Tampilkan postingan dengan label TAIWAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TAIWAN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Januari 2019

5 Poin Klarifikasi Isu Kerja Paksa Mahasiswa Indonesia di Taiwan


Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Taiwan.[kdei-taipei.org]
Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Taiwan.[kdei-taipei.org]

CBTaiwan – Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan dan manajemen kampus dari Universitas Teknologi Hsin Wu, Taiwan, memberikan klarifikasi soal adanya isu “kerja paksa”, yang dialami mahasiswa Indonesia di negara ini.

Munculnya isu ini justru membuat pengurus PPI Taiwan meminta pemerintah Indonesia untuk menyediakan pejabat setingkat atase untuk mengelola, memantau, dan mengevaluasi program-program kerja sama antara kedua negara.


Berikut klarifikasi PPI dan manajemen kampus soal isu ini: 

1. PPI menilai penggunaan kata “kerja paksa” dinilai kurang tepat meskipun diakui adanya sejumlah mahasiswa yang mengalami kelebihan kerja saat melakukan proses magang dari ketentuan maksimal 20 jam per pekan. “Namun demikian, seluruh jam kerja yang dilakukan tetap diberikan gaji,” begitu dilansir pengurus PPI Taiwan dalam laman situs ppitaiwan.org.

 
2. PPI Taiwan menilai masalah ini muncul karena sejumlah pihak melakukan perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang secara masif. Sementara kedua belah pihak belum menyepakati detil pengelolaannya melalui suatu technical arrangement. “Teman-teman mahasiswa memang harus bekerja (magang) untuk memenuhi biaya sekolah dan hidupnya karena tidak ada beasiswa. Asda beberapa universitas yang hanya memberikan beasiswa 6 bulan sampai 1 tahun saja,” begitu pernyataan PPI Taiwan dalam situsnya.

 
3. Manajemen Universitas Teknologi Hsin Wu, Taiwan, mengatakan kebijakan pemerintah mengenai New Southbound Policy mewajibkan perusahaan di Taiwan melatih keterampilan mahasiswa tanpa biaya. Orientasi pelaksanaan Industry - Academia Collaboration untuk kelas internasional adalah kampus merekrut mahasiswa asing yang ingin kuliah namun memiliki kendala ekonomi. Maka, kampus memberikan pengurangan biaya kuliah dan perusahaan menyediakan kesempatan magang bagi mahasiswa sesuai kondisi ekonomi masing-masing mahasiswa.

 
4. Manajemen Universitas Teknologi Hsin Wu mengatakan mahasiswa mulai mengikuti magang pada tahun kedua dan tidak pernah dieksploitasi. Semua tercatat dalam absensi kehadiran dan dikuatkan dengan slip gaji yang diterima mahasiswa selama bekerja. Manajemen menyayangkan merebaknya isu “kerja paksa” ini karena merusak reputasi perusahaan. Manajemen kampus juga mengingatkan mahasiswa bekerja magang dalam kelompok tidak lebih dari 20 jam per pekan. Ini sesuai prosedur dalam pengajuan ijin kerja, asuransi kesehatan dan tenaga kerja, serta kampus mengatur transportasi antar-jemput para mahasiswa.

5. Manajemen kampus Hsin Wu di Taiwan juga mengingatkan mahasiswa bekerja magang dalam kelompok tidak lebih dari 20 jam per pekan. Ini sesuai prosedur dalam pengajuan ijin kerja, asuransi kesehatan dan tenaga kerja, serta kampus mengatur transportasi antar-jemput para mahasiswa.






Credit  tempo.co

https://dunia.tempo.co/read/1161450/5-poin-klarifikasi-isu-kerja-paksa-mahasiswa-indonesia-di-taiwan/full&view=ok


Dugaan Mahasiswa Alami Kerja Paksa, Ini Klarifikasi PPI Taiwan



Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Taiwan.[kdei-taipei.org]
Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Taiwan.[kdei-taipei.org]

CB, Jakarta - Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Taiwan atau PPI menyangkal pemberitaan adanya dugaan kerja paksa yang dialami oleh mahasiswa asal Indonesia di Taiwan. Namun saat yang sama, PPI meminta adanya adanya staff pendidikan yang setara dengan Atase untuk membantu pemerintah Indonesia mengelola, memantau, dan mengevaluasi program-program kerjasama yang ditawarkan antara Indonesia dan Taiwan.
Dikutip dari ppitaiwan.org, Kamis, 3 Januari 2019, program kuliah sambil kerja (magang) adalah salah satu program legal di bawah kebijakan New Southbound Policy atau NSP dengan nama Industrial Academia Collaboration. Total ada 69 universitas yang terlibat dalam program ini, dimana sekitar 6 sampai 10 universitas fokus dengan pelajar dari Indonesia.

PPI Taiwan dalam keterangannya mengakui kasus kuliah dan magang ini memang sudah menjadi perhatian PPI sejak lama. PPI Taiwan bersama rekan-rekan mahasiswa Indonesia lainnya telah mengidentifikasi berbagai masalah di program ini dan telah melaporkannya. PPI pun terus berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia di Taiwan yaitu Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei (KDEI Taipei) untuk mencari penyelesaian masalah ini.
PPI Taiwan tidak merinci detail berbagai permasalahan yang dimaksud. PPI Taiwan hanya menjelaskan mahasiswa yang mengikuti program magang sambil kuliah status hukumnya legal atau resmi.
“Teman-teman mahasiswa memang harus bekerja (magang) untuk memenuhi biaya sekolah dan hidupnya karena tidak ada beasiswa. Ada beberapa universitas yang hanya memberikan beasiswa 6 bulan sampa 1 tahun saja,” tulis PPI Taiwan dalam keterangannya.

Setelah PPI Taiwan mengkonfirmasi ke beberapa mahasiswa Indonesia di Taiwan, diakui ada kelebihan jam kerja dari yang telah ditentukan, dimana untuk mahasiwa aturannya adalah 20 jam per minggu. Kendati demikian, seluruh jam kerja yang dilakukan tetap diberikan gaji dan kata “kerja paksa” dirasa kurang tepat untuk hal ini.PPI Taiwan menyoroti perlunya perhatian segera dari pemerintah Indonesia untuk turun langsung ke Taiwan, sehingga bisa langsung memonitor langsung implementasi program kuliah magang termasuk di dalamnya sejauh mana peran dan juga keterlibatan agen dengan permasalahannya. Sebab jumlah mahasiswa yang semakin bertambah, terdapat dinamika permasalahan yang dihadapi sehingga keberadaan atase bidang pendidikan diharapkan bisa membantu.
PPI Taiwan dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei sejak beberapa tahun lalu sedang melakukan pendalaman terhadap informasi yang berkembang mengenai program kuliah magang ini. Namun demikian, untuk mencegah dampak negatif lebih jauh, pemerintah Indonesia melalui KDEI Taipei sedang mengkoordinasikan dengan otoritas terkait di Taiwan guna menyepakati solusi bersama.
Permasalahan ini muncul karena sejumlah pihak melakukan perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang secara masif, sementara kedua belah pihak belum menyepakati detail pengelolaannya melalui suatu technical arrangement.
Sekarang ini diperkirakan ada sekitar 6 ribu mahasiswa Indonesia yang kuliah di Taiwan, dimana sekitar seribu orang kuliah dalam skema magang.





Credit  tempo.co

https://dunia.tempo.co/read/1161356/dugaan-mahasiswa-alami-kerja-paksa-ini-klarifikasi-ppi-taiwan/full&view=ok



Taiwan Tembakkan Rudal Supersonik saat Diancam China


Taiwan Tembakkan Rudal Supersonik saat Diancam China
Rudal anti-kapal Hsiung Feng-3 saat ditembakkan militer Taiwan dari korvet siluman Tuo Chiang. Foto/Facebook Taiwan Navy
 

TAIPEI - Angkatan Laut Taiwan menembakkan sejumlah rudal hipersonik dalam sebuah latihan militer. Rekaman manuver senjata tangguh itu dirilis beberapa jam sebelum Beijing mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk memaksa reunifikasi Taiwan dengan China.

Ancaman Beijing itu disampaikan Presiden China Xi Jinping dalam pidatonya hari Rabu lalu.

Dalam sebuah video yang di-posting di akun Facebook Angkatan Laut Taiwan, sebuah rudal anti-kapal Hsiung Feng-3 terlihat diluncurkan dari sebuah korvet siluman Tuo Chiang yang tampak futuristik. Senjata ini berpotensi menghancurkan kapal-kapal perang China jika konflik benar-benar pecah.

Hsiung Feng-3 yang berbasis pada ramjet roket terintegrasi memungkinkannya menghantam target di mana saja dengan jangkauan antara 30 km hingga 400 km. Senjata itu adalah iterasi terbaru dalam keluarga rudal yang pertama kali dikembangkan oleh Taiwan pada tahun 1970-an.

Mengutip laporan Asia Times, rudal Hsiung Feng-3 dapat menembus pertahanan kapal musuh saat melaju dengan kecepatan supersonik hingga Mach 3.0. Senjata itu juga dilengkapi hulu ledak penindas baja yang menghasilkan kekuatan destruktif luar biasa yang dapat menghapus sistem pertahanan kapal milik target atau musuh.

Sementara itu, perisai rudal Taiwan juga ditopang oleh Hsiung Feng-2E, rudal jelajah taktis surface-to-surface (permukaan-ke-permukaan) yang dimodelkan pada seri Tomahawk Amerika Serikat (AS) dengan jangkauan 600 km dan mampu menghantam sasaran di provinsi Fujian di China.

Militer negara itu juga dalam pengembangan varian baru dari AIM-9 Sidewinder, yang merupakan seri rudal air-to-air (udara-ke-udara) yang dipandu oleh inframerah-homing yang dipasok dari Amerika Serikat.

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan bahwa wilayahnya tidak akan menerima aturan politik "satu negara, dua sistem" dengan China. Tsai juga mendesak China untuk memahami pemikiran dan kebutuhan rakyat Taiwan.Dalam pidato tahun baru awal pekan ini, Tsai mengatakan China harus menggunakan cara damai untuk menyelesaikan perbedaannya dengan Taiwan dan menghormati nilai-nilai demokrasi.

Sedangkan Presiden China Xi Jinping dalam pidatonya hari Rabu mengatakan bahwa tidak ada yang dapat mengubah fakta bahwa Taiwan adalah bagian dari China. Menurutnya, reunifikasi harus dilakukan, termasuk menggunakan kekuatan militer.

"Sebagian besar rakyat Taiwan jelas menyadari bahwa kemerdekaan Taiwan akan mengarah pada 'bencana besar'. China tidak akan menyerang orang-orang China. Kami bersedia menggunakan ketulusan dan kerja keras untuk berjuang demi prospek penyatuan kembali secara damai," kata Xi Jinping.

"Kami tidak berjanji untuk meninggalkan penggunaan kekuatan dan mencadangkan pilihan untuk menggunakan semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini dan mencegah kemerdekaan Taiwan," ujarnya.

Graham Ong-Webb dari S. Rajaratnam School of International Studies mengatakan kepada Euronews yang dilansir Jumat (4/1/2019) bahwa konflik bersenjata antara China dan Taiwan terlihat semakin tidak mungkin. Menurutnya, Taiwan yang didukung AS secara militer telah kalah dari China.


"China secara ekonomi lebih kuat dari sebelumnya, keseimbangan militer antara China dan Taiwan telah condong ke China," ujarnya.

“Saat ini, Taiwan mulai berdamai dengan (situasi) militer yang semakin memburuk. Dengan bantuan keuangan dan peralatan Amerika, saya pikir orang Taiwan harus mampu memperkuat pertahanannya," katanya.

“Kita berakhir dalam situasi hari ini di mana Taiwan secara militer lebih lemah, orang akan berpendapat demikian, tetapi pada saat yang sama kita memiliki demografi sosial di Taiwan yang telah banyak berubah," paparnya.

"Pemuda Taiwan saat ini merasa sangat kuat tentang identitas diri dan kemandirian," imbuh dia. 






Credit  sindonews.com

https://international.sindonews.com/read/1367778/40/taiwan-tembakkan-rudal-supersonik-saat-diancam-china-1546562718

Kamis, 03 Januari 2019

Presiden Taiwan Tsai Tolak Ide Xi Jinping Satu Negara Dua Sistem


Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen.[Lowy Institute]
Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen.[Lowy Institute]

CB, Jakarta - Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menolak tawaran presiden Cina Xi Jinping mengenai prinsip satu negara dengan dua sistem. Tsai malah mendesak Cina untuk memahami pemikiran dan kebutuhan rakyat Taiwan.
"Mayoritas di Taiwan tegas menolak satu negara, dua sistem. Ini konsensus Taiwan," kata Tsai menanggapi pernyataan Presiden Cina Xi Jinping, seperti dikutip dari Reuters, 3 Januari 2018.

Tsai juga menekankan agar seluruh negosiasi yang diperlukan dibahas layaknya pemerintah dengan pemerintah. 
Menurut Tsai, Cina harus menggunakan cara-cara damai untuk menyelesaikan berbagai perbedaan dengan Taiwan. Cina, ujarnya, harus menghormati nilai-nilai demokrasi.

"Kami menyerukan kepada Cina untuk berani melangkah maju demi demokrasi, hanya dengan melakukan hal itu Cina memahami dengan benar pemikiran rakyat Taiwan," kata Tsai.Beijing secara berkala mengirim pesawat tempur dan kapal perangnya mengitari perairan Taiwan dalam latihan perang dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan cara ini, Xi Jinping berusaha menekan Taiwan termasuk masyarakat internasional untuk tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka.






Credit  tempo.co







Presiden Xi Tolak Taiwan Merdeka, Tawarkan Reunifikasi


Masyarakat Taiwan pada Sabtu, 24 November 2018 memberikan hak suara mereka dalam sebuah pemilu lokal. Sumber: Reuters/asiaone
Masyarakat Taiwan pada Sabtu, 24 November 2018 memberikan hak suara mereka dalam sebuah pemilu lokal. Sumber: Reuters/asiaone

CB, Jakarta - Presiden Xi Jinping mengatakan, Cina berhak menggunakan kekuataan bersenjata agar Taiwan berada di bawah kekuasaan Cina dan berupaya melakukan reunifikasi secara damai dengan pulau yang menjalankan pemerintahan sendiri.
Xi mengeluarkan pernyataan itu di Great Hall of the People di Beijing pada hari Rabu, 2 Januari 2018 untuk memperingati 40 tahun Pesan Rekan Seperjuangan di Taiwan yang digulirkan pertama kali tanggal 1 Januari 1979, yang berisikan pernyataan kebijakan tentang Taiwan.

Taiwan merupakan isu paling sensitif bagi Cina dan merupakan wilayah sakral bagi Beijing.Sejak Taiwan di bawah kepemimpinan presiden Tsai Ing-wen dari partai pendukung kemerdekaan Taiwan, partai Progresif Demokrasi, Xi semakin kuat memberikan tekanan.
Menurut Xi, reunifikasi Taiwan-Cina berdasarkan prinsip Taiwan sebagai bagian dari Cina dalam artian satu negara dengan dua sistem. Dalam hal ini yang terbaik bagi Taiwan adalah model pemerintahan otonomi seperti Hong Kong.

Dengan prinsip ini, perjuangan lama Taiwan menjadi negara merdeka penuh menjadi bencana besar."Rakyat Cina tidak menyerang rakyat Cina lainnya. Kami bersedia memberikan ketulusan terbesar kami dan melakukan pekerjaan keras terbesar untuk berjuang bagi prospek perdamaian reunifikasi," kata Xi.
"Kami tidak menjanjikan penggunaan kekuatan tapi menjamin opsi untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk meraih tujuan ini dan mencegah kemerdekaan Taiwan," kata Xi menegaskan.


Xi menambahkan, setelah terjadi reunifikasi damai, Taiwan akan hidup damai dan warga Taiwan akan gembira dan hidup sejahtera. Dia juga menjanjikan kesejahteraan Taiwan semakin baik dan pembangunan akan semakin besar.
Di masa Taiwan dipimpin presiden Chiang Ching-kuo, tawaran Cina dijawab pada April 1979 dengan mengeluarkan kebijakan 3 Tidak, yakni tidak ada hubungan, tidak ada kompromis dan tidak ada negosiasi dengan Cina.






Credit  tempo.co




Indonesia Hentikan Program Kuliah-Magang di Taiwan


Selat Taiwan
Selat Taiwan
Foto: CNN
Program akan dihentikan sampai disepakati tata kelola yang baik.


CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberhentikan sementara perekrutan dan pengiriman mahasiswa Indonesia melalui program kuliah-magang New Southbound Policy ke Taiwan. Pemberhentian sementara itu sebagai imbas dari mencuatnya kasus dugaan eksploitasi mahasiswa Indonesia di Taiwan.

“Ya, perekrutan dan pengiriman mahasiswa itu dihentikan sementara,” kata Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Ismunandar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (3/1).

Dia mengatakan, perekrutan kuliah-magang New Southbound Policy itu akan kembali dilanjutkan hingga disepakati tata kelola yang lebih baik. Sehingga kasus serupa tidak akan terjadi kembali.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyatakan saat ini ada sekitar 1.000 mahasiswa yang ikut dalam skema kuliah-magang di delapan universitas yang masuk ke Taiwan pada periode 2017-2018. Dan 300 mahasiswa di antaranya diduga telah dieksploitasi dan kerja paksa  di pabrik setempat.

“Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei telah meminta otoritas setempat untuk mengambil langkah, sesuai aturan setempat, yang diperlukan guna melindungi kepentingan serta keselamatan mahasiswa peserta skema kuliah-magang,” kata Direktur Perlindungan WNI Kemenlu, Lalu Muhammad Iqbal.



Diketahui, masalah ini bermula dari tawaran skema perekrutan mahasiswa melalui program New Soutbound Policy, yaitu kebijakan pemerintah Taiwan untuk kerja sama dan pertukaran pelajar dengan negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mahasiswa tersebut diduga dijebak oleh oknum pelaksana dengan iming-iming akan mendapatkan beasiswa kuliah di Taiwan.
Dari laporan yang diterima oleh Kemenristekdikti, para mahasiswa yang diduga dijebak tersebut mayoritas perempuan. Mereka diduga mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dipaksa bekerja selama 10 jam dalam satu hari dengan bayaran yang murah.

Beberapa perguruan tinggi yang bekerja sama dengan penyalur tenaga kerja diduga mengirimkan mahasiswanya untuk menjadi tenaga kerja murah dipabrik-pabrik tersebut.


Salah satu perguruan tinggi misalnya mempekerjakan mahasiswa asal Indonesia di sebuah pabrik contact lens. Di sana mahasiswanya dipaksa berdiri selama 10 jam untuk mengemas 30 ribu contact lens setiap harinya. Sementara perkuliahan dijalani mahasiswa tersebut selama 2 hari dalam satu pekan, sisanya mereka harus bekerja di pabrik.



Credit  republika.co.id






Dugaan Eksploitasi, RI Minta Taiwan Setop Skema Kuliah-Magang


Dugaan Eksploitasi, RI Minta Taiwan Setop Skema Kuliah-Magang
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Lalu Muhamad Iqbal, mengatakan bahwa pihaknya meminta meminta Taiwan menghentikan sementara perekrutan mahasiswa asing dalam skema kuliah-magang menyusul kabar 300 mahasiswa RI jadi korban kerja paksa di Taipei. (CNNIndonesia/Natalia Santi)



Jakarta, CB -- Pemerintah Indonesia meminta Taiwan menghentikan sementara perekrutan mahasiswa asing dalam skema kuliah-magang menyusul kabar bahwa 300 mahasiswa RI menjadi korban kerja paksa di Taipei.

Kementerian Luar Negeri RI menyatakan pihaknya melalui Kementerian Perdagangan telah meminta Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei untuk mendalami lebih lanjut mengenai kabar itu.

"Kemlu juga meminta KDEI berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk menghentikan sementara perekrutan serta pengiriman mahasiswa skema kuliah-magang hingga disepakatinya tata kelola yang lebih baik," ucap Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal, Selasa (2/1).


Kemlu RI memperkirakan jumlah mahasiswa Indonesia di Taiwan akan terus meningkat seiring dengan kebijakan New Southbond Policy (NSP) otoritas Taiwan.


Program itu memberikan lebih banyak beasiswa melalui berbagai skema kepada mahasiswa dari 18 negara Asia, termasuk Indonesia.

Berdasarkan data Kemlu RI, sedikitnya 6.000 mahasiswa RI saat ini tengah menempuh studi di Taiwan. Seribu diantaranya terdaftar dalam program kuliah-magang di delapan universitas pada periode 2017-2018.


Iqbal mengatakan dari hasil pendalaman awal, KDEI menemukan kondisi yang dihadapi para mahasiswa RI peserta skema kuliah-magang di Taiwan berbeda-beda di delapan perguruan tinggi.

"Karena itu KDEI Taipei akan melakukan pendalaman lebih lanjut guna mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh," tutur Iqbal.

Ratusan mahasiswa itu disebut terdaftar kuliah di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei. Mereka disebut masuk perguruan tinggi itu melalui pihak ketiga atau perantara.

Menurut laporan China Times seperti dikutip surat kabar Taiwan News, Rabu (2/1), mereka menempuh kelas internasional khusus di bawah Departemen Manajemen Informasi sejak pertengahan Oktober 2018.


Dalam sepekan, para mahasiswa itu dikabarkan hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu, mereka bekerja empat hari di pabrik selama 10 jam, dan hanya mendapat jatah satu hari libur.

Iqbal memaparkan Kemlu telah memperoleh laporan dari KDEI Taipei perihal pengaduan sejumlah mahasiswa RI terkait skema kuliah-magang yang telah berlangsung sejak 2017 lalu itu.

Dalam keterangan terpisah, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti, Ismunandar, menduga ratusan pelajar itu difasilitasi oleh sebuah lembaga asal Indonesia yang bekerja sama dengan pihak di Taiwan.

"Ada pihak yang merekrut di Indonesia yang bekerja sama dengan pihak Taiwan. Media Taiwan menggunakan istilah 'dijebak,'" kata Ismunandar kepada CNNIndonesia.com.

Meski begitu, dia menuturkan pihaknya belum berkoordinasi dengan Polri guna mengusut terduga perantara di Indonesia yang merekrut ratusan mahasiswa itu.



Credit  cnnindonesia.com






RI Usut Dugaan 300 Pelajar Jadi Korban Kerja Paksa di Taiwan


RI Usut Dugaan 300 Pelajar Jadi Korban Kerja Paksa di Taiwan
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Ervina Anggraini)



Jakarta, CB -- Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengusut kebenaran kabar yang menyebutkan bahwa sedikitnya 300 mahasiswa Indonesia menjadi korban kerja paksa di Taiwan.

Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti, Ismunandar, mengatakan pihaknya telah meminta Kamar Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei sebagai perwakilan pemerintah di sana untuk mengecek kabar tersebut.

"Semua masih diteliti dan dicek lebih lanjut oleh perwakilan di Taipei. Kita tunggu dulu 1-2 hari ini ya," ucap Ismunandar saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Rabu (2/1).


Ismunandar menuturkan pihaknya baru mendapat informasi awal terkait kasus ini. Ia mengatakan jumlah mahasiswa tersebut didapatnya dari media-media Taiwan.


Ratusan mahasiswa itu disebut terdaftar kuliah di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei. Mereka disebut masuk perguruan tinggi itu melalui pihak ketiga atau perantara.

Menurut laporan China Times seperti dikutip surat kabar Taiwan News, Rabu (2/1), mereka menempuh kelas internasional khusus di bawah Departemen Manajemen Informasi sejak pertengahan Oktober 2018.

Dalam sepekan, para mahasiswa itu dikabarkan hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu, mereka bekerja empat hari di pabrik selama 10 jam, dan hanya mendapat jatah satu hari libur.


Ratusan mahasiswa Indonesia itu dilaporkan dipekerjakan di sebuah pabrik lensa kontak di Hsinchu dengan jam kerja dari pukul 07.30 sampai 19.30 waktu setempat.

Mereka harus berdiri selama 10 jam dan membungkus setidaknya 30 ribu bungkus lensa kontak, dengan waktu istirahat hanya dua jam.

Selain itu, para pelajar yang rata-rata Muslim itu dilaporkan hanya diberi makanan tidak halal, bahkan mengandung daging babi.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Luar Negeri RI  masih juga belum menjawab permintaan konfirmasi dari CNNIndonesia.com terkait laporan tersebut.




Credit  cnnindonesia.com



https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190102143502-106-357960/ri-usut-dugaan-300-pelajar-jadi-korban-kerja-paksa-di-taiwan



Pakar: Jika Menginvasi Taiwan, China akan Perang dengan AS

Kapal induk bertenaga nuklir Amerika Serikat, USS Ronald Reagan, saat berlayar di Laut Filipina. Foto/REUTERS
SYDNEY - Pakar militer Amerika Serikat (AS) tentang China, Oriana Skylar Mastro dari Georgetown University, mengatakan situasi berbahaya di dunia saat ini soal krisis Taiwan dan sengketa Laut China Selatan. Keduanya bisa memicu perang antara Beijing dan Washington.
Ketika pertanyaan muncul apakah Beijing dan Washington akan perang jika China menginvasi Taiwan atau konflik militer pecah di Laut China Selatan, Mastro memberi jawab tegas; "Ya".
Mastro adalah analis senior tentang China untuk Pentagon. Namun, dia mengatakan bahwa pandangannya tidak boleh ditafsirkan sebagai pernyataan resmi dari Departemen Pertahanan AS. 
Dia berbicara sebagai bagian dari panel Lowy Institute di Sydney pada hari Rabu lalu tentang tantangan China terhadap dominasi militer Amerika Serikat di Asia.
Mastro mengatakan telah terjadi pergeseran pada kebijakan AS yang lebih agresif terhadap China dan sekarang ada konsensus luas bahwa China telah menunjukkan diri sebagai ancaman terhadap keamanan AS serta sekutu dan mitranya.
"China ingin mendominasi Indo-Pasifik dan mereka ingin militer AS keluar," katanya.
“Dulu semua orang mempertanyakan apakah AS memiliki tekad untuk melawan perang ini, sekarang para sarjana, pejabat pemerintah, semua berbicara tentang kemampuan," ujarnya.
“Kami semua mengatakan, 'tentu saja kami akan berperang, tetapi bisakah kami menang?'," ujarnya, seperti dikutip dari news.com.au Sabtu (1/12/2018).
Menurutnya, jika perang pecah di masa depan itu mengenai seberapa besar tekad China menantang dominasi regional AS.
Mastro yakin AS sekarang berusaha mengirim pesan ke China bahwa Wasington akan tinggal di kawasan itu dan bersedia mengambil risiko yang terkait dengan hal tersebut, termasuk potensi konflik bersenjata antara kedua belah pihak.
"Saya pikir kemungkinan konflik terbatas antara China dan AS meningkat," katanya.
Profesor Benjamin Schreer dari Macquarie University mengatakan jika masalah apakah AS memiliki tekad untuk menangani China telah diatasi, maka taruhannya dinaikkan secara signifikan.

"Jika China menganggap AS tidak berjuang untuk Taiwan, tidak bertempur di Laut China Selatan, tidak bertarung bahkan untuk Jepang, dan itu salah, maka kita akan memiliki perang itu," katanya.
Schreer mengatakan kemungkinan konflik yang meletus ke dalam perang dapat didorong karena para pemimpin China khawatir "jendela kesempatan" untuk bertindak dan mencapai ambisi strategisnya dapat ditutup.
China mungkin hanya memiliki 10 hingga 15 tahun untuk bertindak lebih tegas di kawasan itu karena AS dan sekutunya mulai sadar akan ambisinya. Negara itu juga menghadapi masalah domestik dan ekonomi yang meningkat.
Dia mengatakan krisis internasional kecil dapat terjadi dari waktu ke waktu dan sudah ada beberapa yang terjadi di semenanjung Korea, Laut China Selatan, Laut China Timur dan Taiwan.


"Dinamika ini bisa terus berkembang selama beberapa dekade," katanya. Yang lebih memprihatinkan, kata dia, adalah bahwa pertempuran kecil dapat benar-benar menguntungkan China.

"Ada beberapa skenario di mana China akan menang dan yang sebelumnya tidak terjadi," imbuh Mastro.

Ketika banyak orang berpikir tentang perang, mereka membayangkan konfrontasi ala Perang Dingin yang telah terjadi di masa lalu, tetapi Mastro yakin pertempuran kecil lebih mungkin terjadi.

Dia mengatakan tidak satu pun negara yang menginginkan perang besar sehingga jika Amerika Serikat dapat memastikan tujuannya, misalnya, tentang mempertahankan kemampuannya untuk beroperasi di Laut China Selatan dan bukan tentang menggulingkan Partai Komunis, mungkin ada "konflik terbatas".

Mastro melanjutkan bahwa China kemungkinan akan memainkan perang singkat mungkin 30 hingga 60 hari dan itu bisa menjadi masalah bagi AS.

Misalnya, jika China mampu menyerang pangkalan AS di Taiwan atau menghentikannya beroperasi untuk waktu yang singkat di Jepang, ini akan mencegah Amerika mempertahankan kontrol udara.

"China dapat meluncurkan invasi ke Taiwan, mengkonsolidasikan posisinya di Taiwan sebelum AS dapat mengirim pasukan tambahan," katanya kepada news.com.au setelah diskusi panel.

Dibutuhkan berbulan-bulan bagi pasukan AS untuk siap dikerahkan dan jika China dengan cepat menyatakan perdamaian di negara itu. Menurutnya, pertanyaannya adalah apakah AS akan bersedia memulai perang lagi jika perang tersebut telah berakhir?

"China ingin perang cepat, itu satu-satunya cara mereka bisa menang," katanya.







Credit Sindonews


https://international.sindonews.com/read/1359126/40/pakar-jika-menginvasi-taiwan-china-akan-perang-dengan-as-1543616259





Taiwan Tanggapi Santai Ancaman China

Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen menanggapi dengan santai ancaman yang disampaikan oleh Presiden China, Xi Jinping. Foto/Istimewa

TAIPEI - Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen menanggapi dengan santai ancaman yang disampaikan oleh Presiden China, Xi Jinping. Sebelumnya, pemimpin China itu mengatakan, Beijing memiliki hak untuk menggunakan kekuatan untuk membawa Taiwan kembali di bawah kendali mereka. 

Tsai mengatakan, Taipei tidak akan menerima pengaturan politik satu negara, dua sistem dengan China. Dia lalu mengatakan, jika China benar-benar ingin melakukan pembicaraan, Taiwan selalu siap.

"Semua perundingan lintas selat harus dilakukan berdasarkan pemerintah-ke-pemerintah," kata Tsai dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Rabu (2/1) dan mendesak Cina untuk memahami pemikiran dan kebutuhan rakyat Taiwan.

Sebelumnya diwartakan, berbicara di Aula Besar Rakyat Beijing pada peringatan 40 tahun pernyataan kebijakan utama Taiwan, Jinping mengatakan "penyatuan kembali" harus berada di bawah prinsip satu-China yang menerima Taiwan sebagai bagian dari China. Dia lalu mengutuk para pendukung kemerdekaan Taiwan.

"Sebagian besar rakyat Taiwan jelas menyadari bahwa kemerdekaan Taiwan akan mengarah pada "bencana besar". China tidak akan menyerang orang-orang China. Kami bersedia menggunakan ketulusan dan kerja keras untuk berjuang demi prospek penyatuan kembali secara damai," kata Jinping.


"Kami tidak berjanji untuk meninggalkan penggunaan kekuatan dan mencadangkan pilihan untuk menggunakan semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini dan mencegah kemerdekaan Taiwan," sambungnya

Taiwan adalah masalah paling sensitif di China dan diklaim oleh Beijing sebagai wilayah keramatnya. Jinping sendiri telah meningkatkan tekanan pada wilayah yang bangga akan demokrasinya itu sejak Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik yang pro-kemerdekaan menjadi presiden pada 2016.



Credit Sindonews.com


https://international.sindonews.com/read/1367387/40/taiwan-tanggapi-santai-ancaman-china-1546423968






Rabu, 02 Januari 2019

Xi Jinping Ancam Serang Taiwan Jika Ogah Bersatu dengan China

Presiden Xi Jinping mengancam akan menyerang Taiwan jika daerah pimpinan Tsai Ing Wen itu tetap tak ingin bersatu sepenuhnya dengan China. (Reuters/Jason Lee)

Jakarta, CB -- Presiden Xi Jinping mengancam akan menyerang Taiwan jika daerah pimpinan Tsai Ing Wen itu tetap tak ingin bersatu sepenuhnya dengan China.

Dalam pidatonya, Rabu (2/1), Xi berkata, "Kami tak pernah berjanji akan menghilangkan penggunaan pasukan dan akan tetap mempertimbangkan semua langkah yang mungkin" untuk melawan aktivis separatis Taiwan.

Ancaman itu dilontarkan saat Xi sedang berpidato dalam rangka peringatan 40 tahun pengiriman pesan ajakan reunifikasi kepada Taiwan pada 1979.

"China harus dan akan bersatu, yang sangat penting bagi pemulihan rakyat China di era yang baru," ucap Xi sebagaimana dikutip AFP.

Menurut Xi, unifikasi di bawah pendekatan "satu negara, dua sistem" akan menjamin "keamanan kepentingan dan kesejahteraan rekan sebangsa Taiwan."

Meski belum menyatakan kemerdekaan, Taiwan selalu menganggap diri sebagai negara berdaulat dengan sistem mata uang, politik, dan peradilan independen.

Relasi kedua belah pihak kian panas setelah Presiden Tsai Ing-wen naik takhta. Selama masa kampanye, ia dikenal sangat lantang menyuarakan penolakan terhadap prinsip "satu China."

Di bawah pemerintahannya, pada Oktober lalu, Taiwan menggelar referendum kemerdekaan dari China pada Oktober lalu.

Pada Selasa (1/1), Tsai pun mengingatkan Beijing bahwa rakyat Taiwan tak akan menyerah untuk mencapai kebebasan yang selama ini tak mereka rasakan di bawah China.

"[Beijing] harus menghormati keinginan 23 juta rakyat akan kemerdekaan dan demokrasi. [China] juga harus menggunakan cara damai dan sama untuk mengatasi perbedaan kami," ucapnya.

Meski demikian, kini mulai muncul penolakan dari dalam Taiwan sendiri. Sejumlah pebisnis menganggap pemisahan diri dari China membuat perekonomian stagnan, di mana jumlah gaji tak sesuai dengan peningkatan biaya hidup.

Berbagai kesulitan memang diperkirakan bakal menghantam Taiwan jika melawan China karena selama ini, Beijing saja sudah mengambil tindakan keras bagi negara mana pun yang menjalin hubungan dekat dengan daerah pimpinan Tsai itu.

Partai tempat Tsai bernaung, Partai Progresif Demokratik, pun mengalami kekalahan besar dalam pemilu sela, sementara oposisi yang dekat dengan China, Kuomintang, kembali populer. 


Credit CNN Indonesia


https://m.cnnindonesia.com/internasional/20190102123450-113-357905/xi-jinping-ancam-serang-taiwan-jika-ogah-bersatu-dengan-china





Selasa, 01 Januari 2019

Presiden Taiwan Minta Cina Hormati Nilai-Nilai Demokrasi

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (tengah) mengunjungi lokasi gempa di Hualien di selatan Taiwan, Rabu (7/2).

CB,  TAIPEI--Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan Cina harus menghargai nilai-nilai demokrasi untuk menyelesaikan kedua negara secara damai. Hal ini dia katakan sebelum Presiden Cina Xi Jinping menyampaikan pidato tentang Taiwan di Beijing. 

Cina memberikan tekanan kepada Tsai sejak ia mulai berkuasa pada 2016. Cina memotong dialog dan mendorong keluar sekutu Taiwan yang masih tersisa. Juga, Cina dituding memaksa maskapai penerbangan asing untuk mendaftarkan Taiwan sebagai bagian dari Cina di situs mereka. 

Cina takut Tsai akan terus meminta kemerdekaan resmi Taiwan. Meskipun Tsai mengatakan ia ingin mempertahankan status quo, Cina terus mengirim kapal dan pesawat tempur ke perairan Taiwan dengan alasan latihan. 

Taiwan sedang bersiap menggelar pemilihan presiden pada tahun ini. Partai Demokratik Progresif yang dipimpin Tsai kalah dari Partai Kuomintang yang lebih dekat dengan Cina dalam pemilihan pemimpin-pemimpin daerah pada November lalu. 

Dalam pidato tahun barunya, Tsai mengatakan kedua belah pihak membutuhkan pemahaman yang pragmatis atas perbedaan mereka yang paling mendasar. Keduanya harus saling memahami nilai dan sistem politik masing-masing. 

"Di sini, saya ingin meminta Cina untuk menghadapi secara jujur realita keberadaan Republik Cina di Taiwan. Cina harus menghargai kebebasan dan demokrasi 23 juta rakyat (Taiwan) dan harus menggunakan cara yang damai dalam menangani perbedaan di antara kami," kata Tsai. 

Intervensi politik dan pembangunan sosial Taiwan menjadi tantangan Taiwan saat ini. Cina membantah melakukan intervensi dalam urusan internal Taiwan.  

Cina hanya melihat Taiwan sebagai salah satu provinsi mereka. Cina akan menggunakan kekuatan militer jika diperlukan untuk membuat Taiwan mematuhi kebijakan mereka.  Sementara Taiwan sebagai wilayah demokratis tidak tertarik berada di bawah kekuasaan cina. 

Pada Rabu (2/1) Xi Jinping akan memberikan pidato dalam perayaan 40 tahun hubungan Cina-Taiwan dengan judul 'Pesan Untuk Rekan Senegara di Taiwan'. Pada 1 Januari 1979 Cina mendeklarasikan penghentian pengboman di pantai pulau-pulau Taiwan yang berada di dekat Cina. 

Saat itu Cina menawarkan komunikasi antara kedua belah pihak setelah berpuluh-puluh tahun bermusuhan. Pada Desember 1949, Pasukan Nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek melarikan diri ke Taiwan setelah kalah dari Partai Komunis dalam perang saudara Cina.


Credit REPUBLIKA.CO.ID



https://m.republika.co.id/berita/internasional/asia/19/01/01/pkn9w6440-presiden-taiwan-minta-cina-hormati-nilainilai-demokrasi



Senin, 03 Desember 2018

Pakar: Jika Menginvasi Taiwan, China akan Perang dengan AS



Pakar: Jika Menginvasi Taiwan, China akan Perang dengan AS
Kapal induk bertenaga nuklir Amerika Serikat, USS Ronald Reagan, saat berlayar di Laut Filipina. Foto/REUTERS

SYDNEY - Pakar militer Amerika Serikat (AS) tentang China, Oriana Skylar Mastro dari Georgetown University, mengatakan situasi berbahaya di dunia saat ini soal krisis Taiwan dan sengketa Laut China Selatan. Keduanya bisa memicu perang antara Beijing dan Washington.

Ketika pertanyaan muncul apakah Beijing dan Washington akan perang jika China menginvasi Taiwan atau konflik militer pecah di Laut China Selatan, Mastro memberi jawab tegas; "Ya".

Mastro adalah analis senior tentang China untuk Pentagon. Namun, dia mengatakan bahwa pandangannya tidak boleh ditafsirkan sebagai pernyataan resmi dari Departemen Pertahanan AS.

Dia berbicara sebagai bagian dari panel Lowy Institute di Sydney pada hari Rabu lalu tentang tantangan China terhadap dominasi militer Amerika Serikat di Asia.

Mastro mengatakan telah terjadi pergeseran pada kebijakan AS yang lebih agresif terhadap China dan sekarang ada konsensus luas bahwa China telah menunjukkan diri sebagai ancaman terhadap keamanan AS serta sekutu dan mitranya.

"China ingin mendominasi Indo-Pasifik dan mereka ingin militer AS keluar," katanya.

“Dulu semua orang mempertanyakan apakah AS memiliki tekad untuk melawan perang ini, sekarang para sarjana, pejabat pemerintah, semua berbicara tentang kemampuan," ujarnya.

“Kami semua mengatakan, 'tentu saja kami akan berperang, tetapi bisakah kami menang?'," ujarnya, seperti dikutip dari news.com.au Sabtu (1/12/2018).

Menurutnya, jika perang pecah di masa depan itu mengenai seberapa besar tekad China menantang dominasi regional AS.

Mastro yakin AS sekarang berusaha mengirim pesan ke China bahwa Wasington akan tinggal di kawasan itu dan bersedia mengambil risiko yang terkait dengan hal tersebut, termasuk potensi konflik bersenjata antara kedua belah pihak.

"Saya pikir kemungkinan konflik terbatas antara China dan AS meningkat," katanya.

Profesor Benjamin Schreer dari Macquarie University mengatakan jika masalah apakah AS memiliki tekad untuk menangani China telah diatasi, maka taruhannya dinaikkan secara signifikan.

"Jika China menganggap AS tidak berjuang untuk Taiwan, tidak bertempur di Laut China Selatan, tidak bertarung bahkan untuk Jepang, dan itu salah, maka kita akan memiliki perang itu," katanya.

Schreer mengatakan kemungkinan konflik yang meletus ke dalam perang dapat didorong karena para pemimpin China khawatir "jendela kesempatan" untuk bertindak dan mencapai ambisi strategisnya dapat ditutup.

China mungkin hanya memiliki 10 hingga 15 tahun untuk bertindak lebih tegas di kawasan itu karena AS dan sekutunya mulai sadar akan ambisinya. Negara itu juga menghadapi masalah domestik dan ekonomi yang meningkat. 

Dia mengatakan krisis internasional kecil dapat terjadi dari waktu ke waktu dan sudah ada beberapa yang terjadi di semenanjung Korea, Laut China Selatan, Laut China Timur dan Taiwan.

"Dinamika ini bisa terus berkembang selama beberapa dekade," katanya. Yang lebih memprihatinkan, kata dia, adalah bahwa pertempuran kecil dapat benar-benar menguntungkan China.

"Ada beberapa skenario di mana China akan menang dan yang sebelumnya tidak terjadi," imbuh Mastro.

Ketika banyak orang berpikir tentang perang, mereka membayangkan konfrontasi ala Perang Dingin yang telah terjadi di masa lalu, tetapi Mastro yakin pertempuran kecil lebih mungkin terjadi.

Dia mengatakan tidak satu pun negara yang menginginkan perang besar sehingga jika Amerika Serikat dapat memastikan tujuannya, misalnya, tentang mempertahankan kemampuannya untuk beroperasi di Laut China Selatan dan bukan tentang menggulingkan Partai Komunis, mungkin ada "konflik terbatas".

Mastro melanjutkan bahwa China kemungkinan akan memainkan perang singkat mungkin 30 hingga 60 hari dan itu bisa menjadi masalah bagi AS.

Misalnya, jika China mampu menyerang pangkalan AS di Taiwan atau menghentikannya beroperasi untuk waktu yang singkat di Jepang, ini akan mencegah Amerika mempertahankan kontrol udara.

"China dapat meluncurkan invasi ke Taiwan, mengkonsolidasikan posisinya di Taiwan sebelum AS dapat mengirim pasukan tambahan," katanya kepada news.com.au setelah diskusi panel.

Dibutuhkan berbulan-bulan bagi pasukan AS untuk siap dikerahkan dan jika China dengan cepat menyatakan perdamaian di negara itu. Menurutnya, pertanyaannya adalah apakah AS akan bersedia memulai perang lagi jika perang tersebut telah berakhir?

"China ingin perang cepat, itu satu-satunya cara mereka bisa menang," katanya.




Credit  sindonews.com



Jumat, 30 November 2018

Taiwan Pertimbangkan Beli 66 F-16V AS ketimbang Jet Siluman F-35


Taiwan Pertimbangkan Beli 66 F-16V AS ketimbang Jet Siluman F-35
Pesawat jet tempur F-16V Amerika Serikat. Foto/Randy Crites/F-16.net

TAIPEI - Pemerintah Taiwan sedang mempertimbangkan untuk membeli sekitar 66 unit pesawat jet tempur F-16V dari Amerika Serikat (AS). Taipei cenderung memilih pesawat tersebut daripada beberapa pesawat jet tempur siluman F-35 Lightning II.

Menteri Pertahanan Taiwan Yen Te-fa mengatakan kepada wartawan bahwa "darah baru" perlu disuntikkan ke pasukan pertahanan udara negara kepulauan itu.

"Karena tiga jenis pesawat tempur utama angkatan udara mencapai tahap pertengahan umur mereka, kami akan mempertimbangkan pembelian (pesawat tempur baru) selama itu memenuhi kebutuhan pertahanan kami," katanya.

Pernyataan Yen muncul di tengah-tengah laporan media lokal yang menunjukkan Taiwan sedang berupaya membeli 66 unit jet tempur F-16V. Menurut Taiwan News, yang dikutip Jumat (30/11/2018), Angkatan Udara Republik China—nama resmi angkatan udara negara Taiwan—akan mengganti armada pesawat tempur F-5 di Pangkalan Udara Zhi-Hang dengan pengadaan F-16V.

Ketika ditanya tentang pembelian jet tempur paling potensial, Yen menekankan bahwa para pejabat sedang mempertimbangkan opsi apa pun yang akan membantu memperkuat pasukan Taiwan.

Menurut laporan National Interest, selain ingin membeli 66 jet F-16V terbaru, Taiwan juga mempertimbangkan pesanan enam unit F-16V untuk menggantikan F-16A/B Block 20s yang rusak.

Laporan itu menambahkan, Taiwan mulai menghindar dari tawaran pesawat jet tempur siluman F-35 Lockheed Martin AS setelah meninjau laporan Dewan Keamanan Nasional-nya yang menyatakan bahwa pesawat itu terlalu mahal dan pembeliannya tidak masuk akal karena kurangnya uji tempur secara nyata.

Pesawat tempur yang saat ini beroperasi untuk militer Taiwan antara lain 144 jet tempur F-16 A/B, 55 Mirage 2000 dan 129 jet tempur lokal Ching-kuo. Data itu merupakan laporan South China Morning Post, media yang berbasis di Hong Kong. Masing-masing jenis pesawat tersebut telah beroperasi sejak tahun 1990-an. 





Credit  sindonews.com




Senin, 26 November 2018

Kalah Pemilu, Presiden Taiwan Mundur dari Ketua Partai


Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Partai Progresif Demokratik atau DPP. Keputusan itu diambil setelah DPP kalah dalam pemilu lokal yang diselenggarakan Sabtu, 24 November 2018. Sumber: Chang Haoan/Pool/via REUTERS/CNA
Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Partai Progresif Demokratik atau DPP. Keputusan itu diambil setelah DPP kalah dalam pemilu lokal yang diselenggarakan Sabtu, 24 November 2018. Sumber: Chang Haoan/Pool/via REUTERS/CNA

CB, Jakarta - Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Partai Progresif Demokratik atau DPP. Keputusan itu diambil setelah DPP kalah dalam pemilu lokal yang diselenggarakan Sabtu, 24 November 2018.
Dikutip dari Reuters, Tsai mengatakan pengunduran dirinya tidak diterima oleh Perdana Menteri William Lai. Tsai mengajukan pengunduran diri pada pada Sabtu sore, 24 November 2018.

"Sebagai ketua partai berkuasa, saya sepenuhnya bertanggun jawab atas hasil pemilu lokal hari ini. Saya mengundurkan diri sebagai Ketua DPP. Usaha kami tidak cukup dan kami mengecewakan para pendukung kami, yang berjuang bersama kami. Saya ingin menyampaikan permohonan maaf," kata Tsai, seperti dikutip dari CNA, Sabtu, 24 November 2018.
Menurutnya, DPP akan mengevaluasi diri atas kekalahan ini. Meski DPP kalah, dia bersumpah akan terus menekan agar reformasi, kebebasan dan demokrasi terus dilakukan serta melindungi kedaulatan negara yang tak boleh dikesampingkan.

DPP adalah partai pro-kemerdekaan dan partai berkuasa di Taiwan. Partai ini secara mengejutkan kalah dalam pemilu sela untuk memilih pemimpin di tingkat kotamadya, kabupaten, kota dan desa. Dari total 13 kota dan kabupaten, DPP kalah di tujuh wilayah.
DPP kalah banyak di kantong pertahanannya di kota Kaohsiung. Kekalahan ini untuk pertama kalinya dalam 20 tahun. DPP juga dikalahkan oleh partai terbesar kedua di Taiwan di kota Taichung. Kota Kaohsiung dan Taichung dimenangkan oleh partai oposisi, yakni Kuomintang.
Pemilu lokal diselenggarakan 1,5 tahun menjelang diselenggarakannya pemilu presiden Taiwan. Pemilu sela ini juga ujian bagi pemerintahan Tsai menyusul upayanya untuk melakukan reformasi domestik dan ketegangan hubungan dengan Beijing.
Pemilu lokal itu, juga sekaligus sebuah referendum untuk memutuskan status pernikahan sesama jenis di Taiwan. Pemilu ini dipantau ketat oleh Beijing setelah Taiwan mengklaim berdaulat.




Credit  tempo.co




Senin, 29 Oktober 2018

Menhan Cina Sebut Siap Kuasai Taiwan dan Laut Cina Selatan



Kapal perang AS, USS Decatur (kiri) berusaha menghindari tabrakan dengan kapal perang Cina di Laut Cina Selatan pada Ahad, 30 September 2018. GCCaptain.com via ABC News
Kapal perang AS, USS Decatur (kiri) berusaha menghindari tabrakan dengan kapal perang Cina di Laut Cina Selatan pada Ahad, 30 September 2018. GCCaptain.com via ABC News

CB, Beijing – Menteri Pertahanan Cina, Wei Fenghe, mengatakan negaranya akan mempertahankan setiap centimeter wilayah dari gangguan pihak luar. Wilayah ini berupa pulau yang mengatur urusannya sendiri seperti Taiwan dan wilayah Laut Cina Selatan.

 
“Jika ada seseorang yang mencoba memisahkan Taiwan dari Cina, angkatan bersenjata Cina akan mengambil tindakan berapapun biayanya,” kata Wei dalam pernyataan di forum keamanan Xiangshan Forum di Beijing pada Kamis, 25 Oktober 2018 waktu setempat seperti dilansir Aljazeera.
Wei juga mengatakan hubungan dengan Amerika Serikat penting dan sensitif. Dan Taiwan merupakan kepentingan inti dari Beijing sehingga menolak segala bentuk unjuk kekuatan oleh pasukan luar di Laut Cina Selatan.

 
Cina merasa marah dengan sanksi dari Amerika Serikat terhadap militer karena membeli sejumlah peralatan militer canggih dari Rusia kemarin. Baru-baru ini, dua kapal perang AS juga berlayar melewat Selat Taiwan sambil dibayangi kapal perang Cina. Kedua negara juga terlibat perang dagang yang sengit dengan saling menaikkan tarif bea impor mencapai ribuan triliun rupiah.
“Pulau-pulau di Laut Cina Selatan merupakan milik teritorial Cina. Mereka adalah warisan dari nenek moyang dan kami tidak bakal mau kehilangan satu centimeter pun,” kata Wei.

 
Seorang bekas komandan militer AS mengatakan ada kemungkinan kedua negara berperang dalam waktu 15 tahun lagi.  Pensiunan Letnan Jenderal Ben Hodges mengatakan AS bakal harus lebih fokus membela kepentingannya di Pasifik.

Kapal perang AEGIS Amerika Serikat jenis destroyer dan cruiser akan dilengkapi dengan rudal SM-6 Dual I. SM-6 Dual I dapat ditempatkan pada kapal-kapal perang masa depan, yang menggunakan sistem peluncur vertikal (VLS) MK 41. Missile Defense Agency/raytheon.com


“Saya pikir dalam 15 tahun, jika tidak terelakkan, ada kemungkinan besar kita akan berperang melawan Cina,” kata Hodges sambil menambahkan AS tidak memiliki kapasitas untuk melakukan semuanya sendiri di Eropa dan di Pasifik untuk menangani ancaman Cina.

 
Menurut Hodges kepada AP, salah satu indikasi perang bakal terjadi antara AS dan Cina adalah insiden kapal perang kedua negara baru-baru ini di Laut Cina Selatan.
Soal ancaman ini, Menteri Wei mengatakan,”Militer Cina tidak akan pernah menjadi ancaman untuk negara lain. Kami tidak akan melakukan hegemoni atau perlombaan senjata,” kata dia.




Credit  tempo.co





Jumat, 26 Oktober 2018

Taiwan Minta Dukungan Dapat Status Pengamat di Interpol


Presiden Interpol, Meng Hongwei, sedang berpidato saat terpilih untuk memimpin dalam Sidang Umum ke 85 lembaga itu di Bali, Indonesia. AP
Presiden Interpol, Meng Hongwei, sedang berpidato saat terpilih untuk memimpin dalam Sidang Umum ke 85 lembaga itu di Bali, Indonesia. AP

CB, Taiwan – Pemerintah Taiwan meminta dukungan dunia internasional agar bisa berpartisipasi sebagai pengamat atau observer dalam Sidang Umum Interpol yang akan digelar tahun ini.

 
“Keamanan global dan keadilan sosial harus melampaui wilayah, etnis dan perbedaan politik,” kata Tsai Tsan-Po, Komisioner Biro Investigasi Kriminal Taiwan, dalam rilis yang diterima Tempo pada Kamis, 25 Oktober 2018.
Tsai mengatakan Taiwan berharap bisa mengikuti berbagai kegiatan Interpol seperti pertemuan rutin dan aktivitas pelatihan dan mekanisme kerja. Selama ini, Taiwan telah dikeluarkan dari Interpol selama 34 tahun terakhir.


“Ini melemahkan kemampuan Taiwan secara serius untuk mengimplementasikan pengecekan keamanan di perbatasannya dan untuk melawan terorisme, penyelundupan manusia serta kejahatan lintas batas negara,” kata Tsai.
Menurut dia, Taiwan pernah mengajukan permintaan untuk bisa menghadiri Sidang Umum Interpol ke – 85 pada 2016 sebagai pengamat.
Taiwan juga pernah mengajukan diri pada 2017 untuk menjadi tuan rumah kegiatan seminar keamanan. Tapi Interpol menolak kedua permintaan ini dengan mengutip pernyataan lembaga itu mengikuti resolusi 1984 saat Cina menjadi anggotanya.


“Seharusnya, tidak ada resolusi atau pengaturan oleh Interpol yang bisa mengabaikan upaya memperkuat kerja sama polisi lintas negara,” kata Tsai.

Menurut Tsai, Taiwan ingin terlibat dalam penanganan kejahatan lintas negara seperti yang telah dilakukan bersama Thailand. Taiwan juga bekerja sama dengan petugas Filipina menangkap seorang pejabat kota yang terlibat peredaran obat-obatan terlarang.


 
“Taiwan ingin berkontribusi lebih jauh dalam inisiatif global untuk membantu menciptakan dunia yang lebih baik. Sebuah jaringan keamanan global yang terkoneksi baik bisa tercipta dengan partisipasi Taiwan,” kata Tsai soal status observer di Interpol.




Credit  tempo.co



Senin, 22 Oktober 2018

Anti-China, Ribuan Orang Serukan Referendum Kemerdekaan Taiwan


Anti-China, Ribuan Orang Serukan Referendum Kemerdekaan Taiwan
Massa di Taiwan demo mendukung referendum untuk menyuarakan kemerdekaan di Taipei, Sabtu (20/10/2018). Mereka menentang aneksasi China terhadap Taiwan. Foto/REUTERS

TAIPEI - Ribuan orang berunjuk rasa di Ibu Kota Taiwan, Taipei, menyerukan referendum kemerdekaan. Dalam demo besar untuk pertama kalinya ini, massa menerikkan slogan-slogan anti-China.

Demo seruan referendum kemerdekaan ini muncul setelah pulau itu memerintah dirinya sendiri menjadi negara demokrasi lebih dari 20 tahun yang lalu.



Pawai besar pada hari Sabtu (20/10/2018) di Taipei terjadi ketika China meningkatkan klaimnya atas Taiwan. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya.

"Agresi China hanya dapat mendorong kami untuk membela diri," teriak seorang pengunjuk rasa perempuan kepada Al Jazeera. "Kami akan melindungi hak kami untuk menentukan nasib sendiri," katanya lagi.

Massa berkumpul di luar markas Partai Progresif Demokrat (DPP), partai yang berkuasa, di Taipei. Slogan-slogan anti-China yang diteriakkan seperti; "Inginkan referendum!" dan "Menentang aneksasi!".

China dan Taiwan telah diperintah secara terpisah sejak perang sipil di China daratan pada tahun 1949.

Taiwan menganggap dirinya sebagai negara berdaulat, dengan mata uang, sistem peradilan dan politik sendiri. Namun, Beijing mengancam akan menggunakan kekuatan untuk menyatukan kembali Taipei dengan China.

Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah meningkatkan tekanan diplomatik, ekonomi dan militer pada pemerintah Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dalam upaya untuk memaksanya menyetujui bahwa pulau itu adalah bagian dari "satu China".

Tekanan itu termasuk langkah perusahaan-perusahaan China yang mendaftarkan Taiwan sebagai bagian dari China di situs mereka.

Fan Yun, anggota Partai Sosial Demokrat, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa referendum adalah cara demokratis untuk memberitahu China. "Dan untuk memberitahu seluruh dunia bahwa, sebenarnya, kami ingin menjadi negara yang merdeka," katanya, yang dilansir Minggu (21/10/2018).

Diselenggarakan oleh Aliansi Formosa, yang didukung oleh dua mantan presiden Taiwan yang mendukung kemerdekaan, demo itu merupakan tuntutan besar-besaran untuk pemilihan umum mengenai apakah akan secara resmi mengumumkan kemerdekaan Taiwan dari China atau tidak.

"Kami ingin memberitahu China untuk menghentikan bullying (terhadap) Taiwan," kata pemimpin Aliansi Formosa, Kuo Pei-horng, seperti diberitakan AFP.

"Orang Taiwan ingin menjadi tuan bagi diri sendiri," ujarnya.

Penyelenggara mengatakan bahwa lebih dari 100.000 orang turun ke jalan dan berbaris menyerukan referendum kemerdekaan. Namun, menurut polisi jumlah massa sekitar 10.000.

Sementara itu, DPP yang merupakan partai berkuasa secara terbuka melarang para pejabat dan kadernya menghadiri unjuk rasa pada hari Sabtu. Meski demikian, partai itu menggelar demo terhadap aneksasi China terhadap Taiwan di kota selatan Kaohsiung. 







Credit  sindonews.com



Jumat, 19 Oktober 2018

Lawan Cina, Taiwan Incar Senjata Canggih dari Amerika



Meriam utama tank M1A2 Abrams adalah 120 mm L/44 M256A1 smoothbore (42 putaran). M1A2 juga dilengkapi dengan senapan mesin berat Browning M2 kaliber 12,7 mm  dan senapan mesin M240 kaliber 7,62 mm. The commander's station is equipped with six periscopes, providing a 360 view. Commander's Independent Thermal Viewer (CVIT) buatan Raytheon, Jerman, membuat komandan dan melihat luat secara stabil, siang dan malam dengan sudut 360 derajat. CVIT juga memindai secara otomatis, memberikan isyarat letak target kepada penembak, kontrol penembakan. Chung Sung-Jun/Getty Images
Meriam utama tank M1A2 Abrams adalah 120 mm L/44 M256A1 smoothbore (42 putaran). M1A2 juga dilengkapi dengan senapan mesin berat Browning M2 kaliber 12,7 mm dan senapan mesin M240 kaliber 7,62 mm. The commander's station is equipped with six periscopes, providing a 360 view. Commander's Independent Thermal Viewer (CVIT) buatan Raytheon, Jerman, membuat komandan dan melihat luat secara stabil, siang dan malam dengan sudut 360 derajat. CVIT juga memindai secara otomatis, memberikan isyarat letak target kepada penembak, kontrol penembakan. Chung Sung-Jun/Getty Images

CB, Taiwan – Formosa Alliance bakal menggelar parade kemerdekaan Taiwan secara besar-besaran pada Sabtu, 20 Oktober 2018, untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Taiwan dan Cina berpisah sejak 1949.

Acara ini ditargetkan bakal diikuti sekitar 100 ribu warga. Dua orang bekas Presiden Taiwan menjadi pendukung acara yaitu Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian.
“Setiap orang Taiwan harus menentukan masa depan negara ini. Itu harus diputuskan oleh sekitar 24 juta warga Taiwan bukan oleh Cina atau Xi Jinping,” kata Kuo Pei-horng, yang menjadi pimpinan aliansi pro kemerdekaan.

 
Menyusul meningkatnya ketegangan antara Cina dan Taiwan, seorang pejabat Pentagon mengatakan Amerika Serikat mulai menjalin hubungan militer yang lebih normal dengan Taiwan. Ini untuk mendukung peningkatan kemampuan teknologi pertahanan Taiwan terkait klaim Cina.
Randall Schriver, Asisten Menteri Pertahanan AS untuk Keamanan Asia dan Pasifik, mengatakan pemerintahan Presiden Donald Trump bakal mendorong lebih banyak penjualan senjata ke Taiwan, yang bersengketa sengit dengan Cina.

 
Misalnya, US berencana menjual sekitar US$330 juta atau sekitar Rp 5 triliun senjata ke Taiwan. Berikut ini sejumlah senjata canggih buatan AS yang diincar Taiwan, seperti dilansir Business Insider:
  1. Teknologi Kapal Selam dan Sistem Persenjataan
Taiwan berupay membeli sejumlah senjata canggih ini untuk memutakhirkan armada kapal selam dan membangun kapal selam sendiri. AS membantu Taiwan untuk membangun kapal selam perang berbasis mesin diesel.
  1. Jet Tempur F-35


Pesawat tempur canggih generasi ke-5 ini buatan Lockheed Martin, yang memiliki satu kursi dan satu mesin, dan mampu terbang dalam berbagai kondisi atau multi-role fighter. Jet ini menjadi andalan AS untuk menangkal serbuan udara serta memiliki radar aperture sintetis supercanggih. Menhan Taiwan, Yen Teh-fa, mengatakan Taiwan akan membeli satu paket jet tempur ini dari AS.

 
  1. M1A2 Abrams
Ini merupakan tank tempur generasi ketiga AS, yang cocok untuk mengganti armada tank tua milik Taiwan.
Saat ini, mayoritas tank tua atau jadul milik Taiwan berjenis M60 dan M48 buatan AS.

 
Sejak lama Taiwan berkeinginan membeli tank M1A2 Abrams untuk meningkatkan kemampuan tempur. Taiwan berminat membeli 108 model tank baru ini untuk bersiap menghadapi Cina.




Credit  tempo.co



Jumat, 12 Oktober 2018

Presiden Taiwan Janji tidak akan Tunduk pada Tekanan Cina


Presiden baru Taiwan Tsai Ing-wen memberikan pidato saat pelantikannya di Taipei, Jumat, 20 Mei 2016.
Presiden baru Taiwan Tsai Ing-wen memberikan pidato saat pelantikannya di Taipei, Jumat, 20 Mei 2016.
Foto: AP Photo/Chiang Ying-ying

Tsai akan meningkatkan keamanan nasional.



CB, TAIPEI -- Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada Rabu (10/10) berjanji meningkatkan keamanan nasional, dengan menyatakan pemerintahnya tidak akan tunduk kepada tekanan Cina. Pemerintah Cina meningkatkan tekanan untuk menegaskan kadaulatannya atas pulau dengan pemerintahan sendiri itu.

Keterangan Tsai muncul beberapa pekan menjelang pemilihan umum setempat di pulau itu pada akhir November. Pemilu tersebut dipandang sebagai ujian bagi kinerja partai berkuasa dalam pemilihan presiden pada 2020.

"Pada saat ini, intimidasi Cina dan tekanan politik tidak hanya mencederai hubungan di antara kedua pihak itu, tetapi menantang secara serius stabilitas perdamaian di Selat Taiwan," kata dia dalam pidato Hari Nasional di Taipei.

Taiwan akan meningkatkan anggaran pertahanannya tiap tahun untuk menjamin dirinya dapat mempertahankan kedaulatannya. Caranya dengan meningkatkan kemampuan militer dan pemenuhan sendiri, termasuk memulai kembali pengembangan pesawat latih dan kapal selam canggih untuk dalam negeri.

Cina, yang memandang Taiwan sebagai provinsi bandel, telah meningkatkan tekanan militer dan diplomatik atas Taipei, mengarah kepada periode yang sulit bagi presiden itu dan Partai Progresif Demokratik (DPP) pimpinannya, yang menginginkan kemerdekaan Taiwan. Sebanyak tiga bekas sekutunya: El Salvador, Burkina Faso dan Republik Dominika mengalihkan hubungan diplomatik ke Beijing tahun ini.


Militer Cina telah meningkatkan latihan-latihan di sekitar Taiwan, yang Taipei telah kutuk dan katakan sebagai intimidasi. Taiwan harus bekerja dengan negara-negara lain untuk membangun koalisi mempertahankan demokrasi. Tsai juga mengucapkan terima kasih atas dukungan parlemen Eropa dan Amerika Serikat.

Bulan lalu, Departemen Luar Negeri AS menyetujui penjualan kepada Taiwan suku cadang bagi pesawat tempur F-16 dan pesawat militer lainnya senilai 330 juta dolar, suatu langkah yang Cina katakan membahayakan kerja sama Cina-AS. Cina tidak pernah meninggalkan penggunaan kekuatan untuk memasukkan Taiwan di bawah kendalinya dan berulang-ulang menyebut pulau itu isu paling sensitifnya dalam hubungan dengan Amerika Serikat.

Hubungan dengan Beijing menukik tajam sejak Tsai naik ke tampuk kekuasaan pada 2016. Cina menyangka Taiwan ingin mendorong kemerdekaan resmi yang menjadi garis merah bagi Beijing.




Credit republika.co.id