TEL AVIV
- Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengatakan Tel Aviv siap
untuk invasi darat habis-habisan ke Lebanon jika terjadi konflik
militer. Komentar ini muncul saat hubungan kedua negara bertetangga
terus memburuk.
"Kita harus mempersiapkan diri untuk manuver di lapangan juga, bahkan jika kita tidak menggunakannya," kata menteri tersebut dalam sebuah konferensi Institute for Security Studies (INSS) yang diadakan di Universitas Tel Aviv.
Lieberman mengatakan bahwa, dalam skenario terburuk, Israel akan melakukan operasi dengan kekuatan penuh.
"Kita tidak boleh mengambil sikap satu langkah maju dan kemudian mundur satu langkah. Kami akan bergerak maju secepat mungkin," tambah Lieberman, berbicara tentang strategi Israel dalam kemungkinan konflik dengan tetangganya di utara.
Pada saat yang sama, dia mengatakan bahwa bermanuver bukanlah tujuan itu sendiri, tapi adalah alat untuk mengakhiri perang di tempat yang dilihat Tel Aviv sebagai cara yang paling efisien.
"Tidak ada yang mencari petualangan, tapi jika kita tidak memiliki pilihan tujuannya adalah mengakhiri (pertempuran) secepat dan sekuat mungkin," kata Lieberman, menambahkan bahwa pengalaman masa lalu Israel telah menunjukkan bahwa semua konflik di Timur Tengah tidak berakhir tanpa tentara di lapangan.
Lieberman menegaskan Israel akan bertindak keras terhadap Lebanon. Dia secara khusus mengatakan bahwa situasi Perang Lebanon Kedua, di mana penduduk Beirut berada di pantai dan di Tel Aviv berada di tempat penampungan bom, tidak akan terulang kembali jika terjadi konflik baru.
"Jika di Israel mereka duduk di tempat penampungan, maka di pertempuran berikutnya semua Beirut akan berada di tempat penampungan," tambah Lieberman seperti dinukil dari Russia Today, Jumat (2/2/2018).
Komentar tersebut muncul di tengah kekhawatiran Israel mengenai kelompok bersenjata Hizbullah Libanon, yang diduga berencana untuk mempersenjatai diri dengan peluru kendali presisi produksi lokal.
"Organisasi teror Hizbullah telah melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, mempertahankan kehadiran militer di wilayah tersebut, memiliki sistem senjata dan meningkatkan kemampuan militernya," kata Gabi Eisenkot, kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Israel, pada hari Selasa, seperti dikutip oleh Haaretz.
Lieberman juga mengatakan bahwa dia tidak melihat adanya perbedaan antara Hizbullah dan seluruh Lebanon, karena dia yakin kelompok bersenjata tersebut memiliki pengaruh yang cukup untuk mengendalikan kekuatan politik dan militer di Lebanon.
"Mereka adalah bagian dari Hizbullah dan mereka semua akan membayar harga penuh untuk serangan besar-besaran terhadap Israel," ucap Lieberman.
Konflik besar terakhir antara Israel dan Lebanon pecah pada tahun 2006. Konfrontasi militer, yang dikenal sebagai Perang Lebanon Kedua di Israel dan Perang Juli di Lebanon, berlangsung 34 hari dan berakhir dengan gencatan senjata yang diperantarai PBB.
"Kita harus mempersiapkan diri untuk manuver di lapangan juga, bahkan jika kita tidak menggunakannya," kata menteri tersebut dalam sebuah konferensi Institute for Security Studies (INSS) yang diadakan di Universitas Tel Aviv.
Lieberman mengatakan bahwa, dalam skenario terburuk, Israel akan melakukan operasi dengan kekuatan penuh.
"Kita tidak boleh mengambil sikap satu langkah maju dan kemudian mundur satu langkah. Kami akan bergerak maju secepat mungkin," tambah Lieberman, berbicara tentang strategi Israel dalam kemungkinan konflik dengan tetangganya di utara.
Pada saat yang sama, dia mengatakan bahwa bermanuver bukanlah tujuan itu sendiri, tapi adalah alat untuk mengakhiri perang di tempat yang dilihat Tel Aviv sebagai cara yang paling efisien.
"Tidak ada yang mencari petualangan, tapi jika kita tidak memiliki pilihan tujuannya adalah mengakhiri (pertempuran) secepat dan sekuat mungkin," kata Lieberman, menambahkan bahwa pengalaman masa lalu Israel telah menunjukkan bahwa semua konflik di Timur Tengah tidak berakhir tanpa tentara di lapangan.
Lieberman menegaskan Israel akan bertindak keras terhadap Lebanon. Dia secara khusus mengatakan bahwa situasi Perang Lebanon Kedua, di mana penduduk Beirut berada di pantai dan di Tel Aviv berada di tempat penampungan bom, tidak akan terulang kembali jika terjadi konflik baru.
"Jika di Israel mereka duduk di tempat penampungan, maka di pertempuran berikutnya semua Beirut akan berada di tempat penampungan," tambah Lieberman seperti dinukil dari Russia Today, Jumat (2/2/2018).
Komentar tersebut muncul di tengah kekhawatiran Israel mengenai kelompok bersenjata Hizbullah Libanon, yang diduga berencana untuk mempersenjatai diri dengan peluru kendali presisi produksi lokal.
"Organisasi teror Hizbullah telah melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, mempertahankan kehadiran militer di wilayah tersebut, memiliki sistem senjata dan meningkatkan kemampuan militernya," kata Gabi Eisenkot, kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Israel, pada hari Selasa, seperti dikutip oleh Haaretz.
Lieberman juga mengatakan bahwa dia tidak melihat adanya perbedaan antara Hizbullah dan seluruh Lebanon, karena dia yakin kelompok bersenjata tersebut memiliki pengaruh yang cukup untuk mengendalikan kekuatan politik dan militer di Lebanon.
"Mereka adalah bagian dari Hizbullah dan mereka semua akan membayar harga penuh untuk serangan besar-besaran terhadap Israel," ucap Lieberman.
Konflik besar terakhir antara Israel dan Lebanon pecah pada tahun 2006. Konfrontasi militer, yang dikenal sebagai Perang Lebanon Kedua di Israel dan Perang Juli di Lebanon, berlangsung 34 hari dan berakhir dengan gencatan senjata yang diperantarai PBB.
Berbeda dengan kata-kata Lieberman, perang tersebut membawa korban Lebanon yang jauh lebih tinggi daripada di Israel. Konflik tersebut merenggut nyawa 1.191 orang Lebanon dan menyebabkan lebih dari 4.400 orang terluka, menurut pejabat setempat yang dikutip oleh sebuah laporan PBB. Lebih dari 900 ribu orang Lebanon harus meninggalkan rumah mereka karena permusuhan.
Israel dilaporkan kehilangan kurang dari 200 orang dalam konflik tersebut, menurut berbagai sumber, dengan sebagian besar dari mereka adalah tentara IDF. Ketegangan antara kedua negara meningkat menyusul krisis politik November yang singkat di Lebanon.
Pada akhir November, Angkatan Darat Lebanon meminta militer dengan "kesiapan penuh" untuk menghadapi "musuh Israel" di perbatasan selatan. Pada saat yang sama, Presiden Lebanon Michel Aoun mengatakan bahwa penargetan Israel masih berlanjut dan inilah hak Lebanon untuk menolaknya dan menggagalkan rencananya dengan segala cara yang ada.
Credit sindonews.com