Mohammed bin Salman, putera mahkota Arab Saudi yang kerap dikritik Jamal Khashoggi (REUTERS/Amir Levy)
Jakarta, CB -- Jamal Khashoggi, kolumnis
The Washington Post, yang hilang setelah masuk ke gedung konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada pekan lalu menggegerkan publik internasional.Khashoggi disebut-sebut telah lama berada dalam pengawasan otoritas Saudi lantaran ucapan dan pernyataannya yang kerap menyindir pemerintahan Raja Salman yang dikenal anti-kritikan.
Sebelum berkiprah sebagai wartawan, Khashoggi merupakan mantan penasihat pemerintah Saudi yang melarikan diri ke Amerika Serikat sekitar tahun lalu untuk menghindari kemungkinan dirinya ditangkap. Ia juga disebut telah memiliki kewarganegaraan AS.
Berikut beberapa kutipan wawancara dan tulisan Khashoggi yang menyindir pemerintahan Raja Salman, termasuk Putra Mahkota Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman:
"Jika seorang pangeran dapat membayar US$1 miliar sebagai bayaran atas pembebasannya, berapa banyak yang harus diberikan oleh seorang narapidana? berapa yang harus kami bayar untuk mendapat kebebasan kami sendiri?" kicau Khashoggi melalui Twitternya pada 29 November 2017 lalu.
Komentar itu ditulis Khashoggi menyusul penangkapan puluhan pengusaha termasuk pangeran Saudi di sebuah hotel mewah. Operasi tersebut diperintahkan Pangeran Mohammed sebagai bangian dari kebijakan pemberantasan korupsi.
"Saya masih melihatnya (pangeran Mohammed) sebagai seorang reformis, tetapi dia mengumpukan seluruh kekuasaan di tangannya. Akan lebih baik jika dia bisa memberikan ruang bernapas bagi para kritikus, para intelektual Saudi, penulis, dan media Saudi untuk berdebat. Seperti yang tengah kita lakukan sekarang."
"Banyak intelektual dan juarnalis Saudi yang dipenjara. Sekarang tidak ada yang berani berbicara dan mengkritik," papar Khashoggi dalam wawancaranya bersama Al Jazeera pada 23 Maret 2018.
Dikutip AFP, pernyataan itu diutarakan Khashoggi menanggapi penunjukkan Pangeran Mohammed sebagai Putra Mahkota Saudi dan pemimpin de facto negara tersebut.
"Dia (Pangeran Mohammed) tampaknya menggerakan negara itu dari semula ekstremisme agama menjadi ekstremisme 'Anda-harus-menerima-reformasi-saya' tanpa konsultasi apa pun," papar Khashoggi dalam artikelnya di Guardian bersama Robert Lacey pada 6 Maret 2018.
Dalam artikel itu, Khashoggi mengkritik kebijakan remormasi yang digagas Pangeran Mohammed mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial-budaya. Meski terkesan membawa Saudi lebih moderat, Khashoggi menilai kebijakan Pangeran Mohammed masih belum cukup demokratis.
"Kami diminta untuk melepaskan harapan kami untuk mendapatkan kebebasan politik, dan untuk tetap diam tentang penangkapan dan larangan berpergian tidak hanya bagi para kritikus, tapi juga keluarga mereka. Kami diharapkan untuk menyambut serta memuji reformasi sosial yang dibawa Putra Mahkota dengan penuh semangat," bunyi pernyataan Khashoggi dalam artikel The Washington Post pada 21 Mei 2018.
Dalam kesempatan itu, Khashoggi lagi-lagi menyerang kebijakan dan gaya memerintah Pangeran Mohammed.
"Arab Saudi harus menghadapi kerusakan dari perang selama tiga tahun terakhir di Yaman. Kelanjutan campur tangan Saudi dalam perang Yaman hanya memperkuat validasi bahwa apa yang dilakukan Arab Saudi di Yaman sama seperti yang dilakukan Presiden Bashar al-Assad, Rusia, (dan) Iran, di Suriah," bunyi pernyataan Khashoggi dalam artikel The Washington Post 11 September 2018.
Kritikan itu ditujukan Khashoggi terhadap keterlibatan Arab Saudi dalam perang sipil di Yaman. Sejumlah kelompok pemerhat Hak Asasi Manusia hingga Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) mengindikasikan bahwa Saudi berpotensi melakukan kejahatan perang dalam operasi militernya di Yaman.
"Orang Palestina di Ramallah jauh lebih bebas dari pada saya di Jeddah atau Riyadh. Mereka masih bisa pergi ke jalan dan berdemonstrasi sementara saya tidak bisa melakukan itu (di Saudi)," katanya dalam wawancara dengan BBC pada 1 Oktober 2018 lalu.
Pernyataan itu diutarakan Khashoggi saat berdiskusi membahas rencana pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait rencana perdamaian Israel-Palestina.
Credit cnnindonesia.com