Jumat, 11 November 2016

Setumpuk Dosa Belanda kepada Indonesia

 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
 
  Oleh: Alwi Shahab

Ketika rakyat Belanda pada 20 Maret 2002 merayakan 400 tahun VOC, di Jakarta, Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) berunjuk rasa di Kedubes Belanda. Mereka memprotes perayaan berdirinya VOC yang di negeri Belanda diselenggarakan besar-besaran sepanjang 2002. Mereka juga menuntut agar Belanda meminta maaf atas pelanggaran HAM terhadap bangsa Indonesia selama masa penjajahan.

Dalam masalah VOC, ada dua sudut pandang yang berbeda antara kedua negara. Belanda ingin membangkitkan kembali kejayaan imperium VOC yang selama dua abad menguasai Asia dan Amerika Latin. Sementara bagi Indonesia, perayaan itu justru membangkitkan kembali luka-luka lama, berupa penderitaan rakyatnya.

Sebetulnya, ketika Ratu Juliana dan Pangeran Bernard mengunjungi Indonesia pada awal 1970-an, di negeri Belanda sendiri ada yang meminta agar pasangan ini selama di Indonesia meminta maaf atas perlakuan Belanda selama masa penjajahan. Tapi, ketika ratu berada di Indonesia, pihak tuan rumah tidak mengusik-usik masalah tersebut. Kedua belah pihak hanya menyatakan, agar berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu dilupakan saja.

Banyak perlakuan kejam yang hingga kini tidak sulit dihilangkan selama tiga setengah abad penjajahan Belanda. Setelah menaklukkan Jayakarta Mei 1619, menghancurkan keraton dan masjid serta mengusir seluruh penduduknya, pada 1621 Gubernur Jenderal JP Coen memimpin sendiri ekspedisi militer ke Banda di kepulauan Maluku. Tangan Coen yang penuh darah itu berhasil mengurangi penduduk hingga tinggal 1/10 dari jumlah semula.

Coen memperbudak penduduk yang masih hidup, untuk kemudian dibawanya ke Batavia. Para budak ini kemudian ditempatkan di sebuah kampung dekat Ancol, Jakarta Utara, yang kini bernama Kampung Banda(n). Dalam upaya menguasai dan monopoli rempah-rempah, Coen telah mengadakan pembunuhan besar-besaran di Ambon.

 
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Sejumlah pengujung melintasi Museum Fatahillah yang masih dalam tahap konservasi di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. (Republika/Rakhmawaty La

Pembantaian 10 Ribu Etnis Cina

Sementara Heeren XII (anggota dewan VOC) di negeri Belanda yang mendengar laporan kebuasan ini seolah-olah menutup telinga. Karena, bagi Belanda, perdagangan rempah-rempah merupakan keuntungan yang sangat menggiurkan. Bahkan, ketika 5 Maret 1627 Coen kembali ke Batavia, ia dinyatakan sebagai pahlawan dengan setumpuk hadiah. Termasuk sebuah rantai emas yang sangat berat.

Pada September 1740, Gubernur Jenderal Adriaan Valkenier telah melakukan pembunuhan terhadap 10 ribu warga Tionghoa di Glodok, Jakarta Kota. Dalam peristiwa ini, 500 tahanan yang disekap di penjara bawah tanah di Balai Kota, yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta, turut terbunuh. Termasuk para orang tua, bayi, dan pasien yang tengah dirawat di rumah sakit Tionghoa, yang kini letaknya di sekitar Gedung BI, depan stasiun KA Jakarta Kota.

Penderitaan rakyat Indonesia makin menjadi-jadi ketika Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch melancarkan cuulturstelsel atau sistem tanam paksa. Rakyat sejak 1830 selama beberapa dekade dipaksa menanam hasil bumi yang hanya laku di pasaran internasional.
Penduduk bukan saja tidak diberi upah, bahkan mereka membawa bekal sendiri untuk makan. Yang tidak memiliki tanah diwajibkan kerja rodi selama 60 hari dalam setahun, tanpa diupah sepeser pun.

Sistem yang memelaratkan rakyat ini telah digugat Eduard Douwes Dekker atau Multatuli dalam bukunya 'Max Havelaar' pada 1860. Sebagai tanda protes ia meminta berhenti sebagai asisten residen Lebak di Banten. Isaac Fancen, orang Belanda lainnya yang pernah menjadi pengurus sebuah pabrik gula di Jawa, dalam sebuah karyanya mengungkapkan,

"Cuulterstelsel sama sekali pemerasan, sumber utama kemelaratan rakyat di pulau Jawa, dan suatu perangsang untuk keangkuhan, ketamakan dan kerakusan Belanda."

Beberapa data akurat akibat sistem yang menggencet petani dapat dilihat dari data di bawah ini:

- Di Cirebon pada 1844 terjadi bahaya kelaparan yang ambil korban ribuan orang.
- Pada 1848 penduduk Demak tinggal 120 ribu dari 336 ribu. Lebih 2/3 penduduk mati kelaparan.
- Pada 1849, Grobogan, Jateng, yang berpenduduk 98.500 orang, hanya tersisa 9 ribu
orang. Sebanyak 9/10 penduduk mati kelaparan. Ratusan ribu rakyat Jawa
mati seperti tikus kelaparan di tanah airnya yang subur.
 
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Gedung peninggalan Belanda Galangan VOC, Jakarta Utara. (Republika/Prayogi)

Belanda Makmur karena Indonesia

Sementara Van den Bosch diberi gelar 'Graaf' oleh rajanya. Ia dianggap pahlawan karena berhasil menyelamatkan dan memulihkan ekonomi Belanda yang tengah krisis akibat peperangan-peperangan di Eropa.
Seperti masa-masa lalu, pada 1940-an --sebelum Hindia Belanda ditaklukkan Jepang-- keuntungan yang diperoleh di pasaran dunia hampir seluruhnya mengalir ke Belanda. Jumlahnya mencapai satu miliar gulden tiap tahun.

Bahkan, menurut data dari pihak Belanda sendiri, tanpa adanya suntikan uang yang berasal dari Indonesia, pemulihan ekonomi dan industrialisasi Belanda setelah Perang Dunia II, pasti akan berjalan lebih alot. Karena itulah, menurut KNPMBI merayakan kejayaan VOC sama dengan berpesta-pora di atas kesengsaraan dan kematian ratusan ribu rakyat Indonesia yang dibantai VOC.
Memperlihatkan bahwa negara-negara yang sekarang ini mengaku sebagai kampiun HAM, di masa-masa lalu justru menjadi pelanggar HAM paling menjijikkan. Sayangnya HAM bukan milik kita, tapi milik mereka.



Credit  republika.co.id