Hubungan persahabatan Soeharto dan Lee
Kuan Yew berawal dari sebuah perseteruan. Meski pulih, hubungan
RI-Singapura kerap mengalami pasang surut. (Reuters/Timothy Sim)
Jakarta, CB
--
Tahun 1968. Di Indonesia, Orde Lama baru saja
tumbang dan Orde Baru bersemi di bawah naungan Soeharto. Sementara itu,
Singapura baru saja lepas dari Malaysia berkat perjuangan Lee Kuan Yew.
Dua pemimpin tersebut sempat berseteru.
Adalah Usman dan Harun,
dua prajurit Indonesia yang dijatuhi hukuman mati karena melakukan
pengeboman di Orchard Road, Singapura, pada 1965, saat Indonesia tengah
berkonfrontasi dengan Malaysia sebelum Singapura memisahkan diri.
Soeharto
yang baru saja memimpin Indonesia secara terbuka meminta kepada Lee
untuk memberikan keringanan hukuman kepada kedua warga tersebut.
Permintaan ditolak, Usman dan Harun dieksekusi pada 17 Oktober 1968.
Indonesia berang.
Kedatangan jenazah Usman dan Harun ke Tanah Air
disambut besar-besaran. Murka, Kedutaan Besar Singapura di Jalan
Indramayu, Menteng, akhirnya diserbu massa.
Dua tahun berselang,
Lee dan Soeharto bertatap muka pertama kali pada Konferensi Tingkat
Tinggi Gerakan Non Blok di Lusaka, Zambia.
“Kami bicara sekitar
30 menit di villa Soeharto mengenai perkembangan regional dan saat itu
kami banyak menemukan kesepahaman pandangan,” ujar Lee seperti dikutip
buku Pak Harto The Untold Stories terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.
Pertemuan yang membekas tersebut lantas berlanjut dengan rencana Lee
untuk mengunjungi Indonesia. Namun, Soeharto mengajukan syarat, yaitu
Lee harus menaburkan bunga di makam Usman dan Harun di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta. Lee pun menyanggupinya.
"Entah dengan
pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam
Usman dan Harun," tulis utusan penghubung RI pada kasus Usman dan Harun,
Abdul Rachman Ramly, dalam buku Pak Harto The Untold Story.
Hubungan Indonesia dan Singapura pun pulih.
Perjanjian
demi perjanjian diikatkan demi membangun perekonomian kedua negara.
Soeharto mengizinkan Singapura menanamkan modal asing di Indonesia. Lee
Kuan Yew bahkan sempat diminta untuk bahu-membahu membangun Batam.
Hingga
akhirnya Soeharto digulingkan melalui gerakan Reformasi pada 1998, Lee
masih menaruh kekaguman terhadap sahabatnya tersebut. Ia sempat
meragukan penggantinya, BJ Habibie, yang dianggap tidak mampu memulihkan
perekonomian Indonesia yang anjlok akibat krisis moneter.
"Nanti
kalaupun Habibie jadi presiden, dolar akan tembus Rp 16 ribu," kata
Habibie menuturkan pendapat Lee saat ia baru saja dilantik. Di hadapan
mahasiswa Universtias Paramadina pada 2008 lalu, Habibie mengaku tak
menanggapi perkataan Lee.
"Saya diam dan terus bekerja sampai akhirnya dolar bisa saya stop ke angka Rp6.500," tutur Habibie.
Perkembangan
tersebut ternyata juga tak lepas dari pengamatan Singapura. Melihat
pesatnya kemajuan tersebut, Lee akhirnya mengirimkan surat resmi melalui
Tanri Abeng.
"(Isi suratnya) 'Saya (Lee) salah tentang Anda
(Habibie).' Itu namanya intelektual. Dia jantan mengakui kesalahannya,"
ucap Habibie.
Saat Soeharto dirawat di rumah sakit, Lee pun
menyempatkan diri untuk bertandang dan menjenguknya sebelum akhirnya
wafat pada 2008.
“Saya ingin menghormatinya sebagai sahabat lama
dan rekan yang tangguh. Soeharto layak mendapatkan pengakuan atas
kontribusi hidupnya terhadap Indonesia dan dunia luar,” kata Lee.
Di
tengah hawa segar hubungan bilateral, tiba-tiba Lee kembali menyulut
api. Pada 2002, Lee menyinggung keberadaan tokoh Majelis Mujahidin
Indonesia, Abu Bakar Baasyir, yang masuk dalam daftar pencarian polisi
Singapura dan Malaysia.
Dalam sebuah acara, Lee berkata,
"Singapura tetap berada dalam kondisi berisiko dari serangan teroris
karena para pimpinan wilayah teroris masih berkeliaran di Indonesia."
Pemerintahan
Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri geram.
Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan sangat menyesalkan pernyataan Lee.
SBY
menganggap pernyataan tersebut tidak layak dilontarkan. Pasalnya,
intelijen Indonesia dan Singapura tengah menjalin kerja sama untuk
menangani terorisme.
"Langkah itu sedang dilakukan dan bukannya
kita diam saja. Jadi, Jangan terlalu cepat mengatakan ada terorisme dan
Indonesia menjadi sarang pentolan," kata SBY kala itu.
Mendukung
pernyataan SBY, Ketua MPR RI kala itu, Amien Rais, juga bertutur,
"Kalau perlu Indonesia menuntut Lee meminta maaf untuk menghindari
ketidakharmonisan hubungan bilateral Indonesia-Singapura."
Setelah
naik tahta menjadi presiden, SBY juga kembali menegur Lee. Singapura
sebagai tempat persembunyian strategis bagi koruptor Indonesia dianggap
ogah-ogahan melakukan perjanjian ekstradisi yang sudah diteken pada
2007, tapi terbengkalai.
"Saya sampaikan pada Lee, ada satu
agenda kerja sama yang dulu hampir diberlakukan, tapi terhenti, yaitu
kerja sama di bidang ekstradisi, sekaligus kerja sama di bidang
pertahanan. Tetapi tiba-tiba terhenti," ujar SBY di Istana Bogor, Jawa
Barat, pada 13 Maret 2012, setelah bertemu dengan Perdana Menteri
Singapura, Lee Hsien Loong.
Meskipun hubungan antara Indonesia
dan Singapura, khususnya Lee, selalu mengalami gelombang pasang surut,
tapi pemerintah tetap menganggap Bapak Singapura Modern tersebut sebagai
inspirasi.
Ketika Lee wafat pada Senin (13/3) dini hari, dua
kepala pemerintahan Indonesia menyampaikan belasungkawa. "Indonesia
sangat berduka atas wafatnya Lee Kuan Yew, pemikirannya selalu memberi
inspirasi untuk Asia," ujar Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, dalam
pernyataan tertulisnya yang diterima CNN Indonesia, Jakarta, Senin.
Menunjukkan
rasa hormat kepada Lee, Presiden RI, Joko Widodo, juga dikabarkan akan
hadir dalam upacara Pemakaman Kenegaraan pada Minggu (29/3).
"Pemerintah
dan rakyat Indonesia berkeyakinan bahwa Singapura akan dapat melalui
masa sulit ini dan tumbuh berkembang sesuai aspirasi bangsa dan
rakyatnya," kata Jokowi.
Lee Kuan Yew merupakan Perdana Menteri Singapura pertama. Lee menjabat dari tahun 1959 hingga mengundurkan diri pada tahun 1990.
Menggadang
Lee sebagai inspirasi bagi dunia dianggap sangat pantas oleh banyak
kalangan. Selama masa kepemimpinan Lee, Singapura berkembang dari negara
Dunia Ketiga menjadi salah satu negara maju di dunia, meskipun hanya
mempunyai sedikit penduduk dan sumber daya alam.
Dari berbagai
pemberitaan, Lee kerap berkata bahwa satu-satunya sumber daya alam
Singapura adalah rakyatnya dan tekad mereka dalam bekerja.
Selama
menjabat, Lee menerima berbagai tanda penghargaan, termasuk "Order of
the Companions of Honour" pada 1970, "Knight Grand Cross of the Order of
St Michael and St George" pada 1972, "Freedom of the City" di London
pada 1982, "Order of the Crown of Johore First Class" pada 1984 dan
"Order of the Rising Sun" pada 1967.
Lee juga sempat menulis dua
buku memoar. Buku bertajuk "The Singapore Story" berisikan pandangan
Lee mengenai sejarah Singapura hingga negara itu keluar dari Federasi
Malaysia pada 1965. Dalam buku lainnya, "From Third World to First: The
Singapore Story," Lee menuangkan pandangannya mengenai perubahan
Singapura menjadi negara maju.
Awal Februari lalu, Lee dilaporkan menderita penyakit pneumonia parah dan dirawat di rumah sakit.
Seperti dilansir Reuters, Lee meninggal di Rumah Sakit General, Singapura pada pukul 3.18 waktu setempat.
Credit
CNN Indonesia