Gerakan rompi kuning di Prancis mengaku senang
dengan sejumlah solusi dari Presiden Emmanuel Macron, tetapi tidak
cukup untuk meredam aksi demonstrasi mereka. (Reuters/Benoit Tessier)
"Kali ini, memang ada perkembangan. Senyum saya semakin besar ketika dia berbicara," ujar Erwan, salah satu "juru bicara" gerakan rompi kuning dari Rennes.
Namun, ia menganggap rangkaian solusi yang ditawarkan Macron melalui pidato kenegaraan pada Senin (10/12) itu belum cukup untuk mengakhiri demonstrasi mereka.
Dalam pidato yang ditayangkan melalui siaran televisi nasional itu, Macron mengumumkan kenaikan upah minimum sekitar 100 euro atau setara Rp1,6 juta mulai tahun depan.
Selain itu, ia juga akan membantu perusahaan yang mampu memberikan bonus akhir tahun bagi karyawannya dengan tidak menerapkan pajak tambahan atas pendapatan ekstra tersebut.
Tak hanya itu, Macron juga akan menghapus peningkatan pajak bagi para pensiunan di negaranya.
Menurut seorang demonstran gerakan rompi kuning lainnya dari Montceau-les-Mines, Perre-Gael Laveder, Macron belum mengambil langkah penuh untuk mengatasi masalah inti dari perekonomian Prancis.
"Semua orang menggerutu saat mendengar pengumumannya dan reaksi keseluruhan pertama kami adalah, 'Dia pikir kami bodoh,'" katanya kepada AFP.
Sementara itu, sejumlah politikus oposisi mengapresiasi langkah Macron ini, tapi juga mengkritik sikap sang presiden.
Pemimpin oposisi sayap kanan, Marine Le Pen, misalnya, mengaku menyambut baik upaya Macron tersebut, tapi menganggap sang presiden tak mau mengakui kesalahannya.
"Ia enggan mengakui bahwa model ekonomi yang ia gagas lah yang seharusnya dipertanyakan dari awal," tuturnya.
Di lain sisi, Jean-Luc Melenchon sebagai pemimpin partai oposisi sayap kanan, Unbowed France, mengatakan bahwa Macron keliru jika berpikir "pendistribusian uang" akan menenangkan "pemberontakan."
Demonstrasi gerakan rompi kuning pada akhir pekan lalu memang disebut-sebut sebagai kericuhan paling dahsyat di Prancis selama beberapa dekade belakangan, di mana 10 ribu orang turun ke jalan, berhadapan dengan sekitar 8.000 personel kepolisian yang menangkap 1.700 demonstran.
Aksi protes yang awalnya mengkritik kenaikan pajak bahan bakar dan peningkatan biaya hidup ini sudah dimulai sejak 17 November dan dengan cepat menyebar berkat media sosial.
Ketika kericuhan pertama kali pecah pada dua pekan lalu, pemerintah Prancis sampai-sampai sempat mempertimbangkan pendeklarasian situasi darurat.
Credit cnnindonesia.com