Browser anda tidak mendukung iFrame
Zona ekonomi eksklusif Indonesia di
perairan Natuna yang dimasukkan ke dalam peta nine-dashed line China
mencapai enam kali luas Pulau Bali. (ANTARA/Joko Sulistyo)
Jakarta, CB
--
Laksda Surya Wiranto, Staf Ahli Menteri Koordinator
Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan Bidang Kedaulatan
Wilayah dan Kemaritiman, menyatakan kehadiran kapal-kapal nelayan China
di zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna, bukan semata
persoalan penangkapan ikan secara ilegal
(illegal, unreported, and unregulated fishing).“Itu bagian dari upaya
state practice untuk menunjukkan kepada dunia
positive occupation
China terhadap wilayah maritim di Laut China Selatan. Tiongkok berupaya
melakukan ekspansi ke wilayah berdaulat Indonesia. Jadi jika dibiarkan,
status quo, dan Indonesia diam, China akan mengokupasi (menguasai) perairan Natuna,” kata Surya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).
Pengakuan
China atas Natuna sebagai wilayah kedaulatan Indonesia selama ini, ujar
Surya, tak secara spesifik menyertakan perairan di sekelilingnya. Hal
ini mesti diwaspadai pemerintah Republik Indonesia.
“Kalau
dibiarkan, di Natuna bisa jadi ‘Indonesia punya pulau, China punya air.
Padahal tidak begitu. Sepanjang 200 mil ditarik dari garis pantai
Kepulauan Natuna (zona ekonomi eksklusif), ialah hak berdaulat
Indonesia. China tak boleh kooptasi wilayah itu,” ujar Surya.
Ia
menegaskan, Natuna, baik kepulauan maupun perairannya, merupakan
kepentingan vital nasional dan bagian integral dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun,
termasuk China yang mengklaim perairan Natuna sebagai
traditional fishing ground berdasarkan faktor historis.
Berdasarkan hukum laut internasional atau
United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) Tahun 1982 pun, ujar Surya, negara lain tidak berhak untuk
mengeksplorasi tanpa izin sumber daya Laut Natuna yang berada dalam ZEE
Indonesia seperti dilakukan oleh nelayan-nelayan China.
Menurut Surya, zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna yang dimasukkan China ke dalam peta garis imajinernya,
nine-dashed line, mencapai 83.315 kilometer persegi atau enam kali luas Pulau Bali.
Nine-dashed line
atau sembilan garis putus-putus merupakan garis demarkasi atau garis
batas pemisah yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar
wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di
Asia.
Nine-dashed line China memasukkan zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna ke dalamnya. (Wikipedia/U.S. Central Intelligence Agency)
|
Niat bermusuhanChina disebut Surya memiliki
niat bermusuhan dengan Indonesia di perairan Natuna. Berdasarkan
catatannya, pada tahun 2008, delapan kapal ikan China ditangkap di ZEE
Indonesia di Natuna. Insiden berikutnya terjadi pada tahun 2010, 2013,
hingga mencapai puncaknya pada 2016 ini.
Pada tahun-tahun itu,
ujar Surya, Kapal Pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kapal
TNI Angkatan Laut yang menangkap kapal China di ZEE Indonesia di Laut
China Selatan, selalu mendapat intimidasi.
“Mereka selalu dipaksa melepaskan kapal ikan China yang ditangkap, diintimidasi lewat radio komunikasi, bahkan men-
jamming radio komunikasi kapal KKP. Ini merupakan
hostile intent atau niat bermusuhan dari kapal
coast guard China,” kata Surya.
Belum lagi tindakan bermusuhan dari aparat
coast guard China yang membayang-bayangi kapal KKP atau TNI AL, bahkan menabrak kapal ikan China yang telah ditangkap otoritas Indonesia.
“Tindakan-tindakan
itu merupakan pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan hak berdaulat
Indonesia. Pemerintah RI menolak intimidasi, agresi, dan tindakan
kekerasan yang dilakukan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok,” tegas
Surya.
Kapal coast guard
China membayangi KRI Imam Bonjol yang menangkap kapal nelayan China
yang terdeteksi menebar jaring di ZEE Indonesia di perairan Natuna, 17
Juni 2016. (ANTARA/HO/Dispen Koarmabar)
|
Niat “buruk” China di perairan Natuna, ujar Surya, kian terlihat pada
insiden 17 Juni kala kapal nelayan China KM Han Tan Cou ditangkap oleh
KRI Imam Bonjol setelah tertembak karena mencoba kabur.
“Pejabat tingkat tinggi China yang sebelumnya mengatakan tidak ada
overlapping claim
dan mengakui Natuna milik Indonesia, tiba-tiba berubah. Menlu China dan
juru bicaranya setelah 17 Juni itu mengatakan antara Indonesia dan
China ada
overlapping claim,” kata Surya.
Soal
overlapping claim
yang disebut China itu telah dibantah oleh Kementerian Luar Negeri RI.
“Tak ada wilayah tumpang-tindih antara Indonesia dan China.
Overlapping
itu harus berdasarkan basis yang valid. Tidak bisa mengklaim sesuatu
tanpa basis,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Kemlu, Damos Dumolo Agusman.
Sementara terkait pendapat beberapa pihak yang menyebut penangkapan dan
penembakan terhadap kapal nelayan asing tidak dibenarkan dalam hukum
laut internasional, Surya membantah.
“Pasal 73 UNCLOS tidak
mengatur dengan jelas masalah penghentian, pemeriksaan, dan penahanan
kapal, sedangkan Pasal 111 UNCLOS hanya mengatur tentang
hot pursuit atau pengejaran seketika dengan
locus (posisi) di perairan teritorial dan zona tambahan, sehingga tak terkait masalah (penangkapan kapal ikan di ZEE),” kata dia.
Pasal
73 UNCLOS tentang Penegakan Peraturan Perundang-undangan Negara Pantai,
pada ayat 1 berbunyi, “Negara pantai dalam melaksanakan hak
berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE, dapat menaiki, memeriksa,
menangkap kapal, dan melakukan proses peradilan...”
Sementara
ayat 2 pasal yang sama menyatakan, “Kapal-kapal yang ditangkap dan awak
kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan uang jaminan yang
layak atau bentuk jaminan lainnya.”
Ayat 3 berbunyi, “Hukuman
negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencakup pengurungan
jika tidak ada perjanjian antara negara-negara terkait, atau bentuk
hukuman badan lainnya.”
Berdasarkan aturan UNCLOS tersebut,
sebelumnya mantan perwira tinggi Angkatan Laut Laksda (Purn) Soleman B.
Ponto berkata, “Jadi kalau kapal asing menjaring ikan di ZEE Indonesia
tanpa izin, denda saja. Kalau kabur, kejar seketika sampai dapat (hot
pursuit). Tapi jangan ditembak karena ada risiko mati, sedangkan hukuman
badan saja tidak boleh. Di laut teritorial, baru bisa menembak.”
Melihat ancaman terkini di Laut Natuna, Surya berkata Indonesia perlu
memperkuat aturan kepemilikan wilayah perairan dan yurisdiksi (kekuasaan
hukum)-nya di utara Natuna yang berbatasan dengan wilayah sengketa Laut
China Selatan.
Cara penguatan hukum itu antara lain dengan
menyerahkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia lengkap dengan
titik-titik koordinatnya ke
United Nations Oceans and Law of the Sea;
menambahkan dan melengkapi koordinat titik-titik zonasi perairan
Indonesia; serta merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973
tentang Landas Kontinen Indonesia.
Ciri negara maritim, ujar
Surya, ialah ketika pemerintahnya melakukan upaya serius untuk
mengeluarkan kebijakan dan aturan berbasis maritim.
Credit
CNN Indonesia