Kepala Menteri Bengal Barat Mamata Banerjee menyerahkan sertifikat tanah itu pada Senin (28/1) dan menyatakan mereka yang tinggal di lebih dari 200 permukiman juga akan mendapat hak atas tanah itu meski permukiman itu merupakan lahan pribadi atau milik pemerintah federal.
“Kami akan mencoba membeli tanah itu dari para pemiliknya dan kami akan meminta pemerintah pusat mengatur koloni-koloni itu sesuai rencana yang disusun badan pusat,” kata Banerjee dilansir Reuters.
India juga tak memiliki undang-undang untuk melindung lebih dari 200.000 pengungsi yang saat ini ada, termasuk dari Tibet, Sri Lanka, Afghanistan, Bangladesh, dan Rohingya dari Myanmar.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memberikan hak-hak terbatas pada beberapa kelompok pengungsi. Tahun lalu, negara bagian Maharashtra memberikan hak kepemilikan tanah pada para pengungsi yang melarikan diri dari wilayah yang kini disebut Pakistan sekitar 70 tahun lalu, saat Pakistan memisahkan diri untuk kemerdekaan.
Pengungsi Chakma dan Hajong yang meninggalkan Bangladesh lebih dari lima dekade silam memiliki kewarganegaraan terbatas di India, tapi tidak memiliki hak atas tanah. Adapun pengungsi asal Tibet mendapat tunjangan kesejahteraan, tapi tidak memiliki hak atas properti.
Hak pengungsi menjadi fokus dalam Rancangan Undang-undang Perubahan Kewarganegaraan 2019 yang mengusulkan memberi kewarganegaraan pada komunitas Hindu, Sikh, Jain, Budha, Kristiani, dan Parsi dari Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh yang datang ke India sebelum 31 Desember 2014.
Dia menambahkan, “Tapi isu tentang tanggal pemotongan masih ada dan tidak jelas apakah memiliki sertifikat lahan itu cukup.”
Chakraborty merupakan satu dari lebih 100 akademisi dan aktivis yang meminta Presiden India Ram Nath Kovind menolak RUU itu karena dianggap diskriminatif berdasarkan agama dan melanggar prinsip konstitusional untuk kesetaraan.
Credit sindonews.com