Rincian rumit pelaksaan perjanjian iklim Paris belum diselesaikan.
CB,
KATOWICE -- Negara-negara anggota PBB sepakat untuk menerapkan
Perjanjian Paris 2015 dalam konferensi iklim 24th
Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(COP24) di Katowice, Polandia, pada Sabtu (15/12). Meski demikian,
masih ada masalah kontroversial lainnya yang tersisa untuk diselesaikan
tahun depan.
Negara-negara itu mengeluhkan rincian rumit tentang bagaimana
memperhitungkan dan mencatat emisi gas rumah kaca mereka, yang akan
menjadi dasar dari peraturan untuk mewujudkan Perjanjian Paris.
Sementara pertanyaan-pertanyaan sulit seperti bagaimana meningkatkan
komitmen yang ada saat ini untuk mengurangi emisi dan bagaimana
menyediakan pembiayaan bagi negara-negara miskin untuk melakukan hal
yang sama, telah ditangguhkan untuk tahun-tahun mendatang.
Pada
jam-jam terakhir konferensi, kesepakatan diwarnai oleh perdebatan
mengenai kredit karbon, yang diberikan kepada negara-negara itu untuk
melangsungkan upaya pengurangan emisi dan penyerapan karbon. Mereka
membahas mengenai hutan yang menyerap karbon dioksida.
Brasil
menginginkan sebuah amandemen yang akan menguntungkan negaranya karena
hutan hujannya yang besar. Namun hal itu ditentang oleh negara lain
karena dapat merusak integritas sistem.
Usulan mengenai
amandemen ini akan dibahas kembali dalam konferensi tahunan tahun depan.
Brasil, di bawah kepemimpinan presiden barunya, Jair Bolsonaro, juga
membatalkan tawaran untuk menjadi tuan rumah konferensi iklim PBB tahun
depan.
Brasil telah menjadi pendukung yang dapat diandalkan
dalam konferensi iklim tahunan sebelumnya. Negara ini telah bekerja
untuk menjembatani kesepakatan antara negara maju dan berkembang. Tanpa
dukungan itu di masa depan, konferensi hanya akan berlangsung lebih
kacau.
Ketika masalah kredit karbon Brasil ditunda dalam
COP24, hambatan selanjutnya dibuka oleh Turki, yang ingin disebut
sebagai negara berkembang daripada negara maju. Para delegasi yang lelah
akhirnya masuk ke sesi penutupan pada hampir pukul 22.00 malam untuk
menyepakati perjanjian.
Meski ada sejumlah hambatan, COP24
berhasil menghasilkan kesepakatan untuk menerapkan Perjanjian Paris
2015. David Waskow, dari World Resources Institute, mengatakan
kesepakatan terakhir adalah landasan yang baik bagi negara-negara untuk
menerapkan perjanjian itu.
“Konferensi ini mengatur arah
perjalanan dan akan mendorong negara-negara untuk mengambil tindakan.
Sekarang negara-negara itu harus pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah
mereka, dengan meningkatkan komitmen mereka [pada pengurangan emisi],"
kata Waskow, dikutip
The Guardian.
Akan tetapi,
pertanyaan kunci mengenai apakah negara-negara itu telah cukup melakukan
pengurangan emisi, tidak dibahas dalam konferensi. Sebelumnya,
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya telah
memperkirakan konsekuensi yang mengerikan jika suhu dibiarkan naik lebih
dari 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
Laporan
IPCC yang dirilis pada Oktober lalu itu menunjukkan, dunia harus
berubah secara drastis dalam dekade berikutnya untuk menghindari
konsekuensi kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius. Konsekuensi yang dimaksud
adalah matinya terumbu karang, kekeringan, dan banjir, serta penurunan
produktivitas pertanian di banyak wilayah.
Tahun ini, cuaca
ekstrem telah terjadi di banyak bagian di dunia dan suhu rata-rata
global tertinggi keempat telah tercatat. Sekretaris Jenderal PBB,
Antonio Guterres, memuji negara-negara anggota PBB karena telah mencapai
kesepakatan, tetapi ia masih menuntut lebih banyak.
"Persetujuan
program kerja Perjanjian Paris adalah dasar untuk proses transformatif
yang akan membutuhkan ambisi kuat dari masyarakat internasional," kata
dia.
“Ilmu pengetahuan telah menunjukkan dengan jelas bahwa
kita membutuhkan ambisi untuk mengalahkan perubahan iklim. Mulai
sekarang, lima prioritas saya adalah: ambisi, ambisi, ambisi, ambisi,
dan ambisi,” kata Guterres.
Dia juga menyebutkan perlunya
negara-negara untuk memperkuat target pengurangan emisi dan menyesuaikan
infrastruktur mereka untuk mengatasi dampak perubahan iklim. “Satu
tahun bencana iklim dan peringatan yang mengerikan dari para ilmuwan
terkemuka dunia seharusnya bisa menghasilkan lebih banyak dorongan lagi.
Sebaliknya, negara justru mengabaikan sains dan penderitaan kelompok
yang rentan," ujar Jennifer Morgan dari Greenpeace.
“Tanpa
tindakan segera, bahkan aturan terkuat pun tidak akan membawa kita
kemana-mana. Orang-orang mengharapkan tindakan, dan itulah yang tidak
dilakukan oleh pemerintah. Ini secara moral tidak bisa diterima,"
ungkapnya.
Gareth Redmond-King, kepala perubahan iklim di
WWF-UK, mengatakan ada beberapa kemajuan positif, tetapi dunia belum
melakukan cukup aksi. Menurut dia, dunia berada dalam keadaan darurat
iklim, namun beberapa pemimpin negara lebih memilih untuk menyangkal.
“Masa depan semua orang dipertaruhkan. Semua negara perlu jauh lebih serius tentang ambisi perubahan iklim," ujarnya.