Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull
menyatakan Australia akan sangat prihatin jika ada pangkalan militer
asing dibangun di Pasifik Selatan. (AFP Photo/Peter Parks)
Jakarta, CB -- Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyatakan Australia
akan sangat prihatin jika ada pangkalan militer asing dibangun di
Pasifik Selatan. Pernyataan itu disampaikan Turnbull menanggapi kabar
bahwa Beijing sedang membahas pembangunan pangkalan militer di Vanuatu.
Meski
begitu, Turnbull menyatakan dirinya diyakinkan oleh Komisaris
Tinggi/Duta Besar Vanuatu bahwa tidak ada permintaan China untuk
membangun pangkalan militer seperti dimaksud.
"Memelihara
perdamaian dan stabilitas di Pasifik adalah hal yang terpenting bagi
kami," kata dia kepada wartawan seperti dilansir CNN, Selasa (10/4).
Vanuatu, negara di pulau kecil berpenduduk 282.000 orang tersebut
terletak di Pasifik Selatan, dekat Australia, Selandia Baru dan Papua
Nugini. Letaknya hanya 2.500 kilometer dari pantai Australia.
Negeri
itu telah lama menjadi penerima bantuan terbesar Australia. Namun dalam
beberapa tahun terakhir, juga menerima ratusan juta dolar hibah maupun
pinjaman dari pemerintah China.
Kabar soal rencana pembangunan
pangkalan militer China di Vanuatu dilaporkan pertama kali oleh media
Australia, Fairfax Media, Selasa. Kabar itu langsung dibatah oleh para
pejabat Vanuatu dan Australia.
Menteri Luar Negeri Australia,
Julie Bishop juga turut berusaha meredam kabar itu dengan menyatakan
bahwa Vanuatu masih berada dalam pengaruh Canberra.
"Saya tetap yakin bahwa Australia masih menjadi pilihan Vanuatu sebagai mitra strategis," kata Bishop kepada
ABC Australia.
Namun stasiun televisi Australia,
Nine News mengutip pejabat kementerian pertahanan mengklaim bahwa pemerintah China tertarik untuk meningkatkan kehadiran di Vanuatu.
Pemerintah Vanuatu telah membantah kabar itu dan menepis anggapan adanya
pembicaraan kedua negara terkait pembangunan pangkalan militer China
tersebut.
"Kami adalah negara non-blok. Kami tidak tertarik
dengan militerisasi, kami tidak tertarik dengan pangkalan militer apapun
di negara kami," kata Menteri Luar Negeri Vanuatu Ralph Regenvanu
seperti dilansir
ABC.
Juru bicara Kementerian Luar
Negeri China, Geng Shuang menyatakan kabar rencana pembangunan pangkalan
militer di Vanuatu itu sebagai 'berita palsu'.
Meresahkan Amerika SerikatJika
benar, pembangunan pangkalan militer di Vanuatu juga bakal meresahkan
Amerika Serikat. Euan Graham, Direktur Program Keamanan Internasional di
Sydney Lowy Institute mengatakan bahwa mereka yang memandang ke seluruh
Pasifik melihat titik geostrategis akan peduli jika benar China akan
meningkatkan kehadiran di Pasifik Selatan.
Meski tidak melihat
Vanuatu bakal menyepakati pembangunan pangkalan militer yang permanen,
Graham berpendapat bahwa hal yang mungkin adalah pembangunan fasilitas
yang dapat dipakai bersama, yang bisa memberikan akses bagi kapal-kapal
Angkatan Laut China ke negeri itu.
China memiliki hubungan
diplomatik dengan beberapa negara Pasifik, dan menjadi sponsor utama
beragam proyek pembangunan dan bantuan di Vanuatu, Tonga, Papua Nugini
dan Fiji.
Berdasarkan makalah Profesor Yu Chang Sen dari Pusat Studi Oseania,
Universitas Sun Yat-sen, Guangzhou,China, antara tahun 2000 dan 2012,
China menawarkan sekitar 30 proyek besar ke negara-negara Kepulauan
Pasifik, termasuk pembangunan gedung-gedung dan infrastuktur rsmi
pemerintah, seperti jalan raya, jembatan dan stasiun pembangkit listrik
tenaga air.
Secara khusus di Vanuatu, China memberikan pinjaman
dan hibah senilai US$243 juta sejak 200 hingga Juni 2016, berdasarkan
data Lowy Institute Sydney. Meski jumlahnya besar, angka itu jauh di
bawah yang diberikan Australia selama 10 tahun yakni US$400 juta.
Bantuan
keuangan China di Vanuatu terutama pada sektor pembangunan
infrastruktur utama. sEperti Luganville International Wharf di Pulau
Espiritu Santo. Fasilitas dermaga yang dapat menampung dua kapal angkut
ukuran menengah, atau satu kapal pesiar.
Dermaga yang dibangun oleh Shanghai Construction Group, digambarkan
Duta Besar China untuk Vanuatu sebagai tonggak baru kerja sama kedua
negara di bidang pembangunan infrastruktur.
Ambisi Militer ChinaDalam beberapa tahun terakhir, Beijing melebarkan pengaruh maritimnya di luar Asia Timur.
China
secara resmi mendirikan pangkalan militer internasional pertamanya di
Djibouti pada Juli tahun lalu, lokasi yang strategis di Tanduk Afrika.
Hal ini diikuti beberapa bulan kemudian dengan akuisisi Pelabuhan
Hambantota di Sri Lanka yang kontroversial.
Malcolm Davis,
pengamat senior di Australian Strategis Policy Institute, Sydney
menggambarkan bahwa kesepakatan Hambantota, dimana Sri Lanka menyewakan
pelabuhan itu selama 99 tahun kepada China untuk menebus hutang miliaran
dolar kepada Beijing, sebagai bagian dari 'sebuah gambaran yang lebih
besar'.
"Semakin banyak Anda berinvestasi dalam inisiatif Belt
and Road, semakin banyak China memaksa negara Anda untuk menyelaraskan
politik dalam hal kebijakan," kata Davis seperti dilansir
CNN tahun lalu, mengacu pada strategi pembangunan internasional China, China One Belt One Road (OBOR).
"Jadi,
Anda menjadi bergantung pada investasi dan kemurahan hati mereka, dan
Anda cenderung tidak mengkritik mereka dan Anda lebih mungkin untuk
mengakomodasi kepentingan mereka secara strategis."
Di bawah Presiden Xi Jinping, kepentingan-kepentingan strategis itu
telah bergeser, dengan Angkatan Laut China khususnya telah menjalani
transformasi yang signifikan, sejalan dengan kebangkitan China sebagai
kekuatan global.
Adapun Angkatan Laut China, yang sebelumnya
defensif dan terbatas di perairannya, kini menyatakan telah memiliki
kemampuan perairan biru, artinya mereka dapat beroperasi di mana saja
demi kepentingan China.
Credit
cnnindonesia.com