Selasa, 09 Mei 2017

Sejarah Lahirnya Hizbut Tahrir, dari Timur Tengah Hingga Indonesia


Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir

CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia memutuskan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah melalui pelbagai prokontra di masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Menko Polhukam Wiranto di Jakarta, Senin (8/5). Bagaimana awalnya Hizbut Tahrir masuk ke negeri ini?
Kurniawan Abdullah dalam tesisnya untuk UI (2004) menyebutkan, Abdul Qadim Zallum, yang belakangan menjadi imam kedua Hizbut Tahrir, mengajukan gagasan pada 1950-an. Menurut dia, umat Islam sedunia perlu konsep pemerintahan yang layak untuk mengatasi persoalan-persoalan era kontemporer.
Kemudian, lahirlah kelompok studi (kutlah) yang mengkaji fakta umat Islam, baik masa lalu maupun visi masa depannya. Kelompok ini lantas menetapkan pendirian negara khilafah adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan sistem Islam dalam kehidupan. Pada 1953, Hizbut Tahrir didirikan di Baitul Maqdis, Palestina, oleh imam pertamanya, Taqiy al-Din al-Nabhani.
Sosok al-Nabhani sebelumnya pernah aktif di Ikhwanul Muslimin Yordania. Hizbut Tahrir dimaksudkannya sebagai partai politik independen. Al-Nabhani juga mengkritik gerakan Pan-Islamisme dan Pan-Arabisme yang dianggapnya sebagai “polemik bertele-tele tanpa membuahkan kesimpulan dan hasil”.
Hizbut Tahrir yang bermula di Yordania, kemudian meluas ke seantero Timur Tengah hingga negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Sejak awal perkembangannya, Hizbut Tahrir kerap berbenturan dengan kebijakan negara-negara yang dimasukinya. Itu sering berujung pada pelarangan organisasi ini dan para aktivisnya dipenjara. Namun, Hizbut Tahrir selalu menegaskan dirinya sebagai antikekerasan (la madiyah).
Rusia, Kirgiztan, dan Uzbekistan, adalah beberapa negara yang sudah menetapkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi terlarang. Menurut Kurniawan Abdullah (2004), Indonesia dan Inggris Raya adalah negara yang bagi Hizbut Tahrir cukup aman dari tekanan penguasa.


Sudarno Shobron dalam artikelnya, "Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia" (2014), menyebut Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada 1983. Dalam makalahnya, Chusna (2014:23) menyebut masuknya Hizbut Tahrir terkait peran seorang WN Australia keturunan Arab, Abdurrahman al-Baghdadi.
Pada 1980-an, KH Abdullah bin Nuh, pendiri pondok pesantren Al-Ghazali Bogor, mengajak al-Baghdadi untuk tinggal di Indonesia. Sejak saat itu, safari dakwah berlangsung untuk memperkenalkan Hizbut Tahrir ke pelbagai pesantren dan kampus. Awalnya, jumlah aktivis hanya 17 orang.
Pergerakan ini meluas ke masjid kampus IPB, Al-Ghifari. Halaqah-halaqah kemudian terbentuk untuk mendalami gagasan Hizbut Tahrir. Ketika Orde Baru berkuasa, aktivitas Hizbut Tahrir menjadi gerakan 'bawah tanah'.
Menjelang medio 1990-an, pengaruh Hizbut Tahrir sudah masuk ke lingkungan kelas menengah sehingga tumbuh di 150 kota se-Indonesia. Gerakan ini juga menerbitkan materi-materi, semisal buletin Al-Islam dan majalah bulanan Al-Wa’ie (Agustus 2000).
Era Reformasi membuka kran kebebasan berpendapat. Pada 2000, HTI membuat acara fenomenal yakni Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Senayan, Jakarta. Chusna mencatat, tidak kurang dari 5.000 peserta memadati lokasi acara tersebut.
HTI juga tampil dalam unjuk rasa di depan Kedubes AS di Jakarta untuk menentang invasi Amerika Serikat atas Afghanistan. Demikian pula dengan aksi anti-invasi AS atas Irak. Massa mereka saat itu berjumlah sekitar 12 ribu orang.
Dalam sidang tahunan MPR-RI 2002, HTI menyampaikan tuntutan penerapan syariat Islam. Pada 29 Februari 2004, HTI mengerahkan massa berjumlah 20 ribu orang dari Monas hingga sekitar Bundaran HI, Jakarta. Mereka menyuarakan dukungan bagi penegakan syariat Islam dan sistem Khilafah di Indonesia.
Hizbut Tahrir bertujuan mengubah sistem politik negara yang dimasukinya dengan sistem Khilafah al-Islamiyah. Dalam laman resminya, HTI menegaskan bentuknya sebagai sebuah organisasi politik.

“Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya,” demikian petikan keterangan resmi HTI di laman tersebut.