Bangladesh melarang warganya menikahi pengungsi Rohingya sejak 2014 lalu. (Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
"Kami mendengar, dia menikahi perempuan Rohingya. Kami ke rumahnya di Desa Charigram. Namun, kami tak menemukannya dan orang tuanya juga tidak tahu keberadaannya," ujar Kepala Kepolisian daerah Singair, Khandaker Imam Hossain, kepada AFP.
Bangladesh memang melarang warganya menikahi pengungsi Rohingya sejak 2014 lalu. Saat itu, gelombang pengungsi Rohingya sedang meningkat karena aksi kekerasan di Rakhine.
Pelarangan itu diterapkan karena sejumlah klaim yang mengatakan bahwa Rohingya kerap menggunakan modus pernikahan dengan warga lokal agar mendapatkan kewarganegaraan.
Namun, ayah dari Jewel, Babul Hossain, mengatakan bahwa pernikahan anaknya dengan pengungsi Rohingya itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan modus tersebut.
"Jika seorang warga Bangladesh bisa menikahi orang Kristen dan dari agama lain, apa yang salah jika anak saya menikahi Rohingya? Dia menikahi seorang Muslim yang ditampung di Bangladesh," katanya.
Surat kabar Dhaka Tribune melaporkan, Jewel yang berprofesi sebagai guru di madrasah, bertemu dengan Rafiza saat perempuan itu dan keluarganya mengungsi di rumah seorang imam di Singair.
Mereka kemudian menjalin kasih hingga Jewel rela pergi ke Cox's Bazar, di mana kamp pengungsi untuk Rohingya berdiri. Ia ke sana untuk meminta restu dari orang tua Rafiza.
Pasangan itu kemudian mengikat janji dalam prosesi yang menjadi pernikahan antara warga Bangladesh dan pengungsi Rohingya pertama sejak eksodus pada Agustus lalu.
Eksodus ini terjadi karena bentrokan kembali pecah di Rakhine pada 25 Agustus, menewaskan 1.000 orang dan membuat lebih dari 500 ribu orang Rohingya kabur ke Bangladesh.
credit cnnindonesia.com