Penjualan senjata Australia ke negara Timteng yang terlibat perang Yaman.
CB,
CANBERRA -- Pemerintah Australia telah menyetujui ekspor lusinan
pengiriman barang-barang militer ke negara-negara Timur Tengah yang
terlibat dalam perang Yaman. Konflik itu lekat dengan tuduhan-tuduhan
kejahatan perang dan pembunuhan warga sipil tanpa pandang bulu.
Dokumen
Departemen Pertahanan internal yang diperoleh di bawah Kebebasan
Informasi (FOI) dan dari rapat dengar pendapat Parlemen mengungkap,
sejak awal 2016, Canberra telah memberikan setidaknya 37 izin ekspor
untuk barang-barang yang berhubungan dengan militer ke Uni Emirat Arab,
dan 20 izin ke Arab Saudi. Mereka adalah dua negara yang memimpin
koalisi perang melawan pemberontak Houthi di negara termiskin di Timur
Tengah, Yaman.
Menurut salah satu lembaga
perlindungan anak, perang empat tahun di Yaman telah menewaskan puluhan
ribu orang. Embargo udara-dan-laut telah menyebabkan lebih dari 85 ribu
anak-anak Yaman di bawah usia lima tahun meninggal karena kelaparan.
Ekspor
Australia yang sedang berkembang ke UAE dan Arab Saudi mungkin terkait
dengan rencana yang diumumkan oleh mantan Perdana Menteri Malcolm
Turnbull pada bulan Januari untuk meningkatkan penjualan alat pertahanan
secara drastis selama dekade berikutnya.
Australia
akan menghabiskan 200 juta dolar AS (atau setara Rp 2 triliun) antara
tahun ini hingga 2028 untuk menjadikan Australia sebagai pengekspor
senjata terbesar ke-10 di dunia. Saat ini Australia merupakan yang
terbesar ke-20.
Strategi itu menyatakan Timur Tengah adalah "pasar prioritas" untuk ekspor pertahanan.
Skala penjualan senjata Australia
Photo: Kellie Tranter adalah pengacara dan aktivis HAM dari New South Wales. (ABC News: Kyle Taylor)
Pemerintah
Australia telah berusaha untuk menjaga rincian rahasia ekspor, tetapi
pengacara New South Wales dan aktivis hak asasi manusia Kellie Tranter
telah menghabiskan satu tahun mencoba untuk menjelaskan penjualan itu.
"Saya
memiliki anak di bawah lima tahun dan sulit untuk tidak tersentuh oleh
foto yang datang dari Yaman. [Dengan] seorang bayi yang masih dikandung,
saya merasa terdorong untuk mencari tahu bagaimana jika ada peran
negara kami dalam penderitaan itu," kata Tranter.
Ia telah melacak peningkatan ekspor ke Timur Tengah melalui serangkaian permintaan FOI Pertahanan.
Upaya
Tranter-lah yang menemukan skala sertifikat ekspor Australia ke UAE dan
Saudi. Izin ekspor diperlukan sebelum perusahaan atau Pemerintah bisa
mengirimkan barang-barang militer atau barang dengan penggunaan ganda ke
luar negeri, meskipun kadang-kadang perusahaan menerima izin ekspor dan
pada akhirnya tidak mengekspor barang tersebut.
Tranter
mengatakan izin itu bukti Australia sedang mencoba untuk meningkatkan
penjualan ke negara-negara yang terlibat dalam perang Yaman.
"Kami benar-benar terlibat dengan para pemain yang berpotensi terlibat dalam kegiatan keji di Yaman," katanya.
"Anda berbicara tentang kejahatan perang, bukti kejahatan perang yang banyak."
Photo: Seorang ayah memberi air kepada anaknya yang mengalami kekurangan gizi di sebuah rumah sakit di Yaman. (AP: Hani Mohammed)
Dokumen-dokumen
FOI yang banyak disunting itu tidak menunjukkan perusahaan Australia
mana yang menerima izin, siapa pelanggan internasional mereka, atau
bahkan barang apa yang akan mereka ekspor.
"Bahkan
anggota Oposisi yang telah mencoba untuk mengambil informasi ini dari
Pemerintah diizinkan untuk mengetahui," kata Tranter.
Pada
Agustus tahun ini, PBB merilis laporan yang menuduh koalisi pimpinan
Saudi atas serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan
udara acak dan penjara rahasia yang dikelola UEA menggunakan penyiksaan
dan pembunuhan. Laporan itu juga meminta komunitas internasional untuk
menghentikan penjualan senjata ke kubu koalisi.
Mantan
anggota Parlemen Australia, Melissa Parke, adalah salah satu penulis
laporan tersebut. Ia mengatakan pemerintah yang menjadi anggota PBB
harus berhati-hati ketika mempertimbangkan masalah ekspor militer.
"Negara-negara
anggota yang membantu para pihak dalam konflik akan ingin memastikan
bahwa mereka tidak membantu dan bersekongkol dengan kejahatan perang,"
kata Parke.
"Dan bahwa mereka tidak melanggar
kewajiban yang mungkin mereka miliki di bawah perjanjian seperti
perjanjian perdagangan senjata."
Australia menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata internasional, yang mulai berlaku pada 24 Desember 2014.
Photo:
Melissa Parke adalah mantan anggota Parlemen dari Partai Buruh yang
bertugas di sebuah panel ahli PBB yang tahun lalu menyerahkan laporan
yang menguliti perilaku UEA dan Arab Saudi dalam perang di Yaman. (ABC News)
Kesepakatan senjata diawasi
Ada
pertanyaan tentang kesepakatan ekspor perusahaan pertahanan Australia,
baru-baru ini, untuk memasok sistem senjata bertenaga tinggi, yang
menurut sumber mungkin terikat untuk UEA. Electro Optic Systems (Sistem
Optik Elektro), yang lebih dikenal sebagai EOS, adalah perusahaan
teknologi pertahanan dan antariksa Australia dengan ambisi untuk menjadi
pemimpin dunia dalam sistem senjata jarak jauh generasi berikutnya.
Sistem
ini adalah kumpulan sensor, kamera, dan laser yang dipasang di sekitar
meriam kecil atau senapan mesin berat. Mereka dibangun di atas tumpukan
yang berputar yang dapat ditempelkan di atap truk militer atau dek kapal
angkatan laut.
Hal ini memungkinkan seorang
prajurit untuk menembak dengan aman di dalam kendaraan dan bisa
memperoleh target hingga beberapa kilometer jauhnya sendirian. Pada
bulan Januari, EOS mengumumkan kesepakatan senilai 410 juta dolar AS
(atau setara Rp 4,1 triliun) untuk memasok sistem persenjataan.
Dua orang mengatakan kepada ABC bahwa pengguna akhir adalah Uni Emirat Arab (UEA)
Pelanggan sistem senjata belum terkonfirmasi
Sistem
EOS, yang dikenal sebagai RWS, sudah digunakan oleh militer Australia.
Pada bulan Januari, perusahaan mengumumkan telah mencapai kesepakatan
untuk mengekspor versi terbarunya, R400S-Mk2, ke pelanggan luar negeri.
Ketika
ditanya tentang kesepakatan itu, EOS mengatakan dalam sebuah pernyataan
bahwa mereka belum bisa "mengonfirmasi atau membantah" bahwa UEA adalah
pelanggan luar negeri atau pengguna akhir-nya.
"Pengungkapan
identitas pengguna akhir bisa menurunkan dampak teknologi, dan bukan
menjadi kepentingan nasional," sebut pernyataan EOS ketika mereka
mengumumkan kesepakatan tersebut.
EOS menolak
wawancara dengan ABC tetapi mengatakan dalam serangkaian pernyataan
bahwa sistem persenjataannya berada "di antara produk yang paling diatur
di pasar pertahanan".
Perusahaan itu menyatakan
pihaknya "saat ini" tidak memegang lisensi ekspor Pemerintah Australia
yang akan memungkinkan mereka untuk mengekspor peralatan militer ke UEA.
"Tak
ada alasan untuk percaya bahwa UEA tidak akan memenuhi syarat sebagai
penerima lisensi ekspor dari negara manapun, termasuk AS dan Australia",
sebut perusahaan itu juga.
EOS mengatakan tidak ada
barang mereka yang berada di Yaman dan mereka tidak memainkan peran apa
pun - langsung atau tidak langsung - dalam konflik Yaman.
Analis
ekonomi pertahanan Australia, Marcus Hellyer, mengatakan kepada ABC,
kesepakatan senilai 410 juta dolar (atau setara Rp 4,1 triliun) itu
"sangat besar menurut standar Australia".
Hellyer
mengatakan nilai dari kesepakatan EOS mewakili lebih dari seperempat
dari semua ekspor yang dilisensikan oleh Departemen Pertahanan Australia
pada tahun keuangan terakhir.
Photo: Kendaraan taktis ini dilengkapi dengan kanon 30 mm dan senjata mesin 7,62 mm. (Supplied: EOS)
Dukungan pemerintah
Pemerintah
Australia juga telah membantu mendukung kesepakatan itu, disebut-sebut
sebagai "perluasan utama kemampuan industri pertahanan" oleh EOS, yang
memiliki kapitalisasi pasar sebesar 200 juta dolar (atau setara Rp 2
triliun). Catatan keuangan perusahaan itu sendiri menunjukkan lembaga
kredit ekspor Pemerintah, EFIC (Korporasi Keuangan dan Asuransi Ekspor),
memberikannya lebih dari 33 juta dolar AS (atau setara Rp 330 miliar)
tahun ini dalam obligasi kinerja yang terhubung ke RWS.
Sebagai
perbandingan, tahun ini Australia telah menyumbang 23 juta dolar AS
(atau setara Rp 230 miliar) dalam bantuan kemanusiaan ke Yaman. Menteri
Pertahanan Australia, Christopher Pyne, tampaknya memainkan peran
penting dalam mengamankan kesepakatan saat ia masih menjabat Menteri
Industri Pertahanan, menurut pernyataan Januari yang dirilis oleh EOS
ketika mengumumkan kesepakatan 410 juta dolar AS (atau setara Rp 4,1
triliun).
"Christopher Pyne telah mengunjungi ibu
kota negara asing dengan saya untuk memberikan jaminan Australia sebagai
mitra dan pemasok pertahanan yang bisa diandalkan bagi para sekutunya,"
kata pernyataan itu.
"Upaya dan dukungan ini diakui."
Penilaian kesepakatan ekspor pertahanan
Pyne
mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Australia mempertimbangkan
semua aplikasi ekspor militer berdasarkan kasus per kasus, sesuai dengan
ketentuan kontrol ekspor.
"Ketentuan-ketentuan ini
mencerminkan kewajiban internasional kami, termasuk Perjanjian
Perdagangan Senjata, dan termasuk penilaian terhadap kriteria legislatif
dari kewajiban internasional, hak asasi manusia, keamanan nasional,
keamanan regional dan kebijakan luar negeri," kata sang Menteri.
"Penilaian
ini termasuk pertimbangan apakah ada risiko besar yang bisa digunakan
barang-barang ekspor untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran
serius terhadap hukum humaniter internasional atau hukum hak asasi
manusia."
Departemen Pertahanan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Australia tidak terlibat dalam konflik Yaman.
Pernyataan
itu mengatakan departemen itu tidak merilis rincian aplikasi ekspor
individu atau izin karena pertimbangan komersial-dalam keyakinan.
Pemerintah Australia terus membuat pernyataan tentang pentingnya akses
kemanusiaan tanpa hambatan ke Yaman.