Reuters/Gary Cameron
Wakil Menlu AS Tom Shannon (kanan) dan Penasihat Keamanan Nasional
Israel Jacob Nagel (kiri) dalam upacara penandatanganan kerja sama
bantuan keamanan antardua negara itu untuk 10 tahun ke depan di
Departemen Luar Negeri di Washington DC, AS, 14 September 2016.
Setelah berunding cukup alot sekitar
10 bulan, akhirnya Amerika Serikat dan Israel, Rabu (14/9/2016),
menandatangani nota kesepahaman paket bantuan militer terbesar dalam
sepanjang sejarah hubungan bilateral kedua negara itu.
Paket bantuan tersebut senilai 38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 500 triliun untuk jangka waktu 10 tahun.
Dari paket bantuan itu, Israel akan menerima 3,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 50,029 triliun) setiap tahun.
Dalam nota kesepahaman itu ditegaskan pula bahwa setengah miliar dari
3,8 miliar dollar AS yang diterima Israel setiap tahun khusus
diperuntukkan bagi pengembangan sistem rudal anti rudal yang kini
dikembangkan Israel.
Bantuan itu jauh lebih besar dibandingkan dengan bantuan yang
diterima Israel selama ini sejak tercapainya kesepakatan damai
Israel-Mesir di Camp David tahun 1979, yakni sekitar 3,1 miliar dollar
AS per tahun.
Israel sampai saat ini adalah negara yang paling banyak menerima
suplai senjata tercanggih AS. Ada anekdot: senjata tercanggih yang
dibuat AS hari ini, keesokan hari sudah ada di Israel.
Presiden AS Barack Obama menyebut, paket bantuan militer baru itu
untuk menjamin keamanan Israel di tengah ancaman negara-negara
tetangganya yang bergejolak.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, paket
bantuan militer itu akan membuat Israel terus mampu mempertahankan
keunggulan kekuatan militernya dan dapat menangkal ancaman rudal.
Secara politis, paket bantuan militer baru dari AS untuk Israel
tersebut menunjukkan bahwa- meski sering terjadi beda pendapat-Israel
dan AS tetap bertekad mempertahankan hubungan strategis mereka.
Selama ini AS dan Israel berbeda pendapat soal isu strategis, seperti
kesepakatan nuklir antara Iran dan kelompok negara 5+1 (AS, Inggris,
Tiongkok, Perancis, Rusia plus Jerman) pada Juli 2015.
AS dan Israel juga berbeda pendapat soal sikap Tel Aviv yang terus menghindar dari proses perdamaian dengan Palestina.
Siapa pun tidak membantah terjalinnya hubungan strategis AS-Israel.
Hubungan keduanya tak tergoyahkan oleh empasan angin apa pun.
Suatu ketika pada 1960-an, PM Uni Soviet Alexei Kosygin sampai
bertanya kepada Presiden AS Lyndon B Johnson, mengapa AS begitu membela
Israel yang hanya berpenduduk 3 juta jiwa, tetapi menyerang sejumlah
negara Arab yang mempunyai penduduk 80 juta jiwa?
Presiden Johnson saat itu menjawab: karena Israel dalam posisi benar.
Faktor penyebab
Mengapa AS begitu membabi buta mendukung Israel sehingga sering
terlihat tidak rasional? Banyak faktor penyebab AS begitu konsisten
membela Israel sejak berdirinya negara Yahudi itu tahun 1948.
Selain faktor geopolitik dan ekonomi, masalah agama dan budaya mendasari hubungan strategis AS-Israel.
The New York Times/Doug Mills
Presiden AS Barack Obama (kanan) dan Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu (kiri) sedang berbincang di Gedung Bundar, tahun 2015. AS
menegaskan komitmen besarnya untuk membantu meningkatkan keamanan
Israel. Dalam kesepakatan terbaru, AS akan memberi bantuan pada Israel
senilai 38 miliar dollar AS (Rp 500 triliun) dalam 10 tahun ke depan.
Faktor agama dan budaya itu pula yang menjadi barometer kebijakan geopolitik AS di Timur Tengah, termasuk terkait isu Palestina.
Tokoh gerakan pembaharuan agama Kristen asal Jerman, Martin Luther
(1483-1546), sangat populer dan menjadi inspirasi utama dalam kehidupan
di AS.
Ajaran Martin Luther itu yang membingkai hubungan khusus Yahudi-Kristen Protestan.
Sejarawan Inggris keturunan Lebanon, Albert Hourani, dalam bukunya,
Sharq Al Awsat Al Hadist,
menguraikan peran penting ajaran kitab suci Yahudi, Taurat atau
Perjanjian Lama, dalam membangun pola pikir dan budaya kaum migran Eropa
pertama ke AS.
Kaum migran Eropa setiba di AS segera mengadopsi doktrin dalam Perjanjian Lama bahwa kaum Yahudi harus kembali ke Palestina.
Hal itu terjadi tiga abad sebelum lahirnya gerakan zionis yang digalang Theodor Herzl.
Maka, proyek zionis sesungguhnya bisa disebut proyek AS yang
terinspirasi dari kitab Perjanjian Lama dan diyakini oleh sebagian besar
rakyat AS, jauh sebelum lahirnya gerakan zionis secara resmi.
Semua Presiden AS sejak berdirinya negara AS pada 1776 mempercayai
dan mengadopsi kebijakan politik zionis. Kebetulan semua Presiden AS
menganut Kristen Protestan, kecuali Presiden John F Kennedy yang
menganut Katolik.
Hal ini berbeda dengan Katolik yang sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Yahudi.
Vatikan saja baru bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel
setelah tercapai kesepakatan Oslo antara Israel dan Palestina tahun
1993.
Dalam konteks itu, betapa pengaruh ajaran Yahudi sangat besar terhadap para pendiri dan Presiden AS.
Presiden AS kedua, John Adams (1797-1801), dikenal salah satu Presiden AS yang sangat mengagumi Yahudi.
Ia pernah mengirim surat kepada penerusnya, Presiden Thomas Jefferson
(1801-1809), yang isi suratnya berbunyi, "Saya sangat meyakini bahwa
bangsa Yahudi adalah bangsa yang paling maju peradabannya dibandingkan
dengan bangsa lain."
Presiden Woodrow Wilson (1913-1921) juga dikenal sebagai Presiden AS yang sangat mendukung perjuangan bangsa Yahudi.
Ia berbuat segala hal untuk mendukung dan menyukseskan Perjanjian
Balfour tahun 1917 yang membuka jalan bagi imigran Yahudi ke Palestina.
Presiden Wilson pada 3 Maret 1919 mengatakan, pemerintah dan rakyat
AS mendukung peletakan batu asas bagi berdirinya Uni Federal Yahudi di
Palestina.
PM Israel Benjamin Netanyahu, ketika menjadi Dubes Israel untuk PBB
pada tahun 1985, pernah menghadiri acara doa rakyat AS untuk kejayaan
Israel.
Netanyahu saat itu memuji hubungan historis Yahudi-Kristen Protestan
yang membantu terwujudnya impian gerakan zionis, yaitu berdirinya negara
Israel.
Bagian dari Barat
Setelah berdirinya negara Israel pada tahun 1948, PM Israel pertama
yang juga pendirinya, David Ben Gurion, menerapkan nilai-nilai budaya
Barat dalam politik (demokrasi), hukum (hak asasi manusia), ekonomi, dan
sosial dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di Israel.
Hal itu membantu mengantar negara-negara Barat, terutama AS, yang menganggap bahwa Israel adalah bagian dari dunia Barat.
Karena itu, memandang hubungan strategis AS-Israel tidak bisa melihat
semata faktor kepentingan geopolitik atau lobi Yahudi, tetapi yang
lebih mendasar adalah ranah agama dan budaya.
Credit
Kompas.com