CB, Jakarta - Oposisi Kamboja
berharap pada Indonesia untuk memainkan perannya di ASEAN dan kawasan
agar secara moral membimbing negara-negara kawasan maju dalam hal
demokrasi. Sam Rainsy, mantan ketua Partai Penyelamat Kamboja Nasional
atau CNRP, menyebut Indonesia adalah salah satu negara demokrasi
terbesar di dunia, yang telah berpengalaman dalam menerapkan
demokrasi. Rainsy bahkan meminta Indonesia hadir sebagai pemantau dalam
pelaksanaan pemilu Kamboja 29 Juli.
Dalam kunjungannya ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta, pada Senin, 16 April 2018, Rainsy mengatakan pihaknya tidak bisa berharap banyak pada ASEAN untuk menengahi masalah demokrasi di Kamboja saat ini. Namun setidaknya oposisi Kamboja bisa mengharapkan konektifitas ASEAN untuk saling membantu negara anggota.
“Jika Anda menghormati HAM, jika Anda mempromosikan sistem pemerintahan yang baik yang menentang korupsi, maka kita bersama-sama mempromosikan persahabatan ASEAN yang baru. Kami berharap ASEAN bisa memperkuat demokrasi dan perdamaian di Kamboja,” kata Rainsy.
Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta
Kamboja dalam dua tahun terakhir diselimuti ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen membubarkan oposisi. Ketegangan semakin memuncak jelang diselenggarakannya pemilu pada 29 Juli 2018 mendatang. Hun Sen dikatakan Rainsy, tidak bisa menerima hal-hal yang bertentangan dengannya.
Menurut Rainsy, pemerintah Kamboja saat ini sangat bergantung pada Cina setelah dijatuhi sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sayangnya, Cina memanfaatkan kebergantungan ini untuk meminta Kamboja memblokir agar ASEAN tidak mengeluarkan satu suara soal sengketa Laut Cina Selatan. Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa ini dengan Cina adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina.
Dalam kunjungannya ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta, pada Senin, 16 April 2018, Rainsy mengatakan pihaknya tidak bisa berharap banyak pada ASEAN untuk menengahi masalah demokrasi di Kamboja saat ini. Namun setidaknya oposisi Kamboja bisa mengharapkan konektifitas ASEAN untuk saling membantu negara anggota.
“Jika Anda menghormati HAM, jika Anda mempromosikan sistem pemerintahan yang baik yang menentang korupsi, maka kita bersama-sama mempromosikan persahabatan ASEAN yang baru. Kami berharap ASEAN bisa memperkuat demokrasi dan perdamaian di Kamboja,” kata Rainsy.
Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta
Kamboja dalam dua tahun terakhir diselimuti ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen membubarkan oposisi. Ketegangan semakin memuncak jelang diselenggarakannya pemilu pada 29 Juli 2018 mendatang. Hun Sen dikatakan Rainsy, tidak bisa menerima hal-hal yang bertentangan dengannya.
Menurut Rainsy, pemerintah Kamboja saat ini sangat bergantung pada Cina setelah dijatuhi sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sayangnya, Cina memanfaatkan kebergantungan ini untuk meminta Kamboja memblokir agar ASEAN tidak mengeluarkan satu suara soal sengketa Laut Cina Selatan. Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa ini dengan Cina adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina.
Credit TEMPO.CO