BOGOTA
- Sejumlah tentara Venezuela yang membelot dari pemerintah Presiden
Nicolas Maduro Moror ke Kolombia mengaku mencemaskan keselamatan
keluarga mereka. Para pembelot takut, keluarga mereka akan diserang
pasukan loyalis rezim Maduro.
Orla Guerin, salah satu pembelot berusia 23 tahun mengatakan kepada BBC bahwa ia mencemaskan nasib keluarganya yang hidup di bawah kekuasaan rezim Maduro. "Pasukan yang setia kepada presiden dapat menyerang keluarga saya," katanya, yang dilansir Senin (25/2/2019).
"Tapi saya pikir ini adalah keputusan terbaik yang bisa saya buat," ujarnya, membela pembelotan yang dia lakukan.
Orla Guerin, salah satu pembelot berusia 23 tahun mengatakan kepada BBC bahwa ia mencemaskan nasib keluarganya yang hidup di bawah kekuasaan rezim Maduro. "Pasukan yang setia kepada presiden dapat menyerang keluarga saya," katanya, yang dilansir Senin (25/2/2019).
"Tapi saya pikir ini adalah keputusan terbaik yang bisa saya buat," ujarnya, membela pembelotan yang dia lakukan.
Lebih
dari 100 tentara Venezuela telah membelot, yang sebagian besar terjadi
selama bentrokan mematikan atas pengiriman bantuan pada hari Sabtu pekan
lalu.
Ketegangan meningkat setelah Presiden Maduro mengirim pasukan untuk memblokir jalan dan jembatan di wilayah yang berbatasan dengan Brasil dan Kolombia. Dua negara itu menjadi tempat pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan dari Amerika Serikat dan sedang diupayakan kubu oposisi agar bisa masuk ke Venezuela.
Di berbagai titik persimpangan, pasukan keamanan Venezuela menembakkan gas air mata ke sukarelawan dan pemrotes yang membakar pos-pos dan melemparkan batu ke arah tentara dan polisi antihuru-hara.
Beberapa orang terkejut dengan adegan kekerasan akhir pekan lalu ketika pasukan Venezuela menembaki warga sipil dengan gas air mata dan peluru karet.
Berbicara dengan BBC dengan syarat anonim, sekelompok desertir Venezuela yang berbasis di sebuah gereja di CĂșcuta menggambarkan apa yang mendorong mereka untuk meninggalkan pasukan bersenjata rezim Presiden Maduro.
"Ada banyak pasukan profesional yang ingin melakukan ini. Ini akan menjadi efek domino. Ini akan memiliki pengaruh signifikan pada angkatan bersenjata," kata seorang pembelot pria berusia 29 tahun.
"Angkatan Bersenjata telah hancur karena begitu banyak perwira korup. Militer profesional lelah. Kita tidak bisa tetap menjadi budak, kita membebaskan diri kita sendiri," ujarnya.
Seorang pembelot lainnya, seorang wanita, menggambarkan suasana hati pada hari Sabtu sebagai sesuatu yang menegangkan. "Saya berpikir saya tidak bisa membahayakan rakyat saya sendiri," ujarnya.
"Putri saya masih di Venezuela dan itu yang paling menyakitkan. Tapi saya melakukan ini untuknya. Sulit karena saya tidak tahu apa yang mungkin mereka lakukan padanya," lanjut dia.
Ketegangan meningkat setelah Presiden Maduro mengirim pasukan untuk memblokir jalan dan jembatan di wilayah yang berbatasan dengan Brasil dan Kolombia. Dua negara itu menjadi tempat pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan dari Amerika Serikat dan sedang diupayakan kubu oposisi agar bisa masuk ke Venezuela.
Di berbagai titik persimpangan, pasukan keamanan Venezuela menembakkan gas air mata ke sukarelawan dan pemrotes yang membakar pos-pos dan melemparkan batu ke arah tentara dan polisi antihuru-hara.
Beberapa orang terkejut dengan adegan kekerasan akhir pekan lalu ketika pasukan Venezuela menembaki warga sipil dengan gas air mata dan peluru karet.
Berbicara dengan BBC dengan syarat anonim, sekelompok desertir Venezuela yang berbasis di sebuah gereja di CĂșcuta menggambarkan apa yang mendorong mereka untuk meninggalkan pasukan bersenjata rezim Presiden Maduro.
"Ada banyak pasukan profesional yang ingin melakukan ini. Ini akan menjadi efek domino. Ini akan memiliki pengaruh signifikan pada angkatan bersenjata," kata seorang pembelot pria berusia 29 tahun.
"Angkatan Bersenjata telah hancur karena begitu banyak perwira korup. Militer profesional lelah. Kita tidak bisa tetap menjadi budak, kita membebaskan diri kita sendiri," ujarnya.
Seorang pembelot lainnya, seorang wanita, menggambarkan suasana hati pada hari Sabtu sebagai sesuatu yang menegangkan. "Saya berpikir saya tidak bisa membahayakan rakyat saya sendiri," ujarnya.
"Putri saya masih di Venezuela dan itu yang paling menyakitkan. Tapi saya melakukan ini untuknya. Sulit karena saya tidak tahu apa yang mungkin mereka lakukan padanya," lanjut dia.
Pembelot ketiga mengaku merasa sakit melihat orang-orang Venezuela di jalanan berjuang untuk meminta bantuan kemanusiaan.
"Saya merasa impoten dan tidak berguna. Saya merasakan sakit untuk semua yang terjadi," katanya.
Krisis politik Venezuela mulai memanas ketika Ketua Majelis Nasional (Parlemen) yang dikuasai oposisi, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden interim negara itu. Guaido tidak mengakui hasil pemilu 2018 yang dimenangkan kubu Presiden Maduro.
Pengakuan Guaido itu didukung Amerika Serikat dan banyak negara lain, termasuk negara-negara Amerika Latin. Namun, Rusia, China, Turki, Iran dan negara lainnya tetap mendukung Maduro sebagai pemimpin sah yang terpilih melalui pemilu 2018.
"Saya merasa impoten dan tidak berguna. Saya merasakan sakit untuk semua yang terjadi," katanya.
Krisis politik Venezuela mulai memanas ketika Ketua Majelis Nasional (Parlemen) yang dikuasai oposisi, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden interim negara itu. Guaido tidak mengakui hasil pemilu 2018 yang dimenangkan kubu Presiden Maduro.
Pengakuan Guaido itu didukung Amerika Serikat dan banyak negara lain, termasuk negara-negara Amerika Latin. Namun, Rusia, China, Turki, Iran dan negara lainnya tetap mendukung Maduro sebagai pemimpin sah yang terpilih melalui pemilu 2018.
Credit sindonews.com