Tampilkan postingan dengan label KAMBOJA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAMBOJA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Mei 2018

Akhir The Phnom Penh Post, Bencana bagi Kebebasan Pers Kamboja




Surat kabar harian The Phnom Penh Post. [AP]
Surat kabar harian The Phnom Penh Post. [AP]

CB, Jakarta - Pembelian The Phnom Penh Post oleh investor Malaysia, yang memiliki hubungan dekat dengan Perdana Menteri Hun Sen menjadi bencana bagi kebebasan pers menjelang pemilihan umum.
Dikutip dari Reuters, Senin 7 Mei 2018, kelompok hak asasi dunia menyebut Hun Sen telah membungkam kritik, politikus oposisi, media merdeka, dan kelompok hak asasi menjelang pemilihan umum pada 29 Juli mendatang.

Hun Sen telah berkuasa selama 33 tahun dan menjadikannya sebagai penguasa terlama di dunia.

PM Kamboja, Hun Sen bereaksi atas pertanyaan jurnalis saat dia berjaalan dengan PM Australia Malcolm Turnbull di sela-sela KTT Asean--Australia, 16 Maret 2018. Reuters
The Phnom Pen Post merupakan surat kabar harian berbahasa Inggris telah berdiri sejak 1992 dan membangun reputasi sebagai media merdeka yang berani mengkritik pemerintah dengan berbagai isu mulai dari pembalakan liar hingga korupsi. Alih kepemilikan The Phnom Penh Post diumumkan langsung oleh pemilik sebelumnya, Bill Clough, ketua Post Media Ltd., yang menerbitkan The Phnom Penh Post.

Pemilik baru The Phnom Penh Post adalah investor asal Malaysia, Sivakumar Ganapthy, yang juga menjadi direktur perusahaan relasi publik yang memiliki hubungan dekat dengan Pemerintah. Ganapathy adalah direktur dari perusahaan konsultan publik Asia yang bermarkas di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pada Senin 7 Mei 2018, pemimpin redaksi The Phnom Penh Post, Kay Kimsong, dipecat karena mengizinkan penerbitan artikel soal penjualan surat kabar ini. Selain Kimsong, dua staf lain juga dipecat. Sementara sejumlah jurnalis senior The Phnom Penh Post juga mengundurkan diri usai pemecatan.

Pemimpin Redaksi The Phnom Penh Post, Kay Kimsong, melambaikan tangan saat keluar usai dipecat dari surat kabar harian The Phnom Penh Post di Phnom Penh, Kamboja, 7 Mei 2018. [Reuters]
Pemilik baru berujar isi artikel soal penjualan The Phnom Penh Post sangat memalukan.
Wakil Direktur Pengawas Hak Asasi Asia menyebut penjualan surat kabar ini menjadi bencana bagi kebebasan pers di Kamboja.

Huy Vannak, Wakil Menteri Dalam Negeri mengatakan pemerintah menyambut semua investor di Kamboja. Namun Vannak tidak menyoal hubungan pemilik baru surat kabar dengan pemerintah.
Tahun lalu 30 stasiun radio ditutup dan Cambodia Daily, surat kabar berbahasa Inggris pesaing The Phnom Penh Post, juga ditutup akibat digugat untuk membayar pajak jutaan dolar Amerika Serikat oleh pemerintah.
Kebebasan media muncul sejak misi PBB pada awal 1990 ke Kamboja untuk membangun demokrasi setelah genosida dan isolasi. Namun harapan untuk membangun Kamboja yang berdemokrasi hancur seiring pemerintahan Hun Sen menumbuhkan intoleransi terhadap kritik. Pada tahun 2018 Reporters Without Borders menerbitkan indeks kebebasan pers yang menempatkan Kamboja dari posisi 132 ke 142.




Credit  tempo.co






Selasa, 24 April 2018

Bertemu Senat, Raja Kamboja: Lindungi Keadilan dan HAM Rakyat


Raja Kamboja Norodom Sihamoni mendesak para senator untuk melindungi keadilan dan HAM seluruh rakyat. [VOA}
Raja Kamboja Norodom Sihamoni mendesak para senator untuk melindungi keadilan dan HAM seluruh rakyat. [VOA}

CB, Jakarta - Raja Kamboja, Norodom Sihamoni mendesak para senator untuk melindungi keadilan dan HAM seluruh rakyat.
Pernyataan raja disampaikan di hadapan majelis tinggi parlemen Kamboja yang bertemu untuk pertama kalinya sejak partai yang berkuasa meraih suara terbanyak dalam pemilihan yang kontraversial pada Februari lalu.

"Senat harus menjamin untuk melindungi keadilan dan hak asasi manusia untuk meningkatkan kebahagiaan di masyarakat kita," kata raja Sihamoni, seperti dilansir Reuters pada 23 April 2018.
Raja Sihamoni juga mengingatkan tentang tugas Senat untuk melindungi hak konstitusional dasar dan demokrasi, serta kebebasan dan kepentingan semua orang.
Pernyataan raja tersebut muncul di tengah kritikan luas terhadap dugaan kecurangan oleh Partai Rakyat Kamboja atau CPP pimpinan Perdana Menteri Hun Sen  pada pemilu Februari lalu.

CPP memenangkan semua kursi yang diperebutkan dalam pemilihan 25 Februari 2018 setelah banyak pendukung oposisi dilucuti hak untuk memilih pada akhir tahun lalu.
Kelompok HAM  dan para pemimpin oposisi menyebut pemungutan suara sebagai palsu dan tidak demokratis. Sementara pemerintah negara-negara Barat menghentikan bantuan dan menjatuhkan sanksi terhadap Kamboja termasuk pembatasan perjalanan para anggota senior CPP.
CPP memenangkan 58 dari 62 kursi Senat Kamboja. Sisanya merupakan anggota yang ditunjuk oleh raja Kamboja dan Majelis Nasional.





Credit  tempo.co






Selasa, 17 April 2018

Indonesia Diharapkan Bantu Atasi Demokrasi Lumpuh di Kamboja


Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta
Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta

CB, Jakarta - Oposisi Kamboja berharap pada Indonesia untuk memainkan perannya di ASEAN dan kawasan agar secara moral membimbing negara-negara kawasan maju dalam hal demokrasi. Sam Rainsy, mantan ketua Partai Penyelamat Kamboja Nasional atau CNRP, menyebut Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, yang telah berpengalaman dalam menerapkan demokrasi. Rainsy bahkan meminta Indonesia hadir sebagai pemantau dalam pelaksanaan pemilu Kamboja 29 Juli.   
Dalam kunjungannya ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta, pada Senin, 16 April 2018, Rainsy mengatakan pihaknya tidak bisa berharap banyak pada ASEAN untuk menengahi masalah demokrasi di Kamboja saat ini. Namun setidaknya oposisi Kamboja bisa mengharapkan konektifitas ASEAN untuk saling membantu negara anggota.
“Jika Anda menghormati HAM, jika Anda mempromosikan sistem pemerintahan yang baik yang menentang korupsi, maka kita bersama-sama mempromosikan persahabatan ASEAN yang baru. Kami berharap ASEAN bisa memperkuat demokrasi dan perdamaian di Kamboja,” kata Rainsy.


Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta

Kamboja dalam dua tahun terakhir diselimuti ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen membubarkan oposisi. Ketegangan semakin memuncak jelang diselenggarakannya pemilu pada 29 Juli 2018 mendatang. Hun Sen dikatakan Rainsy, tidak bisa menerima hal-hal yang bertentangan dengannya.
Menurut Rainsy, pemerintah Kamboja saat ini sangat bergantung pada Cina setelah dijatuhi sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sayangnya, Cina memanfaatkan kebergantungan ini untuk meminta Kamboja memblokir agar ASEAN tidak mengeluarkan satu suara soal sengketa Laut Cina Selatan. Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa ini dengan Cina adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina. 






Credit  TEMPO.CO




Oposisi Sebut Kamboja Diambang Bangkrut, Ini Penyebab Utamanya


Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. AP Photo/Heng Sinith
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. AP Photo/Heng Sinith

CB, Jakarta - Kamboja berada dalam situasi mengkhawatirkan saat ini. Secara keuangan, Kamboja bangkrut.
Mu Sochua, mantan Wakil ketua Partai Penyelamat Kamboja Nasional atau CNRP dan mantan anggota parlemen Kamboja, mengatakan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, telah berutang uang sangat banyak ke Cina, Asian Development Bank atau ADB dan Bank Dunia. Uang itu digunakan Hun Sen untuk memperkuat dukungan baginya.
“Rezim ini bergantung pada 1 orang, yakni Hun Sen. Saat ini Cina mulai berpikir jika Hun Sen meninggal, maka rezim ini bisa tidak stabil. Sedangkan ADB sekarang sudah tidak mau lagi memberikan pinjaman pada pemerintah Kamboja,” kata Sochua, saat berkunjung ke kantor Tempo, di Jakarta, Senin, 16 April 2018.
Pernyataan Sochua itu, dibenarkan oleh Sam Rainsy, mantan Ketua Partai CNRP,  partai oposisi terbesar Kamboja ini sudah dibubarkan oleh Hun Sen. Rainsy mengatakan, masyarakat Kamboja sangat ingin merdeka. Sebab selama ini, Hun Sen bergantung pada eksternal seperti Cina, bukan kepada masyarakat Kamboja.
Setelah dijatuhi sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, sekitar 80 persen garmen Kamboja di ekspor ke Cina. Kondisi ini tak banyak menguntungkan karena Cina pun memproduksi garmen. Ekonomi Kamboja sebagian besar digerakkan oleh industri tekstil.          


Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta

Rainsy pun membandingkan Hun Sen dengan pemimpin negara ASEAN lainnya seperti Lee Kuan Yew dari Singapura, Mahathir Mohammad-Malaysia dan Indonesia di bawah pemerintahan mantan presiden Soeharto. Pemimpin di ketiga negara tersebut, mampu mengangkat perekonomian negara yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik. Namun Kamboja di bawah kepemimpinan Hun Sen selama 30 tahun, perekonomiannya mengalami kemandekan.
Hun Sen yang tak berpendidikan tinggi telah menguasai ekonomi Kamboja, sistem kesehatan di Kamboja masih dibilang buruk, begitu pun kualitas tenaga kerjanya. Walhasil, Kamboja sulit untuk bersaing.  
Kalangan muda Kamboja umumnya merantau ke Thailand dan Malaysia karena pemerintah Kamboja sulit menyediakan lapangan kerja. Hun Sen disebut Rainsy bahkan tak peduli dengan perekonomian Kamboja.






Credit  tempo.co





Senin, 16 April 2018

Oposisi Kamboja Sam Rainsy Minta Dukungan Jepang


Para pelajar melepaskan balon saat perayaan Hari Kemerdekaan di Phnom Penh, Kamboja, 9 November 2015. Kamboja merayakan hari kemerdekaannya yang ke-62. AP/Heng Sinith
Para pelajar melepaskan balon saat perayaan Hari Kemerdekaan di Phnom Penh, Kamboja, 9 November 2015. Kamboja merayakan hari kemerdekaannya yang ke-62. AP/Heng Sinith

CB, Jakarta - Pemimpin oposisi Kamboja yang diasingkan, Sam Rainsy, mendesak Jepang agar menggunakan pengaruhnya untuk memastikan pemilu Kamboja pada 29 Juli nanti akan berlangsung demokratis. Jepang adalah negara donor terbesar di Kamboja.

Dikutip dari situs scmp.com pada Senin, 16 April 2018, Rainsy mengatakan pihaknya sangat berharap Jepang dan jaringan bisnisnya mau mengirimkan pesan kepada Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, bahwa dia perlu memperbaiki demokrasi Kamboja atau terancam menghadapi isolasi. Rainsy, Ketua oposisi partai Penyelamat Kamboja Nasional atau CNRP, telah dilarang untuk ikut pemilu dan kunjungannya ke Tokyo untuk menggalang dukungan dari para pelaku bisnis dan politisi Jepang agar bisa maju dalam pemilu 29 Juli 2018.
“Jepang punya pengaruh yang cukup besar untuk membantu memulihkan proses demokrasi. Jika Jepang menarik diri dari Kamboja, maka Hun Sen akan terisolasi sepenuhnya dan Kamboja akan berada dalam jurang masalah,” kata Rainsy.


Sam Rainsy. (AP Photo/Heng Sinith)
Saat ini, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa telah menangguhkan bantuan dana ke Kamboja menyusul penyelenggaraan pemilu Juli nanti. Dengan begitu, Jepang telah menjadi negara satu-satunya yang menjaga hubungan baik dengan rezim Hun Sen. Negara Sakura itu untungnya saat ini mulai menyoroti sikap pemerintah Kamboja membredel media-media di negara dan eksekusi terhadap para politisi oposisi.
Hun Sen sudah berkuasa di Kamboja lebih dari 3 dekade. Rentan waktu itu masih belum cukup baginya, dimana dia telah mendeklarasikan niatnya untuk kembali memimpin Kamboja setidaknya sampai 10 tahun ke depan.  




Credit  TEMPO.CO





Senin, 09 April 2018

Jepang-Kamboja tandatangani perjanjian bantuan Rp900 miliar


Jepang-Kamboja tandatangani perjanjian bantuan Rp900 miliar
PM Kamboja, Hun Sen (Reuters)



Phnompenh (CB) - Jepang menandatangani perjanjian hibah dan pinjaman dengan Kamboja senilai lebih dari 900 miliar rupiah pada Minggu, meskipun masyarakat antarbangsa mengkhawatirkan penumpasan oleh Perdana Menteri Hun Sen terhadap penentang pemerintah menjelang pemilihan umum pada Juli.

Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono dan timpalan Kamboja-nya, Prak Sokhonn, menandatangani perjanjian hibah 4,6 juta dolar (Rp46 miliar lebih) dan pinjaman 86 juta dolar (sekitar 860 miliar rupiah) untuk pembangunan ekonomi dan tenaga listrik di ibukota Kamboja, Phnompenh.

Oposisi utama Partai Penyelamatan Bangsa Kamboja (CNRP) dibubarkan pada November atas permintaan pemerintah, mendorong beberapa negara Barat mengutuk tindakan keras itu, memotong bantuan, dan memberlakukan larangan visa pada beberapa anggota partai berkuasa.

Kelompok hak asasi manusia dan anggota oposisi mendesak Tokyo untuk mengambil sikap lebih kuat terhadap Hun Sen, tapi Jepang menyatakan akan terus mendukung pemilihan umum dan tidak akan mencampuri yang dikatakannya urusan dalam negeri Kamboja.

Hun Sen pada Minggu memuji Jepang atas bantuan keuangannya, tapi mengecam para penentang.

"Sementara Jepang, teman, memberikan bantuan kepada Kamboja, beberapa orang jahat meracuni berita itu seburuk yang mereka lakukan," kata Hun Sen di Facebook-nya.

Dalam pertemuan dengan Hun Sen pada Minggu, menteri luar negeri Kono menyatakan Jepang akan membantu Kamboja untuk menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas pada 2030, kata pembantu Hun Sen, Eang Sophalleth.

Dalam pernyataan baru-baru ini kepada Reuters, Kentaro Sonoura, penasihat Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, mendesak pesaing politik Kamboja mengadakan pembicaraan untuk mengakhiri kemelut politik.






Credit  antaranews.com




Jumat, 23 Maret 2018

45 Negara Kecam Hun Sen, Minta Tokoh Oposisi Dibebaskan


Letnan Jenderal, Hun Manet, merupakan kepala staf gabungan Angkatan Bersenjata Kamboja. Reuters.
Letnan Jenderal, Hun Manet, merupakan kepala staf gabungan Angkatan Bersenjata Kamboja. Reuters.

CB, Phnom Penh -- Sebanyak 45 negara menyerukan kepada pemerintahan Kamboja, yang dipimpin PM Hun Sen, untuk mengaktifkan kembali partai oposisi, melepaskan para pemimpinnya yang dipenjara dan memastikan pemilu pada Juli 2018 berjalan adil dan bebas.
Pernyataan 45 negara menyangkut kondisi HAM ini dibacakan oleh Selandia Baru, yang menyoroti kekhawatiran mendalam terkait menurunnya hak-hak politik dan kebebasan sipil di Kamboja.

"Kami mendesak pemerintah Kamboja untuk mengambil semua langkah yang diperlukan sebelum semuanya terlambat untuk memastikan pemilu 2018 berlangsung bebas, adil dan kredibel," begitu bunyi pernyataan yang dibacakan utusan pemerintah Selandia Baru, seperti dilansir Reuters, Kamis, 22 Maret 2018.

Pernyataan 45 negara ini ditujukan juga kepada Dewan HAM PBB, yang berkantor di Jenewa, Swiss. Negara-negara ini mendesak Hun Sen untuk kembali mengaktifkan Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) dan semua anggotanya. Negara yang ikut memberikan pernyataan ini adalah Amerika Serikat, Jerman, Australia, dan Inggris.

Letnan Jenderal, Hun Manet, merupakan kepala staf gabungan Angkatan Bersenjata Kamboja. Reuters.
Sejak dua tahun terakhir pemerintahan Hun Sen menangkap sejumlah tokoh oposisi dengan tudingan mereka bekerja sama dengan AS untuk menjatuhkan pemerintahannya, yang telah berlangsung 33 tahun.
Pemimpin CNRP ditangkap pada September 2017 dan dikenai dakwaan penghianatan, berkolusi dengan AS untuk menjatuhkan pemerintahan Kamboja, yang sah.
Kem dan Kedubes AS telah membantah tudingan itu. Saat ini, Kem bakal menjalani persidangan dengan hukuman maksimal 30 tahun.
Pernyataan tadi juga menyebut nama Kem Sokha secara spesifik agar dibebaskan. "Kami meminta semua tahanan politik dibebaskan termasuk Kem Sokha."
Mengenai ini, juru bicara pemerintah Kamboja, Phay Siphan, mengatakan pemerintah menolak tunduk pada desakan dunia internasional. "Kami anggota setara di PBB," kata Phay kepada Reuters. "Ini pelanggaraan kedaulatan Kamboja." Menurut dia, pemilu akan digelar berdasarkan hukum Kamboja.


Sebelumnya, Hun Sen dikecam karena berkata kasar kepada rakyat Kamboja yang bakal berdemonstrasi sambil membakar foto dan patung kecil mirip dia di Australia saat berlangsung KTT Asean -- Australia pada pekan lalu.
“Gila dan bodoh. Jangan main-main dengan Hun Sen, kalian semua masih lemah. Untuk satu kali pukulan, kalian akan hilang ingatan hanya gara-gara membakar foto Hun Sen. Jadi, jika Anda memainkan permainan Hun Sen, maka saya akan menyeret Anda bermain,” kata Hun Sen, menanggapi aksi protes yang terjadi di Australia, seperti dikutip oleh Phnompenh Post, Senin, 5 Maret 2018.
Julie Heckscher, asisten pertama Sekretaris Urusan Departemen Asia Tenggara, mengatakan Duta Besar Australia, Angela Corcoran, telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Kamboja, Prak Sokhonn, membahas perangai Hun Sen ini.
"Jelas bahwa ancaman-ancaman (Hun Sen) itu terlihat berbahaya. Ada kebebasan berekspresi dan berpendapat di Australia. Ancaman dilakukan di tanah Australia tidak bisa diterima pemerintah Australia," kata Julie.



Credit  tempo.co



Rabu, 14 Maret 2018

Oposisi Kamboja di Australia Tak Takut Ancaman Hun Sen



Perdana Menteri Kamboja Hun Sen berpidato saat membuka pertemuan tingkat menteri  ASEAN-Eropa ke 17 di Phnom Penh, Kamboja (28/5). Foto: AP/Heng Sinith
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen berpidato saat membuka pertemuan tingkat menteri ASEAN-Eropa ke 17 di Phnom Penh, Kamboja (28/5). Foto: AP/Heng Sinith

CB, Jakarta - Para pendukung kubu oposisi Kamboja bertekad akan tetap menggelar aksi protes di luar gedung penyelenggaraan pertemuan ASEAN-Australia i Sydney, meskipun mendapat ancaman dari pendukung setia Perdana Menteri Hun Sen. Aksi protes itu terbilang berani setelah Hun Sen memperingatkan akan mengejar dan memukuli para demonstran yang membakar fotonya.


Hun Sen. AP/Heng Sinith
Menurut para penggalang  protes ,  jumlah demonstran diperkirakan bertambah setelah Bou Rachana, janda analis politik Kem Ley yang tewas dibunuh, mendesak para diaspora Kamboja yang ada di penjuru Australia bergabung bersamanya dalam demonstrasi anti Hun Sen. Sebelumnya beberapa bulan lalu Perdana Menteri Kamboja telah memenjarakan Kem Sokha, Ketua partai Penyelamat Nasional Kamboja atau CNRP dan membredel surat kabar Cambodia Daily serta sebuah stasiun radio karena memberitakan negatif soal Hun Sun.     
Seperti dikutip dari situs www.theaustralian.com.au pada Selasa, 13 Maret 2018, Rachana, yang sedang mengandung, melarikan diri ke Thailand bersama empat anaknya pada 2016 menyusul pembunuhan terhadap suaminya yang dikenal pengkritik ulung Hun Sen. Rachana dan anak-anaknya sudah tiba di kota Melbourne pada akhir bulan lalu setelah mendapatkan suaka dari Australia.

Juru bicara aksi unjuk rasa dalam pertemuan ASEAN-Australia, Genevieve Kang, mengatakan meskipun tidak ada yang mengharapkan Hun Sen secara pribadi menjalankan ancamannya, namun para pengikut setia Hun Sen dalam diaspora Kamboja kemungkinan akan melakukannya.
Kang pun mengaku kecewa ketika Hun Sen mengeluarkan ancaman, namun pemerintah Australia tidak mengatakan apapun. Hal ini sangat mengecewakan oposisi Kamboja yang ada di Australia karena mereka berharap Menteri Luar Negeri Julie Bishop atau Perdana Menteri Malcom Turnbull setidaknya bisa mengatakan bahwa ancaman tersebut salah. Pertemuan ASEAN-Australia akan diselenggarakan di Sydney pada 15 Maret sampai 18 Maret 2018.





Credit  TEMPO.CO





Rabu, 28 Februari 2018

Hun Sen ingin Kamboja Punya Satu Partai seperti Cina?



Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. AP Photo
Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. AP Photo

CB, Phnom Penh - Setelah menyapu bersih kursi pada pemilu legislatif 25 Februari 2018 kemarin, Partai Rakyat Kamboja (CPP), yang diketuai Perdana Menteri Hun Sen, mencoba meyakinkan masyarakat soal keuntungan satu partai berkuasa dan mayoritas. CPP menceritakan kesuksesan Cina sebagai contohnya.
Juru bicara CPP yang baru, Sok Eysan, seperti dilansir dari Phnompenhpost pada Selasa, 27 Februari 2018, mengatakan hasil pemilu legislatif yang dimenangkan CPP tidak perlu diragukan. Kemenangan ini sebaliknya akan membuat CPP lebih mudah menciptakan stabilitas.  
“Kita pernah melihat dua partai di Dewan Nasional dan apa yang bisa kita ambil manfaat dari dua partai di Dewan Nasional itu?,” kata Eysan.
 


Surat kabar bergambar Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. REUTERS
Pemilu pada akhir pekan lalu itu, yang diikuti oleh empat partai,  dimenangkan CPP, yang diketuai oleh Perdana Menteri Hun Sen. CPP mendapat 58 kursi dari total 62 kursi yang diperebutkan. Dengan raihan ini, maka CPP hampir dipastikan mengendalikan banyak sektor di Kamboja dan meningkatkan jumlah kursi di Dewan Nasional.
Sebelumnya pada Senin, 26 Februari 2018, Eysan mengatakan sebuah tindakan yang sangat keliru untuk tidak menghormati CPP. Dia beralasan memiliki satu partai, yang mendominasi dua majelis di parlemen, akan lebih mudah menghapuskan segala bentuk tantangan legislatif. Dia pun membandingkan Cina yang perekonomian maju pesat di bawah kepemimpinan satu partai.
“Cina itu populasinya terbanyak di dunia dan bagaimana kita bisa mengatakan mereka (pemerintah) otoriter? Negara itu bahkan sekarang menjadi negara dengan perekonomian terbesar,” kata Eysan.


Dia pun membandingkan Cina dengan Amerika Serikat, yang memiliki dua partai besar, yakni partai Republik dan partai Demokrat. Dia menyoroti jalan buntu yang dihadapi Kongres Amerika Serikat dan Presiden Donald Trump atas undang-undang anggaran pengeluaran.




Credit  TEMPO.CO




Selasa, 27 Februari 2018

Uni Eropa Pertimbangkan Jatuhkan Sanksi pada Kamboja


Seorang warga Kamboja memberikan suaranya saat pemilihan senat di tempat pemungutan suara di Takhmau di Provinsi Kandal, tenggara Phnom Penh, Kamboja, Ahad (25/2).

Seorang warga Kamboja memberikan suaranya saat pemilihan senat di tempat pemungutan suara di Takhmau di Provinsi Kandal, tenggara Phnom Penh, Kamboja, Ahad (25/2).
Foto: AP Photo/Heng Sinith


Partai penguasa Kamboja mengaku merebut semua kursi Senat dalam pemilihan umum.


CB, BRUSSELS -- Uni Eropa mengancam menjatuhkan sejumlah sanksi ekonomi pada Kamboja setelah partai penguasa di negara itu mengaku merebut semua kursi Senat dalam pemilihan umum, Senin (26/2).

Pemilihan umum itu mendapat kecaman karena banyak pendukung kelompok oposisi tidak mendapatkan hak memilih. Kementerian Luar Negeri Uni Eropa dalam pernyataan tertulis mengaku mempertimbangkan sejumlah tindakan terbatas terhadap Kamboja. Pernyataan itu adalah peringatan bagi Perdana Menteri Hun Sen bahwa sejumlah pejabat tinggi pemerintahannya akan terkena sanksi.


photo

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen.



Uni Eropa juga mengaku meninjau ulang kebijakan perdagangan, yang memberi perlakuan khusus bagi barang asal Kamboja karena menerima laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh sang perdana menteri, yang telah berkuasa 30 tahun, menjelang pemilihan umum pada Juli mendatang.

"Dewan Uni Eropa mendesak Kamboja untuk segera memulihkan demokrasi. Menimbang perkembangan terbaru, Uni Eropa akan mempertimbangkan sejumlah tindakan terbatas jika situasinya tidak segera membaik," kata Kementerian Luar Negeri Uni Eropa.

Uni Eropa juga mengaku akan meningkatkan pengawasan terhadap semua perjanjian dagang dengan Kamboja yang membuat negara Asia Tenggara itu bisa mengekspor berbagai macam barang bebas tarif, termasuk baju dan produk tekstil, ke Uni Eropa, sebuah kumpulan negara dengan total pasar mencapai 500 juta orang.

Partai oposisi utama di Kamboja, Partai Penyelamat Nasional (CRNP) dibubarkan oleh pengadilan pada November tahun lalu atas permintaan pemerintah. CRNP juga mengaku 5.062 anggota mereka tidak mendapatkan hak pilih.

Pembubaran itu terjadi setelah penangkapan terhadap pemimpin CNRP, Kem Sokha yang diduga merencanakan kudeta terhadap pemerintah yang sah dengan bantuan dari Amerika Serikat. Tudingan itu dibantah oleh Amerika Serikat dan Kem Sokha.

Hasil awal dari pemilihan umum itu, yang disiarkan penguasa, Partai Rakyat Kamboja (CPP), pada akhir pekan lalu menunjukkan mereka merebut 58 dari 62 kursi di Senat, yang membuat tiga partai sisa tidak mendapatkan apa pun.






Credit  republika.co.id





Senin, 26 Februari 2018

Hun Sen Berangus Oposisi, Jerman Hentikan Visa Khusus



Hun Sen Berangus Oposisi, Jerman Hentikan Visa Khusus
Keluarga Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, phnompenhpost.com

CB-Phnom Penh -- Pemerintah Jerman menyatakan menghentikan penerbitan visa khusus untuk perjalanan pribadi para anggota kabinet Kamboja, termasuk Perdana Menteri Hun Sen.
Sikap ini diambil setelah Hun Sen melakukan serangkaian tindakan yang memberangus kelompok oposisi.


“Kantor Urusan Luar Negeri mengkonfirmasi penghentian penerbitan visa khusus untuk perjalanan pribadi pejabat Kamboja, termasuk Perdana Menteri Hun Sen, dan keluarganya, pejabat tinggi militer, dan pejabat di lingkungan kepresidenan Kamboja,” kata Susanne Beger-Blum, juru bicara Kantor Urusan Luar Negeri Federal Jerman, kepada Reuters lewat surat elektronik, Kamis, 22 Februari 2018. Berita ini juga dilansir media lokal Kamboja, Khmer Times, yang melansir,"Pemerintah Jerman mendorong mitra di Uni Eropa melakukan langkah serupa."

 
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. ANTARA FOTO/(Dokumentasi JK)
Ini merupakan langkah terbaru dari pemerintahan negara-negara barat terhadap Hun Sen. Ini menyusul terjadinya pembubaran Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) pada tahun lalu lewat Mahkamah Agung. Partai CNRP merupakan rival utama Hun Sen.
Kelompok Asasi Manusia menyatakan Hun Sen dan sekutunya meningkatkan serangan dan intimidasi terhadap para lawan politik menjelang pemilihan umum pada tahun ini. Para aktivis menuding Hun Sen cs menyalahgunakan sistem peradilan untuk memperkarakan para pengkritik dan memaksa lembaga pers independen tutup.
Uni Eropa juga telah menutup pendanaan bagi pemilu Kamboja pada 2018 karena dinilai bukan sebuah pemilihan setelah absennya kelompok oposisi sebagai partai yang memiliki legitimasi.
Pemimpin CNRP, Kem Sokha, ditangkap pada tahun lalu karena dituding memplot kudeta terhadap pemerintah dengan bantuan AS. Dia dan AS membantah tuduhan itu.
Juru bicara Partai Rakyat Kamboja, Sok Eysan, mengatakan pemerintah belum mendapat pemberitahuan resmi. “Jika kami tidak bisa pergi ke Jerman, kami tidak akan mati,” kata Sok. Baru-baru ini, Hun Sen mengancam akan memukuli demonstran yang membakar foto dan patung mini dirinya di Australia pada saat KTT Asean - Australia nanti.




Credit  TEMPO.CO





Kamis, 15 Februari 2018

Parlemen Kamboja Sahkan UU Serupa Lese Majeste Thailand


Parlemen Kamboja Sahkan UU Serupa Lese Majeste Thailand
Parlemen Kamboja mengesahkan undang-undang yang melarang penghinaan terhadap raja dan keluarganya. (AFP Photo/Fred Dufour)



Jakarta, CB -- Parlemen Kamboja mengesahkan beleid yang melarang penghinaan terhadap keluarga kerajaan, Rabu (14/2). RUU tersebut serupa dengan Undang-undang Lese Majeste yang berlaku di negara tetangganya Thailand, hukum yang meresahkan para aktivis hak-hak asasi manusia (HAM).

Undang-undang Lese Majeste memberi wewenang jaksa untuk mengajukan tuntutan pidana atas nama kerajaan melawan siapa saja yang dianggap menghina raja dan keluarganya.

Mereka yang terbukti bersalah bakal dikenakan hukuman antara satu dan lima tahun penjara dan denda antara US$500 (sekitar Rp7 juta) hingga US$2.500 (sekitar Rp35,7 juta).


"Sebuah penghinaan adalah ungkapan melalui kata-kata, isyarat, tulisan, lukisan atau obyek yang mempengaruhi martabat pribadi," kata Pen Panha, Ketua Komisi Legislasi dan Kehakiman Parlemen.

Meski Raja Norodom Sihamoni secara resmi merupakan Kepala Negara Kamboja, tetapi pemerintahan negeri di Asia Tenggara itu dikendalikan Perdana Menteri Hun Sen selama 33 tahun terakhir.



Kelompok pegiat HAM mengkhawatirkan undang-undang baru itu akan digunakan untuk membidik para pengkritik pemerintah. Kekhawatiran yang selama ini dirasakan para aktivis HAM Thailand, dimana UU Lese Majeste mengancam para pelanggarnya dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun.

Jumlah kasus pelanggaran UU Lese Majeste di Thailand terus meningkat sejak kudeta militer 2014. Kecaman terhadap pemerintah junta militer Thailand menyebut UU Lese Majeste digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat.

"Ada bahaya nyata undang-undang ini bakal diterapkan kepada para pengkritik pemerintah, seperti yang terjadi di Thailand," kata Chak Sopheap, Direktur Eksekutif Pusat HAM Kamboja, seperti dilaporkan Reuters.

Tahun lalu, penguasa Kamboja membubarkan partai oposisi Partai Penyelamat Nasional Kamboja. Pemimpinnya, Kem Sokha ditangkap dengan tuduhan pengkhianatan. Sokha menyatakan tuduhan terhadap dia bermotif politik.

Tindakan keras itu diambil menjelang pemilihan umum Juli mendatang. Dimana PM Hun Sen tampaknya tak terkalahkan.

Undang-undang baru yang mengatur larangan terhadap penghinaan terhadap raja dan keluarga itu harus diadopsi Senat dan ditandatangani Raja Kamboja sebelum resmi berlaku. Kedua syarat tersebut formalitas belaka.




Credit  cnnindonesia.com




Jumat, 02 Februari 2018

Menlu Kamboja ke Indonesia Bahas Penguatan Kerja Sama Militer


Menlu Kamboja ke Indonesia Bahas Penguatan Kerja Sama Militer
Kamboja berniat meningkatkan kerja sama pertahanan, farmasi dan pengelolaan produk halal lewat lawatan Menlu Prak Sokhonn ke Jakarta, Jumat (2/2) (REUTERS/Samrang Pring)


Jakarta, CB -- Kamboja berniat untuk meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan dengan Indonesia. Niatan tersebut akan disampaikan Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn dalam lawatan ke  Indonesia 1-3 Februari. Menlu Sokhonn dijadwalkan bertemu Menlu RI Retno Marsudi, Jumat (2/2).

“Menlu Sokhonn rencananya tiba di Jakarta malam ini dan bertemu Menlu Retno bsk pagi. Salah satu fokus pertemuan keduanya adalah peningkatan kapasitas dalam bidang pertahanan seperti pertukaran pendidikan militer,”  kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Christiawan Nasir kepada wartawan di Jakarta, Kamis (1/2).

Selain peningkatan kerja sama pertahanan, kedua menlu juga akan mendiskusikan penguatan kerja sama ekonomi seperti investasi, pertanian, pariwisata, dan teknologi.



Arrmanatha mengungkapkan Kamboja juga tertarik mempelajari produk farmasi dan pengelolaan produk halal. 

Berdasarkan data Kemlu RI, nilai perdagangan RI-Kamboja selama periode Januari hingga Oktober 2017 mencapai US$441,5 juta

Dia mengatakan banyak investor asal Indonesia yang juga menanamkan modalnya di Kamboja. Nilai investasi Indonesia di negara itu bahkan mencapai US$350 juta pada 2016 lalu.

Selain isu bilateral, masalah ASEAN juga akan menjadi perhatian dalam pertemuan kedua menlu. Juga rencana peringatan 60 tahun hubungan RI-Kamboja pada 2019.



Credit  cnnindonesia.com





Kamis, 30 November 2017

PM Kamboja Kunjungi Cina Cari Bantuan Tambahan


Perdana Menteri Kamboja Hun Sen tiba di Phnom Penh International Airport sebelum terbang ke Cina di Phnom Penh, Kamboja, Rabu (29/11).
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen tiba di Phnom Penh International Airport sebelum terbang ke Cina di Phnom Penh, Kamboja, Rabu (29/11).


CB, PHNOMPENH -- Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di bawah tekanan pemodal Barat atas tindakan keras terhadap penentangnya menjelang pemilihan umum pada 2018, akan mencari bantuan serta modal tambahan dari Cina selama kunjungannya pada pekan ini, kata pembantunya.

Tangan kanan Hun Sen, Sry Thamrong, mengatakan perdana menteri itu akan menghadiri temu puncak khusus pada 30 November-3 Desember, yang akan diselenggarakan Partai Komunis Cina (CPC) dengan partai politik lain di bawah arahan Presiden Cina Xi Jinping dengan pembahasan upaya mengubah dunia menjadi lebih baik dan tanpa gangguan.

Hun Sen juga akan bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping dan pemodal Cina untuk membicarakan bantuan dan penanaman modal dengan tujuan menciptakan lebih banyak lapangan kerja di Kamboja.

"Hal utama penting adalah kami memerlukan lebih banyak jembatan di Sungai Mekong. Kami juga membutuhkan lebih banyak jalan raya, jalur kereta api, kereta ringan. Itu semua kami butuhkan pada masa depan," kata Sry Thamrong kepada wartawan di bandar udara antarbangsa Phnompenh sebelum berangkat.

Cina menjadi donor terbesar dan pendukung Hun Sen dalam menghadapi kritik atas apa yang lawan-lawannya katakan sebagai penghancuran demokrasi.

Partai oposisi Penyelamat Bangsa Kamboja (CNRP) dinyatakan terlarang pada awal bulan ini oleh Mahkamah Agung, atas permintaan pemerintah, menyusul penangkapan pemimpinnya Kem Sokha yang merencanakan pengambilalihan kekuasaan dengan bantuan Amerika.

Amerika Serikat telah menghentikan pendanaan pemilihan umum menjelang penyelenggaraan di tahun berikutnya dan mengancam akan menerapkan langkah-langkah nyata lebih lanjut. Uni Eropa meningkatkan ancaman kepada Kamboja dalam hal bebas bea.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID






Senin, 20 November 2017

Hun Sen Persilakan Amerika Pangkas Semua Dana untuk Kamboja



Hun Sen Persilakan Amerika Pangkas Semua Dana untuk Kamboja
Hun Sen Klaim Partainya Menang

CB, Jakarta - Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja dari tahun 1998 hingga sekarang menantang Amerika Serikat untuk memangkas semua bantuannya menjelang pemilu tahun depan.
"Samdech Techo Hun Sen mengatakan pemangkasan bantuan Amerika Serikat tidak akan menewaskan pemerintah, melainkan hanya akan membunuh sekelompok orang yang menjalankan kebijakan-kebijakan Amerika," ujar Fresh News, media pendukung pemerintah Kamboja seperti dikutip dari Reuters, 19 November 2017.


Fresh News tidak melaporkan nama kelompok yang menjalankan kebijakan Amerika di Kamboja seperti tudingan Hun Sen.

Menurut Fars News, Hun Sen dalam pidatonya di hadapan para buruh garmen mengatakan dirinya menyambut keputusan Amerika memangkas bantuannya. Hun Sen kemudian mendesak Amerika untuk memangkas semua bantuannya.
Pernyataan Hun Sen itu dipicu pengumuman Amerika pada Jumat lalu tentang pemangkasan bantuan dana untuk membantu pemilihan umum Kamboja.


Amerika juga meminta Kamboja membebaskan pemimpin CNRP, Kem Sokha dan memulihkan kembali aktivitas CNRP.
Pengumuman Amerika ini dikeluarkan setelah Pengadilan Mahkamah membubarkan partai oposisi terbesar Partai Penyelamat Nasional Kamboja atau CRP atas permintaan pemerintah. Pengadilan Mahkamah juga melarang 118 anggota partai CNRP terlibat dalam kegiatan politik selama 5 tahun.
April lalu, Kedutaan Amerika mengumumkan akan meyediakan bantuan US$ 1,8 juta untuk membantu pemilu lokal tahun ini dan pemilihan umum tahun depan.


Di situs resmi Kementerian Luar Negeri Amerika dilaporkan, bantuan untuk program keshatan, pendidikan, pemerintah, pertumbuhan ekonomi, dan pembersihan senjata yang tidak meledak senilai lebih dari US477,6 juta tahun 2014.
Sebelumnya, Hun Sen telah memastikan diri untuk maju dalam pemilu tahun depan. Ia bahkan membenarkan akan menjadi kepala pemerintahan terlama di Asia Tenggara.




Credit  TEMPO.CO








Jumat, 17 November 2017

Partai oposisi utama Kamboja dibubarkan Mahkamah Agung


Partai oposisi utama Kamboja dibubarkan Mahkamah Agung

PM Kamboja, Hun Sen (Reuters)



Phnompenh (CB) - Mahkamah Agung Kamboja membubarkan partai oposisi utama pada Kamis, menyisakan Perdana Menteri Hun Sen, yang tampak jelas memperpanjang kekuasaannya selama tiga dasawarsa dalam pemilihan umum pada tahun depan.

Pemerintah meminta pengadilan membubarkan Partai Penyelamatan Bangsa Kamboja (CNRP), yang dituduh berencana mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dari Amerika Serikat setelah pemimpin partai itu, Kem Sokha, ditangkap pada 3 September.

Putusan pengadilan itu juga memerintahkan pelarangan politik lima tahun untuk 118 anggota partai oposisi. Hal tersebut mengancam tantangan utama pemilihan umum bagi Hun Sen, mantan komandan Khmer Merah, yang menjadi perdana menteri terlama di dunia.

Dalam pidato di televisi, Hun Sen mengatakan kepada warga Kamboja bahwa pemilihan umum tersebut dilanjutkan "seperti biasa" dan meminta anggota CNRP, yang tidak mendapat pelarangan, berpihak kepada partainya.

CNRP menolak tuduhan tersebut karena bermotif politik. Partai tersebut tidak mengirim pengacara untuk putusan pengadilan.

"Ini menunjukkan bahwa Hun Sen tidak akan pernah berhenti jika tidak ada yang menghentikannya," kata Kem Monovithya, putri Kem Sokha dan juga pejabat partai, "Putusan itu telah diharapkan. Sudah saatnya sanksi dari masyarakat internasional."

Penyumbang dana dari Barat, yang mensponsori pemilu yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1993 dengan harapan bisa menciptakan demokrasi yang abadi, telah meminta pembebasan Kem Sokha.

Namun, mereka tidak menunjukkan minatnya untuk memberikan sanksi terhadap pemerintah Kamboja, yang sekarang terkait erat dengan China. Misi diplomatik AS dan Uni Eropa di Kamboja menolak memberikan komentar segera mengenai keputusan pengadilan tersebut.

Di samping meningkatkan anti-AS. retorika dan menghubungkan AS dengan dugaan rencana terhadapnya, Hun Sen memuji Presiden AS Donald Trump pada sebuah pertemuan puncak regional pada akhir pekan dan mengatakan bahwa dia menyambut baik kebijakannya untuk tidak melakukan interferensi.

Puluhan polisi pengawal berjaga di luar lapangan yang berhiaskan perhiasan emas di pusat kota Phnom Penh.

Hingga saat ini, tidak ada tanda protes, demikian Reuters.




Credit  antaranews.com









Rabu, 04 Oktober 2017

Wakil pemimpin oposisi lari dari Kamboja, khawatirkan keselamatan



Wakil pemimpin oposisi lari dari Kamboja, khawatirkan keselamatan
PM Kamboja, Hun Sen (Reuters)



Phnompenh, 3/10 (CB) - Wakil pemimpin oposisi bersuara lantang tahanan Kamboja lari dari negara itu pada Selasa, dengan mengatakan bahwa ia takut akan keselamatannya setelah Perdana Menteri Hun Sen mengancam penangkapan lebih lanjut atas politisi oposisi.

Kem Sokha, pemimpin Partai Penyelamatan Bangsa Kamboja (CNRP), ditangkap pada 3 September dan didakwa melakukan pengkhianatan dalam tindakan keras meluas terhadap penentang Hun Sen, yang lawannya katakan adalah siasat untuk menang dalam pemilihan umum tahun depan.

"Tanpa oposisi sejati dan dengan ketakutan luas, tidak ada harapan untuk pemilihan umum bebas dan adil pada 2018," kata Mu Sochua, 63, kepada Reuters sesudah meninggalkan Kamboja, dengan menambahkan bahwa ia "merasa tidak aman".

"Demokrasi di Kamboja dengan cepat terkikis ke titik tidak ada lawan tersisa untuk melawan kediktatoran," kata wanita itu.

Juru bicara pemerintah Phay Siphan menyatakan Mu Sochua "pergi atas pilihannya sendiri" dan ia tidak tahu apakah pihak berwenang berencana menangkapnya.

Mu Sochua dikenal di mancanegara atas upayanya memerangi perdagangan seks dan menegaskan hak perempuan serta menjadi politisi lawan paling lantang di Kamboja sejak Kem Sokha ditangkap dan dituduh berencana mengambil alih kekuasaan dengan bantuan Amerika Serikat.

Ia mengatakan kepada Reuters pada pekan lalu bahwa sekitar setengah dari anggota parlemen asal CNRP meninggalkan negara itu karena takut.

Hun Sen, yang memerintah lebih dari tiga dasawarsa, pada Senin mengancam menangkap lebih banyak politisi oposisi, menyebut mereka "pemberontak di kota" untuk mengadakan "revolusi warna" meski gagal pada masa lalu.

Negara Barat mengecam penangkapan Kem Sokha dan menyerukan pembebasannya, dengan mengatakan meragukan kepercayaan akan pemilihan umum pada tahun depan, tapi mereka tidak memberikan tanda mengambil tindakan terhadap pemerintah itu.

Sementara itu, China menyuarakan dukungan bagi pemerintah Hun Sen, 65. Ia adalah mantan komandan di Khmer Merah, yang membelot dari kelompok itu, yang pemunahannya menghancurkan Kamboja pada 1970-an.

Keuntungan kuat CNRP pada pemilihan anggota dewan daerah pada Juni menunjukkan pertarungan sengit bagi Hun Sen dalam pemilihan umum pada tahun depan.

Meski bertahun-tahun pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 7 persen, yang membantu mengubah Kamboja dari negara gagal, kemarahan rakyat berkembang karena ketidaksetaraan dan tuduhan perkoncoan.

Dalam tanggapan pertamanya sejak ditangkap, Kem Sokha di Facebook pada Senin menyatakan mengupayakan perubahan baik di Kamboja melalui kotak suara dan tidak melalui revolusi seperti yang dituduhkan. Salah satu dari tiga wakilnya tetap berada di Kamboja.

Bukti terhadap Kem Sokha adalah video dari 2013, yang menunjukkan ia mengatakan kepada pendukungnya bahwa ia mendapat dukungan dari orang Amerika Serikat untuk mendapatkan kekuasaan.




Credit  antaranews.com