Ilustrasi pemulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah di Arab Saudi. (Lucky R)
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan kesepakatan itu diteken Kementerian Ketenagakerjaan RI-Saudi beberapa waktu lalu.
"Betul memang ada penandatanganan pilot project pengiriman 30 ribu TKI dalam enam bulan ke Saudi. Namun, karena perjanjian ini diteken Kemenaker maka akan lebih baik dijelaskan oleh pihak Kemenaker terkait kerja sama ini," ucap Iqbal dalam jumpa pers di kantornya, Selasa (30/10).
Proyek bersama ini diteken ketika perlindungan warga negara Indonesia, terutama TKI, di Saudi masih bermasalah. Moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah pada 2015 juga diputuskan pemerintah, seiring dengan banyaknya TKI yang dieksploitasi serta menghadapi kekerasan saat bekerja di Saudi dan sejumlah negara lainnya di kawasan itu.
Selain itu, Saudi juga beberapa kali tidak mengindahkan permintaan Indonesia terkait notifikasi ketika ada WNI yang menghadapi masalah hukum di negara tersebut, terutama pemberitahuan sebelum melakukan eksekusi mati terhadap WNI.
Proyek pengiriman TKI ini kembali mencuat ketika salah satu pekerja migran Indonesia asal Majalengka, Tuti Tursilawati, dieksekusi mati Saudi pada Senin (29/10). Eksekusi tersebut lagi-lagi dilakukan Saudi tanpa memberi notifikasi terlebih dahulu kepada perwakilan RI di Jeddah maupun Riyadh.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Utama BNP2TKI, Tatang Budie Utama Razak menegaskan proyek yang disebutnya sebagai technical arrangement ini dilakukan sebagai salah satu solusi menghindari pengiriman TKI secara ilegal ke Saudi.
Sebab, menurut Tatang, moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah malah memicu pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal ke kawasan itu.
"Karena demand yang begitu tinggi, kami rasa pemerintah tidak bisa tinggal diam dan harus mencari solusi. Dan kami akui bahwa selama ini masih ada kebocoran (pengiriman TKI ielgal) meski jumlahnya tidak terlalu banyak ketika kita kirim dalam jumlah besar," ucap Tatang.
Tatang mengatakan dalam mekanisme kerja sama ini, pemerintah tidak lagi mengirim TKI tanpa jabatan pekerjaan jelas. Dia menuturkan dalam proyek ini para TKI akan dikirim dan dipekerjakan berdasarkan jabatan yang mereka pilih.
"Misalkan tukang masak, ya sudah mereka nanti dikirim untuk bekerja sebagai tukang masak. Baby sitter, berarti mereka nanti akan bekerja untuk merawat anak. Jadi kami tidak akan lagi kirim house maid atau pekerja rumah tangga seperti dulu."
Lebih lanjut, Tatang mengatakan kerja sama ini sudah dijajaki dan dinegosiasikan sejak 2011 lalu. Dia juga mematikan Kemenaker RI meneken kerja sama dengan jaminan Saudi mamu memperbaiki sistem perlidungannya bagi para TKI.
"Saudi juga sudah keluarkan UU Ketenagakerjaan dan pekerja domestik. Dalam negeri, kita (Indonesia) juga terus memperbaiki diri," katanya.
Meski Saudi disebut telah memperbaiki UU ketenagakerjaanya, lembaga non pemerintah Migrant Care menganggap pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan secara lebih matang lagi untuk mengirimkan TKI baru ke negara kaya minyak tersebut.
Pendiri Migrant Care, Anis Hidayah, menganggap pemerintah jangan coba-coba mengirimkan TKI ke Saudi ketika negara itu belum bisa secara pasti menjamin perlindungan pekerja migran Indonesia di sana.
"Tujuan pemerintah RI menjalin kerja sama dengan negara lain kan untuk mengurangi kerentanan. Ketika (mengurangi kerentanan) itu belum bisa dicapai, lebih baik tunda segala kerja sama ini sembari menyelesaikan pekerjaan rumah untuk memaksimalkan pelaksanaan UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia," kata Anis.
Credit cnnindonesia.com