan diakui sebagai kepala negara Venezuela yang sah oleh sebagian besar negara Barat, menyerukan pawai-pawai pada Sabtu untuk menandai permulaan apa yang disebutnya sebagai gelombang baru "protes-protes "definitif" untuk menggulingkan Maduro.

Guaido berusaha konstitusi negara itu diubah agar dapat menjadi presiden interim pada Januari, mengecam Maduro sebagai "perebut" untuk memulai periode kedua setelah pemilihan tahun 2018 yang dipandang luas dicurangi. Madurto, yang tetap memperoleh dukungan tentara dan para sekutu termasuk Rusia dan China, menganggap Guaido sebagai boneka AS dan mengatakan ia akan menghadapi keadilan.

Di Karakas, ribuan pendukung oposisi berkumpul di titik utama pawai di distrik El Marques di bagian timur ibu kota. Para pemerotes mengatakan rumah-rumah mereka sudah tanpa aliran listrik dan air selama berhari-hari dan banyak mengambilnya pipa-pipa atau saluran tidak bersih yang mengalir dari pegunungan Avila menghadap Karakas.

"Kami harus singkirkan perebut ini, dan kami tidak dapat berpikir hal lainnya," kata Claudia Rueda, 53 tahun, yang di kesehariannya pembuat rumah dalam aksi itu.

Di satu titik, kerumunan massa meneriakkan,"Air langka, aliran listrik tak ada, dan sekarang Maduro yang menghilangkannya juga harus enyah."

Dua pemadaman listrik masif dalam beberapa pekan membuat pemerintah Maduro membatalkan proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah dan mengganggu sektor bisnis. Layanan pasokan listrik belum merata, dengan kota-kota seperti San Cristobal, Valencia dan Maracay melaporkan masih menglami gangguan pasokan listrik.




Credit  antaranews.com



Jumat, 05 April 2019

Jumlah Pasukan Rusia Bakal Bertambah di Venezuela?



Presiden Venezuela Nicolas Maduro menghadiri latihan militer di Turiamo, Venezuela, 3 Februari 2019.[Istana Kepresidenan Venezuela / Handout Miraflores via REUTERS]
Presiden Venezuela Nicolas Maduro menghadiri latihan militer di Turiamo, Venezuela, 3 Februari 2019.[Istana Kepresidenan Venezuela / Handout Miraflores via REUTERS]

CB, Moskow – Deputi Menteri Luar Negeri Venezuela, Ivan Gil, mengatakan ada kemungkinan jumlah pasukan Rusia yang datang ke negaranya bertambah. Ini diatur dalam perjanjian kerja sama pertahanan kedua negara.

Gil juga mengatakan pasukan Rusia bakal tinggal di Venezuela sepanjang yang dibutuhkan dan tidak ada batasan waktunya.
“Grup spesialis militer di Venezuela ada dalam konteks perjanjian kami dan kontrak kerja sama teknis militer,” kata Gil seperti dilansir Interfax dan dikutip Reuters pada Kamis, 4 April 2019.
Sebelumnya, Kremlin mengatakan spesialis Rusia di Venezuela datang terkait kontrak kerja sama suplai senjata Rusia. Sekitar seratus tentara Rusia tiba di Caracas, Venezuela, menjelang akhir Maret 2019.

Menanggapi ini, pemerintah AS meminta pasukan Rusia agar keluar dari Venezuela. Presiden Donald Trump mengatakan semua opsi terbuka agar pasukan Rusia keluar dari negara sosialis ini.
Pada awal pekan ini, seperti dilansir Moscow Times, DPR Rusia mengirim surat kepada Kongres dari Kolombia, yang merupakan tetangga dari Venezuela.
Surat itu berisi peringatan bahwa penggunaan kekuatan militer terhadap Venezuela oleh negara lain yang mendukung kelompok oposisi akan diinterpretasikan sebagai tindakan agresi terhadap sebuah negara berdaulat.

Soal ini, pemerintah Kolombia, yang mendukung tokoh oposisi Juan Guaido, mengatakan negara itu mendukung transisi damai menuju demokrasi di Venezuela.

“Ini harus dilakukan oleh bangsa Venezuela sendiri dan dalam kerangka konstitusi, hukum internasional dan didukung lembaga politik dan diplomasi yang ada tanpa penggunaan kekuatan militer,” kata Carlos Holmes Trujillo, menteri Luar Negeri Kolombia.




Credit  tempo.co



Uni Eropa kecam pelucutan kekebalan hukum Guaido


Uni Eropa kecam pelucutan kekebalan hukum Guaido

Pemimpin oposisi Veneuzuela Juan Guaido. (Anadolu Agency)




Brussel (CB) - Pemerintah Uni Eropa pada Kamis mengecam langkah Majelis Nasional Venezuela yang hendak menuntut pemimpin oposisi Juan Guaido, yang dianggap oleh banyak negara Barat sebagai kepala negara de fakto.

"Uni Eropa menolak keputusan yang diambil oleh Majelis Nasional Venezuela yang tidak diakui untuk mencabut kekebalan hukum parlemen Guaido. Keputusan ini merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, serta aturan hukum dan pemisahan kekuasaan Venezuela," kata Uni Eropa dalam satu pernyataan.

"Tindakan-tindakan ini mengacaukan jalan keluar politik dari krisis yang menyandera negara tersebut dan hanya menimbulkan polarisasi lebih lanjut serta meningkatkan ketegangan di negara tersebut," tulis pernyataan itu.









Credit  antaranews.com











Kamis, 04 April 2019

China Bantah Kirim Pasukan ke Venezuela untuk Sokong Maduro



China Bantah Kirim Pasukan ke Venezuela untuk Sokong Maduro
Salah satu foto yang beredar di media sosial, yang diklaim membawa ratusan tentara China ke Venezuela. Foto/Twitter


BEIJING - Pemerintah China membantah laporan bahwa Beijing mengirim ratusan tentara ke Venezuela bersama dengan pengiriman bantuan kemanusiaan. Laporan yang beredar di media sosial menyatakan Beijing mengirim pasukan ke negara itu untuk menyokong Presiden Nicolas Maduro yang hendak digulingkan kubu oposisi.

Beijing telah mengirim 65 ton obat-obatan ke Caracas pada hari Jumat pekan lalu. Wakil Presiden Venezuela Tareck El Aissami menyambut penerbangan bantuan, dan memuji kemitraan kedua negara.

Laporan-laporan yang marak di media sosial menyatakan bahwa China mengirim bantuan medis dan 120 tentara untuk menyokong Presiden Nicolas Maduro agar tetap berkuasa.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan kepada wartawan bahwa laporan pengiriman pasukan militer ke Caracas tidak benar.

"Saya tidak tahu dari mana Anda mendapatkan informasi ini atau untuk tujuan apa informasi itu diproduksi, tetapi saya dapat memberi tahu Anda ini; apa yang Anda katakan itu tidak benar," katanya dalam sebuah briefing, yang dilansir Russia Today, Rabu (3/4/2019) malam.

"Posisi pemerintah China pada masalah Venezuela konsisten dan jelas," lanjut Shuang. "China menentang campur tangan eksternal dalam urusan internal Venezuela, dan percaya pemerintah dan oposisi negara itu perlu mencari solusi politik melalui dialog damai."

Laporan itu muncul kurang dari dua minggu setelah personel militer Rusia tiba di Venezuela. Pengerahan pasukan oleh Moskow berdasarkan ketentuan perjanjian kerja sama tahun 2001 antara Moskow dan Caracas. Amerika Serikat (AS) mengecam pengiriman pasukan Rusia dengan alasan akan menambah kekacauan di negara tersebut.

Dalam krisis politik Venezuela, AS mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido yang telah mendeklarasikan diri sebagai presiden interim Januari lalu. Sedangkan Rusia dan China mendukung Presiden Maduro yang terpilih lagi dalam pemilu 2018.




Credit  sindonews.com



Cabut Imunitas Guaido, Jerman Kutuk Venezuela


Cabut Imunitas Guaido, Jerman Kutuk Venezuela
Jerman kutuk Venezuela karena mencabut hak imunitas Juan Guaido. Foto/Istimewa

BERLIN - Jerman mengutuk keputusan Venezuela untuk mencabut hak imunitas tokoh oposisi Juan Guaido. Dicabutnya hak imunitas membuka peluang untuk menyeret Guaido ke muka pengadilan.

Majelis Konstituante, sebuah badan yang dibuat Presiden Nicolas Maduro untuk menandingi Majelis Nasional yang dikuasai oposisi, awal pekan ini mencabut hak imunitas Guaido. Langkah yang dilakukan Majelis Konstituante merupakan upaya terbaru pemerintah untuk meningkatkan tekanan terhadap Guaido, yang menyatakan dirinya sebagai presiden sementara pada Januari lalu.

"Pemerintah federal Jerman mengutuk pencabutan imunitas Juan Guaido oleh Majelis Konstituante," bunyi pernyataan yang dikeluarkan pemerintah Jerman seperti dikutip dari Deutsche Welle, Kamis (4/4/2019).

Jerman juga menegaskan bahwa negara-negara Uni Eropa menyatakan tidak akan mengakui resolusi yang dibuat oleh Majelis Konstituante. Majelis tersebut dibentuk untuk menggulingkan Majelis Nasional, parlemen Venezuela, yang sah.

"Majelis Konstituante sekali lagi menunjukkan bahwa ia melayani rezim Maduro untuk melemahkan kekuatan demokrasi negara itu," demikian bunyi pernyataan itu.

Presiden Majelis Konstituante, Diosdado Cabello, menuduh pemimpin oposisi Guaido menghasut perang saudara.

"Mereka tidak peduli dengan kematian. Mereka tidak memiliki gagasan sedikit pun tentang apa konsekuensi perang bagi sebuah negara," ujarnya.

Cabello mengacu pada klaim rezim Maduro yang bertujuan untuk mendiskreditkan oposisi dengan menuduh mereka bekerja untuk pemerintah Amerika Serikat (AS), yang diklaim Maduro sedang menyusun konspirasi untuk menggulingkannya.

Guaido pun menolak langkah-langkah untuk menghapus hak imunitasnya terhadap tuntutan.

"Jika rezim berani menculik saya dan melakukan kudeta, kami akan bertindak dengan terpaksa. Diktator hanya mengetahui dengan kekerasan."

Pada bulan Januari, Guaido mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara Venezuela dalam sebuah langkah untuk merongrong otoritas Maduro di negara itu.

AS segera mengakuinya sebagai presiden sah negara kaya minyak yang kekurangan uang itu. Tak lama setelah itu, Jerman dan negara-negara Barat lainnya mengikutinya. Tetapi rezim Maduro terus mendapatkan dukungan dari Rusia, China dan Turki. 




Credit  sindonews.com



Majelis Nasional Venezuela Lecuti Kekebalan Guaido


Juan Guaido
Juan Guaido
Foto: AP

Penjabat Presiden Venezuela Juan Guaido sekarang tak kebal dari hukuman.



REPUBLIKA.CO.ID, KARAKAS -- Majelis Konstituen Venezuela pada Selasa (2/4) melucuti kekebalan parlemen Juan Guaido. Keputusan tersebut sekaligus melicinkan jalan kemungkinan penangkapan dan penghukuman pemimpin oposisi Venezuela tersebut.

Majelis Konstituen Venezuela mengadakan pertemuan atas permintaan Maikel Moreno --Presiden Pengadil Tinggi Kehakiman (TSJ). Mereka menggelar rapat untuk membahas rencana pelecutan kekebalan Guaido dari hukuman, demikian laporan Kantor Berita Turki, Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu malam. Usul itu disetujui dengan suara bulat oleh semua anggota Parlemen.

Guaido, pemimpin Majelis Nasional Venezuela, dituduh melakukan pelanggaran larangan perjalanan yang diberlakukan atas dirinya dengan mengunjungi Kolombia. Ia melakukan perjalanan ke sana sehari sebelum satu upaya dilancarkan untuk membawa "bantuan kemanusiaan yang disediakan AS" ke Venezuela pada 23 Februari.

Guaido belakangan mengunjungi Brazil, Paraguay, Argentina, dan Ekuador sebelum kembali ke Venezuela pada 4 Maret. Ia tak mengalami kesulitan untuk masuk kembali ke negeri tersebut.

Venezuela telah diguncang protes sejak 10 Januari, ketika Presiden Nicolas Maduro diambil sumpahnya untuk masa jabatan kedua setelah pemungutan suara yang diboikot oleh oposisi.

Ketegangan meningkat ketika Guaido mengumumkan diri sebagai Penjabat Presiden pada 23 Januari. Tindakan itu didukung oleh AS dan banyak negara Eropa serta Amerika Latin. Turki, Rusia, China, Iran, Bolivia dan Meksiko telah memberi dukungan buat Maduro.







Credit  republika.co.id



Kecam AS, Rusia Yakin Venezuela Tak Jadi 'Suriah Kedua'


Kecam AS, Rusia Yakin Venezuela Tak Jadi Suriah Kedua
Presiden Nicolas Maduro Moros saat menghadiri latihan militer Venezuela. Foto/REUTERS/Miraflores Palace

MOSKOW - Rusia percaya ketegangan terkait krisis Venezuela tidak akan meningkat menjadi Krisis Karibia baru atau mengubah negara itu menjadi "Suriah kedua". Moskow mengecam Amerika Serikat (AS) yang terus mengumbar retorika invasi terhadap negara kaya minyak itu.

Pernyataan Rusia itu disampaikan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov. "Kami tidak menerima metode yang digunakan AS untuk meningkatkan kehidupan rakyat Venezuela," kata Lavrov dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Moskovsky Komsomolets, yang dikutip Russia Today, Kamis (4/4/2019).

Dalam krisis politik Venezuela, Washington mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido yang mendeklarasikan diri sebagai presiden interim pada Januari lalu. Washington juga telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara yang sedang dilanda krisis ekonomi tersebut.

Para pejabat tinggi AS sebelumnya mengancam akan melakukan apa yang mereka sebut sebagai "intervensi kemanusiaan" di Venezuela untuk menyingkirkan presiden sosialis yang tidak diinginkan, Nicolas Maduro, dari kekuasaan.

Lavrov mengatakan negara-negara di Amerika Latin, yang menentang Maduro dan menginginkan pemilu cepat di Venezuela, benar-benar tertekan ketika Amerika mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk menggulingkan rezim Maduro.

"Saya jamin bahwa jika ada upaya intervensi militer, sebagian besar negara bagian Amerika Latin akan langsung menolaknya," katanya.

"Saya tidak berpikir bahwa Krisis Karibia akan diciptakan kembali," kata Lavrov, terlepas dari ancaman invasi militer AS. "Juga tidak ada pembicaraan tentang 'Suriah kedua' di Venezuela," ujarnya.

Sekadar diketahui, Krisis Karibia membuat AS dan Uni Soviet berada di ambang perang nuklir pada tahun 1962 setelah Moskow menempatkan misil-misilnya di Kuba sebagai tanggapan terhadap Washington yang menyebarkan rudal balistik di Italia dan Turki.

Diplomat top Rusia tersebut menekankan bahwa AS bertindak "kurang ajar" karena memperlakukan Western Hemisphere (Belahan Barat) sebagai halaman belakangnya sendiri, tempat yang tidak boleh diakses oleh negara lain.

Lebih lanjut, Menlu Lavrov menyinggung komentar Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton soal laporan pengerahan 100 tentara Rusia dan pendaratan pesawat kargo di Venezuela pada akhir Maret. "AS tidak akan mentoleransi kekuatan militer asing yang bermusuhan untuk mencampuri tujuan bersama demokrasi, keamanan dan supremasi hukum Belahan Barat," kata Bolton beberapa hari lalu.

Lavrov mengklarifikasi bahwa perangkat keras militer Rusia yang dipasok ke Venezuela berstatus legal karena di bawah perjanjian kerja sama teknis-militer tahun 2001 yang saat itu diteken Presiden Hugo Chavez.

"Peralatan ini membutuhkan servis terjadwal oleh spesialis Rusia dan sekarang saatnya untuk perawatan seperti itu. Itu saja," katanya, menjelaskan kedatangan spesialis militer Rusia di negara itu. 





Credit  sindonews.com





Inggris: Venezuela Butuh Pemilihan Presiden Baru, Bukan Tentara Rusia


Inggris: Venezuela Butuh Pemilihan Presiden Baru, Bukan Tentara Rusia
Menlu Inggris, Jeremy Hunt mengatakan, apa yang dibutuhkan Venezuela saat ini adalah demokrasi dan bukan tentara dari negara lain. Foto/Reuters

LONDON - Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt mengkritik kehadiran tentara Rusia di Venezuela. Hunt mengatakan, apa yang dibutuhkan Venezuela saat ini adalah demokrasi dan bukan tentara dari negara lain.

"Venezuela membutuhkan pemilihan presiden yang bebas dan adil, alih-alih pengerahan personel militer Rusia," kata Hunt dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Sputnik pada Rabu (3/4).

Dia juga menyatakan ketidakpuasannya dengan keputusan pemerintah Venezuela untuk memberikan lampu hijau bagi kelanjutan penyelidikan pengadilan terhadap pemimpin oposisi Juan Guaido dan mencabut hak imunitasnya.

Seperti diketahui, sebelumnya Majelis Konstituante mencabut hak imunitas pemimpin oposisi Juan Guaido, membuka jalan bagi kemungkinan penangkapannya. Majelis Konstituante, badan pembuat undang-undang, dibentuk oleh Presiden Nicolas Maduro untuk menandingi Majelis Nasional yang dipimpin Juan Guaido.

Langkah yang dilakukan Majelis Konstituante merupakan upaya terbaru pemerintah untuk meningkatkan tekanan terhadap Guaido, yang menyatakan dirinya sebagai presiden sementara pada Januari lalu.

Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah telah melarang Guaido bepergian, membekukan rekening banknya, mulai menyelidiki dia dengan tuduhan terorisme, dan melarang dia mencalonkan diri untuk jabatan publik. 




Credit  sindonews.com



Senin, 01 April 2019

Rusia pada AS: Berhenti Campur Tangan Dalam Urusan Venezuela!



Rusia pada AS: Berhenti Campur Tangan Dalam Urusan Venezuela!
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova. peringatkan AS agar tidak ikut campur tangan lebih lanjut dalam urusan dalam negeri Venezuela. Foto/Istimewa


MOSKOW - Kementerian Luar Negeri Rusia memperingatkan Amerika Serikat (AS) agar tidak ikut campur tangan lebih lanjut dalam urusan dalam negeri Venezuela. Selain itu, Moskow juga mendesak AS untuk tidak membuat pernyataan yang menimbulkan spekulasi tentang Rusia yang melakukan operasi militer di negara Amerika Selatan.

"Kami merekomendasikan agar AS berhenti mengancam Venezuela, mencekik ekonominya dan mendorongnya ke arah perang saudara, yang merupakan pelanggaran terbuka terhadap hukum internasional," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova.

Zakharova kemudian menegaskan, Rusia tidak memiliki niat untuk membangun kehadiran militernya di Venezuela, meskipun ada tuduhan oleh Barat mengenai hal itu, termasuk dari Washington.

Sebelumnya, dua pesawat angkatan udara Rusia mendarat di Venezuela pada 23 Maret, membawa hampir 100 tentara dan 35 ton materi. Moskow telah berulang kali mengatakan bahwa keberadaan pasukan Rusia di Venezuela sejalan dengan perjanjian bilateral tentang kerja sama militer-teknis.

"Spekulasi tentang pelaksanaan 'operasi militer' tertentu oleh Rusia di Venezuela benar-benar tidak berdasar," tukasnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Xinhua pada Minggu (31/3). 



Credit  sindonews.com



AS Sanksi Rusia karena Kirim Tentara ke Venzuela, Moskow: Ini Konyol



AS Sanksi Rusia karena Kirim Tentara ke Venzuela, Moskow: Ini Konyol
Rusia melemparkan kecaman terhadap rencana Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia. Foto/Istimewa


MOSKOW - Rusia melemparkan kecaman terhadap rencana Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia. Washington berencana menjatuhkan sanksi baru kepada Moskow, setelah Rusia mengirimkan tentara ke Venezuela.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengatakan, rencana AS untuk menjatuhkan sanksi kepada Rusia adalah upaya konyol dari Washington untuk mengintimidasi Moskow atas kerja sama pertahanannya yang sah dengan Venezuela.

"Kedatangan para pakar kerja sama teknis-militer Rusia di Venezuela terus memicu reaksi gugup di Washington," kata Zakharova dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Sputnik pada Minggu (31/3).

"Para pejabat AS bahkan mulai mengatakan bahwa AS akan mempertimbangkan kehadiran perwakilan angkatan bersenjata dari negara-negara di luar Belahan Barat (di Venezuela) sebagai tindakan provokatif yang mengancam perdamaian dan keamanan regional," sambungnya.

Zakharova kemudian menyatakan bahwa reaksi tajam AS tampaknya terkait dengan fakta bahwa kudeta cepat yang direncanakan di Caracas belum berhasil. Menurutnya, Washington telah mengajukan begitu banyak sanksi terhadap Rusia, sehingga Moskow kehilangan akal dan berhenti memperhatikannya.

"Untuk bagian kami, kami hanya dapat merekomendasikan bahwa AS berhenti mengancam Venezuela, mencekik ekonominya dan mendorong perang saudara, dengan melanggar hukum internasional. Kami menyerukan kepada semua kekuatan politik Venezuela yang mengutamakan kepentingan negara mereka di atas kepentingan pribadi mereka. Ambisi untuk terlibat dalam dialog, dan siap membantu dialog semacam itu dengan cara apa pun yang memungkinkan," ungkapnya.

Di kesempatan yang sama, Zakharova melemparkan ledekan, dengan menyarankan bahwa mungkin politisi di Washington harus membiasakan diri dengan peta geografis. "Bagian dari wilayah Rusia, Semenanjung Chukotka, terletak di Belahan Barat. Jadi untuk Rusia, benua Amerika adalah tetangga dekat," ledek Zakharova.


Credit  sindonews.com



Venezuela Sindir AS Soal Rencana Jatuhkan Sanksi Baru pada Rusia




Venezuela Sindir AS Soal Rencana Jatuhkan Sanksi Baru pada Rusia
Pemerintah Venezuela melemparkan sindiran keras atas rencana Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia. Foto/Reuters


CARACAS - Pemerintah Venezuela melemparkan sindiran keras atas rencana Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia. Washington berencana menjatuhkan sanksi baru kepada Moskow, setelah Rusia mengirimkan tentara ke Venezuela.



Menteri Pertahanan Venezuela, Vladimir Padrino Lopez menuturkan, pengiriman tentara Rusia ke Venezuela adalah bagian dari kerjasama pertahanan antara kedua negara. Dia mengatakan, Kerja sama militer dan teknis antara Moskow dan Caracas diarahkan untuk meningkatkan kesiapan operasional tentara Venezuela.

Dia lalu menyebut, ketika AS mengeluhkan keputusan Rusia mengirimkan tentara ke Venezuela, disaat yang bersamaan Washington memperkuat posisi militer mereka di sekitar Venezuela.



"Bukan rahasia lagi bagi siapa pun bahwa negara kita telah mempertahankan kolaborasi militer dan teknis dengan Rusia sejak 2001, tetapi ketika mereka (perwakilan Rusia) berkunjung ke Venezuela, sebuah skandal terjadi. Tidak ada yang perlu khawatir tentang kerja sama bilateral kita,” kata Lopez.

“Tidak ada tanda-tanda skandal ketika pesawat militer AS mendarat di Cucuta (Kolombia) atau ketika pengawasan elektronik Angkatan Udara AS di sekitar wilayah kami meningkat 800 persen. Tidak ada yang berbicara ketika ada upaya untuk melemahkan kedaulatan Venezuela," ungkapnya, seperti dilansir Sputnik pada Minggu 


Pernyataan ini sendiri datang setelah Perwakilan Khusus AS, untuk Venezuela Elliott Abrams menyatakan Rusia akan membayar mahal keputusan mereka untuk mengirimkan tentara ke Venezuela.



Credit  sindonews.com



AS: Rusia akan Bayar Mahal Keputusan Kirim Tentara ke Venezuela




AS: Rusia akan Bayar Mahal Keputusan Kirim Tentara ke Venezuela
Perwakilan Khusus AS untuk Venezuela, Elliott Abrams menyatakan, Rusia akan membayar mahal keputusan mereka untuk mengirimkan tentara ke Venezuela. Foto/Reuters


WASHINGTON - Perwakilan Khusus Amerika Serikat (AS) untuk Venezuela, Elliott Abrams menyatakan, Rusia akan membayar mahal keputusan mereka untuk mengirimkan tentara ke Venezuela.

Seperti diketahui, akhir pekan lalu sebuah pesawat kargo Angkatan Udara Rusia Antonov-124 dan pesawat penumpang Ilyushin Il-62 yang membawa sekitar 100 tentara Rusia mendarat di bandara utama Venezuela di luarCaracas.

Abrams, dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo dalam waktu dekat akan mengumumkan respon atas keputusan Rusia mengirimkan tentara ke negara Amerika Latin itu.

“Kami memiliki pilihan yang sangat bagus tentang berbagai hal yang dapat dilakukan dalam hubungan AS-Rusia. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam hal ekonomi, dalam hal sanksi. Ada banyak hal yang ada dalam daftar. Jadi, Rusia akan membayar harga untuk ini," ucap Abrams, seperti dilansir Sputnik pada Minggu (31/3).

Sementara itu, sebelumnya Penasihat keamanan nasional AS, John Bolton memperingatkan Rusia bahwa setiap langkah untuk membangun atau memperluas operasi di Venezuela akan dianggap sebagai ancaman langsung bagi perdamaian internasional.

"Kami sangat memperingatkan para aktor di luar Belahan Barat agar tidak mengerahkan aset militer ke Venezuela, atau di tempat lain di belahan bumi lainnya, dengan maksud membangun atau memperluas operasi militer. Kami akan mempertimbangkan tindakan provokatif seperti itu sebagai ancaman langsung terhadap perdamaian dan keamanan internasional di kawasan itu," kata Bolton. 




Credit  sindonews.com





Jumat, 29 Maret 2019

Kremlin Minta AS Hormati Rusia



Kremlin Minta AS Hormati Rusia
Juru bicara Presiden Rusia, Dmitry Peskov. Foto/Istimewa


MOSKOW - Juru bicara Presiden Rusia, Dmitry Peskov mengatakan, negara lain tidak perlu khawatir dengan hubungan Rusia-Venezuela. Ia pun menyoroti perlunya menghormati hak atas kerja sama.

"Kami tidak berpikir bahwa pihak ketiga harus khawatir tentang hubungan bilateral kami dengan negara lain. Kami tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri Venezuela dan mengharapkan negara ketiga untuk melakukan hal yang sama, membiarkan rakyat Venezuela menentukan masa depan mereka sendiri," katanya.

"Adapun Amerika Serikat, itu ada di banyak bagian dunia tetapi tidak ada yang memberi tahu Washington di mana seharusnya dan di mana tidak seharusnya. Inilah sebabnya kami berharap bahwa hak kami untuk membangun hubungan dengan negara lain berdasarkan minat kami dan kepentingan negara-negara itu akan dihormati," juru bicara Kremlin itu menekankan seperti dikutip dari TASS, Jumat (29/3/2019).

Dia menunjukkan bahwa Rusia mempertahankan kerja sama yang agak besar dan saling menguntungkan dengan Venezuela. Peskov juga mencatat bahwa ada beberapa kewajiban di bawah kontrak sebelumnya yang harus dipenuhi Rusia, yang menyangkut pasokan peralatan khusus.

"Dan mengenai spesialis yang tiba di Venezuela beberapa hari yang lalu, Rusia bekerja untuk memenuhi kontrak-kontrak ini dan kewajibannya," jelas Peskov, seraya menambahkan bahwa kontrak tersebut adalah kontrak militer dan peralatan militer yang terkait.

Menurut surat kabar El Comercio, sebuah pesawat Antonov An-124 dan Ilyushin Il-62 yang membawa pasukan Rusia dan 35 ton peralatan tiba di Ibu Kota Venezuela, Caracas, pada 23 Maret lalu.

Pada 27 Maret, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan pada pertemuan dengan Fabiana Rosales, istri pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido, bahwa Rusia harus keluar dari Venezuela. Dia menambahkan bahwa semua opsi terbuka jika Rusia gagal melakukan itu. 

Wakil Presiden AS Michael Pence, pada gilirannya, meminta Moskow untuk menghentikan semua dukungan dari rezim Maduro dan berdiri dengan Juan Guaido, berdiri dengan negara-negara di belahan bumi ini dan di seluruh dunia sampai kebebasan dipulihkan. Sementara Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo mengatakan kepada Kongres bahwa Washington tidak hanya berupaya mengusir Presiden Venezuela Nicolas Maduro dari politik tetapi juga ingin mengakhiri pengaruh Rusia dan Kuba di Venezuela.




Credit  sindonews.com




Rusia Sebut Pasukannya di Venezuela sebagai Spesialis



Presiden Venezuela, Nicolas Maduro (Kiri) dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Reuters.
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro (Kiri) dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Reuters.

CB, Moskow – Pemerintah Rusia mengatakan telah mengirim spesialis ke Venezuela dalam payung kerja sama militer.

Para spesialis ini bukan ancaman bagi stablitas regional. Ini merupakan tanggapan atas seruan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bahwa Rusia harus menarik semua pasukan dari negara sosialis itu.
“Kehadiran anggota militer Rusia di Venezuela terkait dengan diskusi dan kerja sama teknis militer,” kata Jose Rafael Torrealba Perez, yang merupakan atase militer Venezuela, pada Kamis, 28 Maret 2019 seperti dilansir Reuters.
Media Interfax melansir anggota militer Rusia tidak akan terlibat dalam operasi militer di Venezuela.Ada sekitar 100 tentara yang tiba di Caracas pada Sabtu pekan lalu. Mereka dilengkapi dengan 35 ton peralatan.

Secara terpisah, juru bicara Kemenlu Rusia, Maria Zakharova, mengatakan pasukan yang datang adalah spesialis.
“Rusia tidak mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah. Rusia tidak mengancam siapapun, tidak seperti para pejabat di Washington,” kata dia dalam jumpa pers rutin pekanan.
Sedangkan juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan para spesialis itu terkait dengan kontrak yang ada antara kedua negara terkait suplai senjata Rusia.

Menurut dia, Rusia tidak sedang mengintervensi urusan internal Venezuela. Dia berharap negara lain juga membiarkan Venezuela memutuskan nasibnya sendiri.


Dua pesawat angkatan udara Rusia mendarat di Bandara Simon Bolivar International di Caracas, Venezuela.
Secara terpisah, Menteri Pertahanan interim AS, Patrick Shanahan, menampik penjelasan pemerintah Rusia ini. “Saya tidak yakin saya selalu mempercayai apa yang mereka katakan,” kata dia.
Seperti dilansir CNN, AS, Uni Eropa, dan mayoritas negara di Amerika Latin mendukung tokoh oposisi Juan Guaido sebagai Presiden interim.
Sebaliknya, Rusia, Cina, Turki, dan Kuba, mendukung Nicolas Maduro, yang saat ini menjabat sebagai Presiden. 




Credit  tempo.co