TEHERAN
- Iran membanggakan diri sebagai negara yang tidak lagi ketergantungan
pada Amerika Serikat (AS) dan berubah jadi kekuatan utama di Asia Barat
Daya. Negara para Mullah itu juga bangga dengan anggaran pertahanan USD8
miliar (Rp111,6 triliun) melawan musuh-musuh regionalnya yang anggaran
pertahanannya rata-rata USD100 miliar (Rp1.395 triliun).
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mayor Jenderal Mohammad Baqeri menyampaikan kebanggan itu saat berbicara di Universitas Teknik Aeronautika Shahid Sattari pada hari Selasa (5/2/2019). Acara di kampus itu didedikasikan untuk perayaan ulang tahun ke-40 Revolusi Islam Iran.
Baqeri menggambarkan peristiwa revolusioner tahun 1979 sebagai "keajaiban Ilahi".
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mayor Jenderal Mohammad Baqeri menyampaikan kebanggan itu saat berbicara di Universitas Teknik Aeronautika Shahid Sattari pada hari Selasa (5/2/2019). Acara di kampus itu didedikasikan untuk perayaan ulang tahun ke-40 Revolusi Islam Iran.
Baqeri menggambarkan peristiwa revolusioner tahun 1979 sebagai "keajaiban Ilahi".
"Pada
titik mana pun dalam sejarah, musuh-musuh revolusi melakukan apa pun
yang mereka miliki," tetapi tidak berhasil," kata Baqeri, yang disiarkan
stasiun televisi setempat.
"Ini adalah kehormatan besar bagi bangsa Iran bahwa hari ini telah berubah menjadi kekuatan utama di Asia Barat Daya setelah mengalami dua abad penghinaan," ujar Baqeri, merujuk pada "era kelam" di bawah rezim Shah Pahlavi yang didukung AS.
Menurut Baqeri, Iran berutang kepada pasukan bersenjatanya terkait keamanan negara. Berkat pasukan militer, kata dia, negara menikmati stabilitas meski berada di kawasan paling tidak aman di dunia.
Dia juga membanggakan industri militer Iran yang memungkinkan negara itu untuk melawan musuh-musuh regional seperti Arab Saudi Saudi, Uni Emirat Arab dan Israel, yang rata-rata menghabiskan USD100 miliar per tahun untuk belanja militer.
Komandan militer tersebut juga meledek AS karena anggaran militernya yang besar. "Setiap tahun, lebih dari USD700 miliar (Rp9.768 triliun) dihabiskan oleh Angkatan Bersenjata AS, yang tidak memiliki perencanaan yang tepat," katanya, dikutip Sputnik, Rabu (6/2/2019).
"Ini adalah kehormatan besar bagi bangsa Iran bahwa hari ini telah berubah menjadi kekuatan utama di Asia Barat Daya setelah mengalami dua abad penghinaan," ujar Baqeri, merujuk pada "era kelam" di bawah rezim Shah Pahlavi yang didukung AS.
Menurut Baqeri, Iran berutang kepada pasukan bersenjatanya terkait keamanan negara. Berkat pasukan militer, kata dia, negara menikmati stabilitas meski berada di kawasan paling tidak aman di dunia.
Dia juga membanggakan industri militer Iran yang memungkinkan negara itu untuk melawan musuh-musuh regional seperti Arab Saudi Saudi, Uni Emirat Arab dan Israel, yang rata-rata menghabiskan USD100 miliar per tahun untuk belanja militer.
Komandan militer tersebut juga meledek AS karena anggaran militernya yang besar. "Setiap tahun, lebih dari USD700 miliar (Rp9.768 triliun) dihabiskan oleh Angkatan Bersenjata AS, yang tidak memiliki perencanaan yang tepat," katanya, dikutip Sputnik, Rabu (6/2/2019).
Baqeri
mengatakan dengan anggaran pertahanan sekitar USD8 miliar per tahun,
Iran mampu memproduksi hampir 90 persen perangkat keras militernya di
dalam negeri.
Pada hari Sabtu lalu, militer Teheran meluncurkan rudal jelajah baru yang dinamai Hoveyzeh. Misil itu diklaim memiliki jangkauan lebih dari 1.350km, dan kemampuan terbang di ketinggian rendah untuk mencegah intersepsi.
Situs intelijen militer Israel, DEBKAfile, memperingatkan bahwa rudal yang dapat mencapai wilayah Israel, mungkin tidak dapat dicegat atau diintersepsi oleh sistem pertahanan rudal Israel atau pun AS.
Pada hari Sabtu lalu, militer Teheran meluncurkan rudal jelajah baru yang dinamai Hoveyzeh. Misil itu diklaim memiliki jangkauan lebih dari 1.350km, dan kemampuan terbang di ketinggian rendah untuk mencegah intersepsi.
Situs intelijen militer Israel, DEBKAfile, memperingatkan bahwa rudal yang dapat mencapai wilayah Israel, mungkin tidak dapat dicegat atau diintersepsi oleh sistem pertahanan rudal Israel atau pun AS.
Credit sindonews.com