CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia memutuskan
membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah melalui pelbagai
prokontra di masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Menko Polhukam Wiranto
di Jakarta, Senin (8/5). Bagaimana awalnya Hizbut Tahrir masuk ke
negeri ini?
Kurniawan Abdullah dalam tesisnya untuk UI (2004) menyebutkan, Abdul
Qadim Zallum, yang belakangan menjadi imam kedua Hizbut Tahrir,
mengajukan gagasan pada 1950-an. Menurut dia, umat Islam sedunia perlu
konsep pemerintahan yang layak untuk mengatasi persoalan-persoalan era
kontemporer.
Kemudian, lahirlah kelompok studi (kutlah) yang mengkaji fakta umat Islam, baik masa lalu maupun visi masa depannya. Kelompok ini lantas menetapkan pendirian negara khilafah
adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan sistem Islam dalam kehidupan.
Pada 1953, Hizbut Tahrir didirikan di Baitul Maqdis, Palestina, oleh
imam pertamanya, Taqiy al-Din al-Nabhani.
Sosok al-Nabhani sebelumnya pernah aktif di Ikhwanul Muslimin
Yordania. Hizbut Tahrir dimaksudkannya sebagai partai politik
independen. Al-Nabhani juga mengkritik gerakan Pan-Islamisme dan
Pan-Arabisme yang dianggapnya sebagai “polemik bertele-tele tanpa
membuahkan kesimpulan dan hasil”.
Hizbut Tahrir yang bermula di Yordania, kemudian meluas ke seantero
Timur Tengah hingga negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Sejak
awal perkembangannya, Hizbut Tahrir kerap berbenturan dengan kebijakan
negara-negara yang dimasukinya. Itu sering berujung pada pelarangan
organisasi ini dan para aktivisnya dipenjara. Namun, Hizbut Tahrir
selalu menegaskan dirinya sebagai antikekerasan (la madiyah).
Rusia, Kirgiztan, dan Uzbekistan, adalah beberapa negara yang sudah
menetapkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi terlarang. Menurut Kurniawan
Abdullah (2004), Indonesia dan Inggris Raya adalah negara yang bagi
Hizbut Tahrir cukup aman dari tekanan penguasa.
Sudarno Shobron dalam artikelnya, "Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia" (2014),
menyebut Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada 1983. Dalam makalahnya,
Chusna (2014:23) menyebut masuknya Hizbut Tahrir terkait peran seorang
WN Australia keturunan Arab, Abdurrahman al-Baghdadi.
Pada 1980-an, KH Abdullah bin Nuh, pendiri pondok pesantren
Al-Ghazali Bogor, mengajak al-Baghdadi untuk tinggal di Indonesia.
Sejak saat itu, safari dakwah berlangsung untuk memperkenalkan Hizbut
Tahrir ke pelbagai pesantren dan kampus. Awalnya, jumlah aktivis hanya
17 orang.
Pergerakan ini meluas ke masjid kampus IPB, Al-Ghifari.
Halaqah-halaqah kemudian terbentuk untuk mendalami gagasan Hizbut
Tahrir. Ketika Orde Baru berkuasa, aktivitas Hizbut Tahrir menjadi
gerakan 'bawah tanah'.
Menjelang medio 1990-an, pengaruh Hizbut Tahrir sudah masuk ke
lingkungan kelas menengah sehingga tumbuh di 150 kota se-Indonesia.
Gerakan ini juga menerbitkan materi-materi, semisal buletin Al-Islam dan majalah bulanan Al-Wa’ie (Agustus 2000).
Era Reformasi membuka kran kebebasan berpendapat. Pada 2000, HTI
membuat acara fenomenal yakni Konferensi Internasional Khilafah
Islamiyah di Senayan, Jakarta. Chusna mencatat, tidak kurang dari 5.000
peserta memadati lokasi acara tersebut.
HTI juga tampil dalam unjuk rasa di depan Kedubes AS di Jakarta
untuk menentang invasi Amerika Serikat atas Afghanistan. Demikian pula
dengan aksi anti-invasi AS atas Irak. Massa mereka saat itu berjumlah
sekitar 12 ribu orang.
Dalam sidang tahunan MPR-RI 2002, HTI menyampaikan tuntutan penerapan
syariat Islam. Pada 29 Februari 2004, HTI mengerahkan massa berjumlah
20 ribu orang dari Monas hingga sekitar Bundaran HI, Jakarta. Mereka
menyuarakan dukungan bagi penegakan syariat Islam dan sistem Khilafah di
Indonesia.
Hizbut Tahrir bertujuan mengubah sistem politik negara yang dimasukinya dengan sistem Khilafah al-Islamiyah. Dalam laman resminya, HTI menegaskan bentuknya sebagai sebuah organisasi politik.
“Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan
kelompoknya,” demikian petikan keterangan resmi HTI di laman tersebut.
Credit republika.co.id