Serangan rudal gabungan Amerika Serikat,
Inggris, dan Perancis menghantam basis militer dan pusat riset kimia di
Suriah pada Sabtu (15/4). (SYRIA TV via Reuters TV)
AFP melaporkan bahwa serangan rudal gabungan itu dimulai sekitar pukul 01.00 GMT, menyasar sejumlah fasilitas produksi kimia rezim Bashar al-Assad.
"Target malam ini spesifik didesain untuk menghancurkan kemampuan mesin perang Suriah untuk menciptakan senjata kimia dan memusnahkannya," ujar Menteri Pertahanan AS, Jim Mattis.
Kementerian Pertahanan Perancis menyatakan bahwa empat jet Tornado mereka menembakkan rudal Storm Shadow ke "sebuah fasilitas militer, bekas markas rudal, sekitar 24 kilometer di barat Homs, di mana rezim menyimpan senjata kimia."
|
"Fasilitas yang diserang berlokasi cukup jauh dari konsentrasi habitat sipil, mengurangi risiko apa pun," tulis Kemenhan Perancis.
Organisasi pemantau Syrian Observatory for Human Rights juga melaporkan bahwa serangan koalisi Barat itu menargetkan sejumlah pusat riset ilmiah.
"Koalisi barat menyerang dengan target pusat riset ilmiah, beberapa basis militer, dan markas Garda Republik dan Divisi Empat di Damaskus dan sekitarnya," demikian laporan Syrian Observatory.
|
"Tak ada upaya untuk memperluas target yang sudah dirancang," katanya.
Menurut Mattis, serangan ini dirancang hanya untuk memberikan pesan tegas kepada Suriah mengenai sikap AS yang menentang penggunaan senjata kimia, seperti kasus di Douma pada pekan lalu.
Serangan senjata kimia di daerah pemberontak di Douma, Ghouta Timur, itu merenggut 60 nyawa dan melukai sekitar 1.000 orang lainnya.
|
Trump pun berjanji akan memberikan tanggapan keras atas insiden tersebut, layaknya yang ia lakukan tahun lalu, saat Suriah diduga menggunakan senjata kimia dalam serangan di Kota Khan Sheikhoun.
Saat itu, Trump langsung memerintahkan militer AS menyerang salah satu pangkalan udara di Suriah dengan 59 rudal Tomahawk.
"Jelas, rezim Assad tidak menerima pesan tahun lalu. Kali ini, sekutu menyerang lebih kuat. Kami mengirimkan pesan yang jelas kepada Assad," kata Mattis.
Credit cnnindonesia.com