MOSKOW
- Memaksakan larangan ekspor minya ke Korea Utara (Korut) secara total
akan berarti sebuah blokade penuh dan dianggap sebagai deklarasi perang
oleh Pyongyang. Peringtan itu dikeluarkan oleh Duta Besar (Dubes) Rusia
untuk Korut.
Pada bulan Desember lalu, Dewan Keamanan (DK) PBB dengan suara bulat menyetujui sebuah babak baru sanksi untuk Korut, yang memicu pemotongan impor minyak dan produk minyak negara tersebut. Langkah tersebut merupakan tanggapan atas peluncuran uji coba rudal balistik Pyongyang yang terbaru.
Dubes Rusia untuk Korut, Alexander Matsegora, memperingatkan agar tidak mengurangi pasokan minyak ke negara tersebut lebih jauh lagi.
"Jika pasokan produk minyak dan minyak dihentikan, itu berarti blokade total terhadap DPRK (Korea Utara)," kata Matsegora dalam sebuah wawancara.
"Pyongyang telah berulang kali mengatakan bahwa tindakan tersebut akan dianggap sebagai sebuah deklarasi perang dengan semua konsekuensinya," imbuhnya seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (1/2/2018).
Matsegora mengatakan sanksi PBB menutup sekitar 540 ribu ton pasokan minyak mentah dari China dan sekitar 60 ribu ton minyak sulingan dari negara lain.
"Ini sudah setetes di lautan," cetus Matsegora.
Beijing diyakini sebagai jalur ekonomi utama Pyongyang, menyumbang hampir semua pasokan energi dan perdagangan Korut. Rezim sanksi yang disempurnakan tersebut menghasilkan penurunan 50 persen dalam perdagangan China dengan Korut pada bulan Desember.
Selain sanksi ekonomi yang ada yang disetujui oleh DK PBB yang beranggotakan 15 orang, Washington telah memberlakukan tindakan hukuman sepihak. Langkah tersebut telah berulang kali dikecam oleh Moskow yang menganggapnya tidak dapat diterima dalam hal hukum internasional.
Washington juga meminta sekutunya untuk meningkatkan tekanan pada Pyongyang selama pertemuan puncak di Vancouver. Pertemuan gabungan AS-Kanada pada pertengahan Januari melihat 20 negara lainnya menyetujui sanksi ekonomi lebih lanjut. Rusia dan China - yang tidak diundang ke Vancouver - mengutuk tindakan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa pertemuan tersebut menunjukkan "rasa tidak hormat mutlak" atas wewenang DK PBB. Ia menambahkan bahwa pertemuan tersebut gagal menawarkan alternatif apapun terhadap inisiatif China-Rusia yang ada, inisiatif 'double-freeze', yang meminta Pyongyang untuk menunda uji coba nuklirnya, dengan Seoul dan Washington menghentikan latihan bersama mereka di wilayah tersebut.
Pada bulan Desember lalu, Dewan Keamanan (DK) PBB dengan suara bulat menyetujui sebuah babak baru sanksi untuk Korut, yang memicu pemotongan impor minyak dan produk minyak negara tersebut. Langkah tersebut merupakan tanggapan atas peluncuran uji coba rudal balistik Pyongyang yang terbaru.
Dubes Rusia untuk Korut, Alexander Matsegora, memperingatkan agar tidak mengurangi pasokan minyak ke negara tersebut lebih jauh lagi.
"Jika pasokan produk minyak dan minyak dihentikan, itu berarti blokade total terhadap DPRK (Korea Utara)," kata Matsegora dalam sebuah wawancara.
"Pyongyang telah berulang kali mengatakan bahwa tindakan tersebut akan dianggap sebagai sebuah deklarasi perang dengan semua konsekuensinya," imbuhnya seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (1/2/2018).
Matsegora mengatakan sanksi PBB menutup sekitar 540 ribu ton pasokan minyak mentah dari China dan sekitar 60 ribu ton minyak sulingan dari negara lain.
"Ini sudah setetes di lautan," cetus Matsegora.
Beijing diyakini sebagai jalur ekonomi utama Pyongyang, menyumbang hampir semua pasokan energi dan perdagangan Korut. Rezim sanksi yang disempurnakan tersebut menghasilkan penurunan 50 persen dalam perdagangan China dengan Korut pada bulan Desember.
Selain sanksi ekonomi yang ada yang disetujui oleh DK PBB yang beranggotakan 15 orang, Washington telah memberlakukan tindakan hukuman sepihak. Langkah tersebut telah berulang kali dikecam oleh Moskow yang menganggapnya tidak dapat diterima dalam hal hukum internasional.
Washington juga meminta sekutunya untuk meningkatkan tekanan pada Pyongyang selama pertemuan puncak di Vancouver. Pertemuan gabungan AS-Kanada pada pertengahan Januari melihat 20 negara lainnya menyetujui sanksi ekonomi lebih lanjut. Rusia dan China - yang tidak diundang ke Vancouver - mengutuk tindakan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa pertemuan tersebut menunjukkan "rasa tidak hormat mutlak" atas wewenang DK PBB. Ia menambahkan bahwa pertemuan tersebut gagal menawarkan alternatif apapun terhadap inisiatif China-Rusia yang ada, inisiatif 'double-freeze', yang meminta Pyongyang untuk menunda uji coba nuklirnya, dengan Seoul dan Washington menghentikan latihan bersama mereka di wilayah tersebut.
Credit sindonews.com