Pasukan keamanan Afghanistan bersiap-siap merebut kembali Kunduz dari Taliban. (Reuters/Stringer)
Washington, CB
--
Di Suriah, para pemberontak yang dilatih AS
meyerahkan pasokan dan amunisi kepada kelompok perlawanan yang memiliki
hubungan dengan al-Qaidah.
Di Irak, pertempuran antara pasukan pemerintah yang didukung AS dan ISIS menemui jalan buntu.
Di Afghanistan, untuk kali pertama sejak disingkirkan pada 2001 Taliban berhasil merebut satu ibukota provinsi.
Kurang
dari satu setengah tahun setelah dalam pidato di sekolah Militer West
Point Presiden Barack Obama menguraikan strategi untuk lebih bergantung
pada mitra setempat daripada pengerahan militer AS secara besar-besaran
di Luar negeri, muncul bukti bahwa taktik yang disebut sebagai “Doktrin
Obama” itu kemungkinan gagal.
Meski AS diperkirakan berinvestasi
setidaknya US$90 miliar dalam upaya kontra-terorisme ini, Obama belum
berhasil menemukan sekutu yang dapat diandalkan untuk memikul tugas di
medan perang. Dan dia pun tampaknya tidak punya banyak opsi untuk
memperbaiki situasi ini.
Obama juga tampaknya terkungkung dengan
keengganan melihat Amerika kembali terlibat dalam perang di Timur
Tengah yang tidak populer setelah menarik mundur pasukan AS dari Irak
pada 2011.
Gerakan tiba-tiba Rusia untuk mengambil inisiatif
dalam krisis di Suriah dan Irak beberapa minggu ini mengejutkan para
pejabat AS, dan menelanjangi kenyataan bahwa pengaruh Washington di
wilayah itu semakin terkikis.
Sejumlah pejabat dan mantan pejabat AS mengatakan, karena ada kemunduran
yang bertubi-tubi ini Obama kemungkinan hanya akan melakukan perubahan
kecil strategi.
Hal ini mengisyaratkan bahwa Obama akan
meninggalkan sebagian konflik paling pelik di dunia ini pada
penggantinya yang akan menduduki Gedung Putih pada Januari 2017.
“Situasi
di tempat-tempat ini tidak bagus dan tidak akan membaik dalam waktu
cepat,” ujar Douglas Ollivant, mantan pejabat senior Dewan Keamanan
Nasional AS untu Irak.
“Itu masalah dalam bekerja sama dengan mitra. Tidak semua memiliki kemampuan.”
Opsi-posi
yang ada meliputi antara lain meningkatkan dukungan bagi para pejuang
Kurdi di Suriah, kerja sama denga Rusia untuk mengakhiri konflik di
negara itu dan memperlambat rencana penarikan diri AS dari Afghanistan.
Para
pejabat AS mengatakan pemerintah negara itu juga mempertimbangkan usul
mengurangi program pelatihan para pemberontak Suriah untuk memerangi
ISIS bernilai US$580 juta yang dinilai gagal.
Doktrin Obama
gagal sebagian karena lemahnya pemerintahan nasional di Irak dan
Afghanistan, dan juga kegagalan kelompok oposisi moderat Suriah untuk
mengalahkan para pesaingnya.
Tetapi tetap saja para pengkritik
menyalahkan Obama atas hal yang mereka pandang sebagai pendekatan yang
terlalu berhati-hati, sehingga muncul pandangan bahwa Gedung Putih
terhuyung-huyung akibat krisis yang terus melanda.
Citra Obama
sebagai pemimpin dunia yang terkadang bersikap pasif menambah persepsi
bahwa dia membiarkan perang saudara di Suriah memburuk, dan tidak
bertindak cukup tegas untuk menghentikan laju ISIS di negara itu dan
juga Irak.
Kekhawatiran baru terkait kebijakan Obama di
Afghanistan juga dipicu oleh kejatuhan kota Kunduz ke tangan para
pejuang Taliban minggu ini.
Para pejabat AS mengatakan,
kemenangan Taliban secara tiba-tiba atas pasukan Afghanistan menambah
dimensi baru pada diskusi perlunya mengubah rencana yang ada saat ini
dan mempertahankan sejumlah kecil pasukan di Afghanistan setelah akhir
2016.
Obama dan penasihatnya dengan keras membela pendekatan
tersebut, bahkan ketika masalah di beberapa medan peperangan semakin
rumit.
Kebijakan
cepat Presiden Putin di Suriah dan Irak bertolak belakang dengan
kebijakan Presiden Obama yang dinilai lamban. (Reuters/Kevin Lamarque)
|
“Kami tidak pernah mengatakan bahwa strategi kemitraan kami adalah upaya
yang akan berhasil dalam jangka pendek,” kata seorang pejabat senior
pemerintah AS kepada Reuters. “Bahkan, kami selalu menekankan bahwa
strategi itu memerlukan komitmen jangka panjang.”
Pejabat ini malah menuduh pengkritik Obama tidak bisa menawarkan alternatif lain yang lebih bagus.
“Apakah
solusi setiap masalah di Iran dan Suriah adalah mengerahkan 150 ribu
tentara AS? Langkah itu tidak akan dilakukan oleh presiden ini, atau
diinginkan oleh warga Amerika,” kata pejabat ini.
“Kepentingan Utama”Dasar dari strategi besar Obama dijabarkan dalam pidato di depan lulusan sekolah militer West Point pada 28 Mei 2014.
Saat
itu, dengan berhati-hati dia membatasi pemikiran penggunaan kekuatan
militer AS - hanya “ketika kepentingan utama kita memerlukannya” - dan
menegaskan langkah yang dipilih adalah “bermitra dengan negara-negara
tempat jaringan teroris mencoba mengakar.”
Namun, kebijakan itu tidak terbukti sebagai metode yang berhasil dalam perang melawan militansi Islam.
Di
Suriah, kegagalan upaya AS membangun satu pasukan pemberontak semakin
jelas bulan ini ketika Pentagon mengakui bahwa hanya empat atau lima
pejuang yang benar-benar terjun di medan perang.
Gedung Putih
berkeras hal itu bukan kesalahan Obama karena dia memang ragu dengan
program itu, sementara pihak lain, termasuk pengkritik dari partai
Republik, menekannya untuk menyetujui program pelatihan itu.
“Program
pelatihan dan mempersenjatai itu hanyalah sekadar upaya agar Gedung
Putih terlihat ‘melakukan sesuatu’,” kata Frederic Hof, mantan penasehat
Departemen Luar Negeri AS untuk Suriah. “‘Setan yang memaksa saya
melakukannya’ merupakan jawaban pemerintah atas kegagalan kebijakan
itu.”
Kehadiran Rusia yang cepat di Suriah bertolak belakang
dengan langkah yang disebut pengkritik Obama sebagai strategi
mengerahkan militer AS di Suriah yang lambat dan penuh keraguan.
Pasukan
anti-terorisme Irak yang dilatih oleh Amerika Serikat belum berhasil
mengatasi laju ISIS di negara itu. (Reuters/Pool/Carolyn Kaster)
|
“Ketika tidak ada kepemimpinan Amerika, kekosongan ini akan diisi oleh
pihak-pihak yang jahat,” kata Senator John McCain dari Partai Republik
yang merupakan pengkritik keras kebijakan luar negeri Obama. Dia merujuk
pada kemajuan yang dicapai oleh militan di wilayah konflik.
Di
Irak, pemerintah Syiah yang terlibat ketegangan sektarian dengan
penduduk minoritas Sunni, kesulitan mengatasi gerak laju ISIS.
Pasukan
keamanan masih mencoba untuk dibangun kembali setelah tercerai-berai
ketika menghadapi serangan militan di kota Mosul, kota terbesar kedua di
Irak.
Secara pribadi, para pejahat AS telah mengutarakan rasa
frustrasi atas kelambatan operasi di Irak, seperti persiapan merebut
kembali Ramadi ibukota provinsi Anbar yang direbut ISIS Mei lalu.
Para
pejabat AS menunjuk pada hasil yang lebih positif dari dukungan militer
yang diberikan pada pasukan Kurdi di Irak dan Suriah.
Keberhasilan
lain menurut mereka adalah kemajuan yang dicapai oleh mitra setempat
untuk memerangi kelompok ekstrimis Boko Haram di Afrika Barat.
Akan
tetapi, di Afghanistan lepasnya Kunduz merupakan pukulan terbaru bagi
kebijakan Obama dan menimbulkan pertanyaan apakah pasukan Afghanistan
bisa menjaga keamanan negara itu sendiri, meski Washington berinvestasi
US$65 juta untuk membangunnya.
Para pengkritik mengatakan rencana penarikan diri pada 2016 terlalu terburu-buru.
Sejumlah
pengamat mengisyaratkan meski jet tempur AS kemudian mengebom sasaran
Taliban untuk merebut kembali Kunduz, militer AS kemungkinan tidak bisa
menyediakan bantuan cepat terutama dalam mengirim tentara.
Bahkan
jika Kunduz nanti bisa direbut kembali dari Taliban, “kerusakan sudah
terjadi,” kata James Dobbins, mantan Utusan Khusus Obama di Afghanistan
dan Pakistan. “Semua warga di sana sekarang sadar posisi mereka rentan.”
Credit
CNN Indonesia